Benarkah serangan jantung merupakan penyakit pria? Kenyataannya, data WHO pada tahun 2013 menyebutkan secara global sepertiga kematian pada wanita terkait penyakit kardiovaskular, seperti infark miokard akut (IMA) dan stroke.[1-3]
Selain pengaruh jenis secara sosial, perbedaan pendekatan penyakit jantung pada pasien wanita juga dipengaruhi perbedaan anatomi dan fisiologi. Berbagai studi telah mempelajari bahwa perbedaan jenis kelamin ada dalam patofisiologi, presentasi gejala, manfaat tes diagnostik, respon terhadap intervensi farmakologis, dan hasil klinis dari penyakit infark miokard akut (IMA).[1,13]
Tabel 1. Perbedaan Sistem Kardiovaskuler Terkait Perbedaan Jenis Kelamin
PARAMETER | MANIFESTASI |
Fungsi jantung | Wanita umumnya memiliki nadi lebih cepat 3−5 kali/menit, ejection fraction lebih tinggi, dan stroke volume 10% lebih rendah daripada pria |
Adaptasi lingkungan | ● Wanita lebih sering mengalami hipotensi ortostatik dan sinkop karena lebih sensitif terhadap perubahan ketinggian dan posisi tubuh ● Wanita lebih mudah mengalami kenaikan tekanan darah akibat stres |
Anatomi | Wanita memiliki dimensi yang lebih kecil pada massa ventrikel kiri, diastolik akhir ventrikel kiri, ketebalan dinding ventrikel, atrium kiri, dan ukuran pembuluh darah (tergantung usia dan ras) |
Fisiologi | Wanita memiliki aktivitas simpatik yang rendah, parasimpatik yang tinggi, dan konsentrasi norepinefrin dalam plasma lebih rendah |
Pengaruh hormon | ● Wanita lebih dipengaruhi oleh hormon estrogen dan progesterone, sedangkan pria oleh testosterone ● Menstruasi dapat mempengaruhi status hematologi dan indeks elektrokardiografi |
Hematologi | Wanita memiliki eritrosit dan hematokrit yang lebih rendah, sehingga kapasitas hemoglobin yang membawa oksigen juga rendah |
Indeks elektrokardiografi dan elektrofisiologi | ● Wanita pada umumnya memiliki QT interval terkoreksi lebih panjang, dengan recovery time nodus sinus lebih pendek ● Drug induced torsades de pointes lebih sering terjadi pada wanita ● Henti jantung mendadak dan fibrilasi atrium jarang pada wanita |
Sumber: McSweeney, 2016[13]
Faktor Risiko Serangan Jantung pada Wanita
Studi INTERHEART, sebuah studi kasus-kontrol tentang faktor risiko infark miokard akut (IMA), mengidentifikasi 9 faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Secara kolektif, jika kesembilan faktor tersebut dapat dihindari maka risiko terserang IMA dapat berkurang 90%, baik pada pria dan wanita. Faktor risiko tersebut meliputi merokok, hipertensi, dislipidemia, diabetes melitus, obesitas abdominal, diet risiko tinggi, faktor psikososial, kurangnya aktivitas fisik, dan konsumsi alkohol.[1,2]
Terdapat perbedaan yang penting terkait faktor risiko IMA berdasarkan jenis kelamin. Secara khusus, diabetes mellitus dan merokok memiliki hubungan yang lebih kuat dengan perkembangan IMA pada wanita daripada pria. Berbagai studi terkini menyebutkan dampak gangguan psikososial terhadap gangguan jantung pada wanita. Gangguan psikososial yang dimaksud di antaranya early life stress, depresi, dan stres pasca trauma.[1,2,7-9]
Faktor Diabetes Mellitus
Diabetes melitus (DM) lebih kuat berhubungan dengan perkembangan IMA pada wanita. Di banyak negara, prevalensi diabetes melitus lebih tinggi pada pria daripada wanita (7,5% vs 5,8% di Kanada, dan 13,6% vs 11,2% di Amerika Serikat). Namun, risiko terjadinya IMA jauh lebih besar pada wanita dengan DM dibandingkan pria.[3,4]
Data Framingham menunjukkan risiko relatif IMA pada penderita DM dibandingkan dengan tidak DM adalah 1,93 pada pria dan 3,57 pada wanita. Studi INTERHEART juga menemukan bahwa DM lebih berhubungan erat dengan risiko IMA pada wanita daripada pria (OR = 4,26 vs 2.67, 95% CI).[2]
Sebuah metaanalisis oleh Peters et al yang melibatkan 858.507 individu dan 28.203 kejadian IMA, menemukan bahwa risiko relatif (RR) kejadian IMA pada individu dengan DM 44% lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria.[6]
Faktor Merokok
Risiko IMA akibat merokok lebih besar pada wanita daripada pria. Beberapa dekade yang lalu, temuan studi kohort prospektif terhadap 11.472 wanita dan 13.191 pria di Copenhagen Denmark menemukan bahwa risiko relatif IMA 50% lebih tinggi pada perokok wanita dibandingkan dengan perokok pria. Perbedaan tersebut terjadi di semua kelompok usia, tetapi kesenjangan terbesar tampak pada kelompok dewasa muda.[1]
Alasan perbedaan tersebut diduga karena kombinasi dengan faktor lain, seperti penggunaan kontrasepsi oral, pengaruh tingkat HDL, peningkatan kadar hormon insulin puasa dan testosteron bebas, serta peran neuroendokrin seperti arginine vasopressin (AVP). Namun, pemahaman tentang dampak negatif dari merokok yang lebih tinggi pada wanita hingga saat ini masih spekulatif.[1-3]
Faktor Psikososial
Stres emosional akut dan kronis dapat meningkatkan kejadian IMA di masa depan. Studi INTERHEART menemukan bahwa faktor ini secara bermakna meningkatkan kemungkinan IMA sebesar 3,5 pada wanita dan 2,6 pada laki-laki. Angka depresi pada wanita lebih tinggi daripada pria, dan memiliki onset lebih awal. Di antara pasien jantung, tingkat depresi pada wanita dua kali lipat daripada pria. Depresi adalah faktor risiko yang terbukti meningkatkan insiden IMA dan kematian akibat jantung.[2,7-9]
Faktor Khusus pada Wanita
Terdapat faktor risiko yