Hirsutisme telah dilaporkan berkaitan dengan peningkatan risiko depresi. Hirsutisme merupakan gangguan endokrinologi yang banyak ditemukan pada kasus polycystic ovary syndrome (PCOS), terutama pada wanita usia reproduktif. Data-data penelitian mengungkapkan bahwa bahkan gejala teringan dari hirsutisme akan menurunkan kualitas hidup dan kehidupan seksual seorang wanita.[1-3]
Di lain pihak, adanya komorbiditas depresi juga akan mempengaruhi cara wanita memandang gejala hirsutisme yang dihadapi, mempengaruhi luaran terapi, dan turut menurunkan kualitas hidup.[3]
Saat ini, pengobatan untuk hirsutisme beragam mulai dari penanganan secara kosmetik maupun terapi hormonal. Namun, hingga saat ini penanganan kondisi depresi yang berhubungan dengan gejala hirsutisme belum mendapatkan porsi penanganan klinis khusus.[1]
Mekanisme Munculnya Depresi pada Kondisi Hirsutisme
Mekanisme munculnya depresi pada kasus hirsutisme belum sepenuhnya diketahui. Namun, terdapat beberapa faktor yang diduga berperan. Hirsutisme merupakan salah satu tanda klinis dari kondisi hiperandrogenemia. Pada individu dengan hiperandrogenemia, terjadi peningkatan kadar androgen khususnya testosteron di dalam darah. Peningkatan testosteron telah dikaitkan dengan peningkatan skor depresi.[3,4]
Selain karena peran testosteron, bukti ilmiah yang ada melaporkan bahwa gejala depresi pada wanita dengan hirsutisme meningkat pada kelompok yang melaporkan peningkatan skor keparahan pertumbuhan rambut atau skor Ferriman-Gallwey (FG). Berdasarkan temuan ini, diduga bahwa risiko terjadinya gejala depresi dipengaruhi oleh persepsi pasien tentang tingkat keparahan hirsutisme yang dialaminya.[4,5]
Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Depresi pada Hirsutisme
Sekitar 80% wanita dengan hirsutisme mengalami depresi dan ansietas, terutama pada kondisi pertumbuhan rambut di area wajah. Pertumbuhan rambut ini selanjutnya menyebabkan deteriorasi persepsi mengenai gambaran tubuh yang seharusnya dimiliki oleh seorang wanita.[1,4,5]
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tingkat depresi dilaporkan meningkat seiring semakin beratnya tingkat pertumbuhan rambut maupun persepsi mengenai banyaknya pertumbuhan rambut yang tidak diinginkan oleh yang bersangkutan.[4,5]
Awitan Mendapat Pengobatan dan Ekspektasi Pasien:
Di lain pihak, telah dilaporkan bahwa semakin cepat gejala hirsutisme ditangani semakin baik pula gejala psikologis yang dialami oleh pasien tersebut. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa 5 kali sesi laser hair removal pada kondisi hirsutisme selama 6 bulan terbukti menurunkan skala depresi dan ansietas jika dibandingkan plasebo.[4]
Selain awitan mendapat terapi, tingkat ekspektasi terhadap efikasi terapi atau perawatan untuk hirsutisme yang dijalankan juga berhubungan dengan tingkat depresi yang dialami. Tingkat depresi disebutkan meningkat pada pasien yang merasa terapi yang dijalankan tidak sesuai ekspektasi yang diharapkan.[1]
Hirsutisme dan Gangguan Kualitas Hidup Wanita:
Selain berhubungan dengan peningkatan risiko depresi, hirsutisme pada wanita juga berkaitan dengan penurunan kualitas hidup, kepercayaan diri, efikasi diri, status sosial, pandangan mengenai gambaran tubuh, serta peningkatan stres emosional. Tidak jarang wanita yang mengalami hirsutisme merasa bahwa konsep dirinya, sisi feminin, dan kepercayaan dirinya direnggut oleh hirsutisme yang dialami. Kondisi ini juga turut meningkatkan risiko timbulnya depresi.[1,6]
Penurunan kepercayaan diri juga sejalan dengan peningkatan perasaan ditolak dan tingginya risiko meninggalkan terapi. Hal ini disebabkan karena wanita tersebut merasa tidak mampu untuk menceritakan perjalanan penyakitnya, keluhannya sering tidak didengarkan atau tidak dianggap serius.[1,3]
Tak jarang mereka memutuskan untuk membiarkan rambut tersebut tumbuh untuk membuktikan bahwa mereka memiliki masalah dan berharap pemeriksa lebih serius menanggapi keluhan mereka. Bersamaan dengan hal ini mereka juga merasa tidak berdaya dan malu, yang tentunya dapat mencetuskan depresi.[1,3]
Tingkat Ekonomi dan Edukasi:
Peningkatan risiko depresi juga terjadi pada kalangan dengan tingkat ekonomi dan edukasi yang rendah. Hal ini diakibatkan kelompok ini tidak mengetahui terapi atau perawatan untuk hirsutisme, sehingga muncul penurunan kepercayaan diri dan efikasi seksual diri.[1]
Penanganan Khusus Depresi pada Kasus Hirsutisme
Mengingat tingkat ringan-beratnya hirsutisme berkaitan langsung dengan risiko peningkatan gejala depresi, maka penting bagi pasien untuk mendapatkan terapi medis yang efektif bagi kondisi hirsutismenya. Selain itu, klinisi perlu untuk mengenali dan memberikan penanganan lanjutan untuk gangguan psikologis yang mungkin dialami.[1]
Komorbiditas gangguan psikologis juga akan mempengaruhi luaran kondisi fisik (misalnya pola tidur dan makan), psikologis (misalnya motivasi, keinginan melakukan perawatan diri, dan perasaan berharga), faktor sosial (misalnya relasi dengan orang lain), termasuk keberlangsungan menjalankan terapi.[1,3,4,6]
Depresi sendiri akan mempengaruhi bagaimana tindakan terhadap pemeliharaan taraf kesehatannya. Persepsi hilangnya kontrol diri terhadap cara meningkatkan status kesehatannya akan meningkatkan gejala depresi yang dialami, dan kondisi depresi kemudian akan menurunkan usaha untuk peningkatan kebiasaan yang diperlukan, sehingga akan memperburuk gejala hirsutisme dan kondisi fisik.[3]
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa manajemen efektif dari hirsutisme akan tercapai jika komorbiditas depresi yang dialami dapat secara efektif tertangani.[6]
Namun, hingga saat ini belum ada panduan khusus yang mengatur bagaimana ketentuan terapi ataupun penggunaan antidepresan terhadap kondisi depresi dengan komorbiditas hirsutisme. Psikofarmaka atau jenis terapi yang digunakan masih mengikuti panduan standar tatalaksana gangguan depresi secara umum.[1,4]
Data-data yang telah ada membuktikan bahwa baik farmakoterapi maupun psikoterapi sama-sama merupakan terapi efektif untuk gejala depresi dan lebih baik jika dikombinasikan. Psikoterapi yang berfokus pada memperbaiki persepsi pasien mengenai hirsutisme yang dialami, seperti terapi kognitif perilaku, dikatakan mampu memperbaiki gejala depresi dan kualitas hidup pasien.[3]
Pendekatan Klinisi dalam Manajemen Depresi pada Hirsutisme
Dengan menunjukkan rasa empati, klinisi diharapkan dapat menjembatani masalah komunikasi dan penyampaian ide dari pasien. Selain itu, melakukan refleksi dan role play juga diharapkan dapat membantu tenaga kesehatan mengevaluasi pendekatan manajemen yang terbaik untuk membantu pasien koping dengan masalah yang dialaminya.[1]
Jika pasien tidak menunjukkan skor Ferriman-Gallwey (FG) yang tinggi, dokter jangan serta merta menganggap pasien memiliki persepsi yang baik terhadap penyakitnya. Lakukan penggalian perasaan dan persepsi lebih lanjut dan waspadai adanya gejala depresi.[1,3]
Rasa rendah diri pada pasien mungkin saja timbul akibat kurangnya pengetahuan mengenai hirsutisme, kurangnya penjelasan di rawat jalan, serta kurangnya pemahaman tentang tata laksana hirsutisme yang dialami. Pemberian informasi yang baik dan akurat diharapkan mampu memperbaiki persepsi pasien tentang tubuh, status psikologis, serta kepercayaan dirinya.[1]
Kesimpulan
Hirsutisme berkaitan dengan peningkatan risiko gangguan depresi dan penurunan kualitas hidup. Belum diketahui secara pasti patofisiologi terjadinya depresi pada kondisi hirsutisme, namun diduga berkaitan dengan kadar testosteron, persepsi pasien terhadap tingkat keparahan gejala, ekspektasi terhadap pengobatan yang dijalankan, serta status sosial dan ekonomi.
Saat ini belum ada pedoman khusus untuk tata laksana depresi pada pasien dengan hirsutisme. Meski demikian, telah diyakini bahwa penanganan terhadap hirsutisme dan depresi saling terkait. Keberhasilan penanganan hirsutisme diharapkan akan turut menurunkan gejala depresi yang dialami. Sama pentingnya bahwa penanganan depresi juga turut meningkatkan luaran penanganan hirsutisme.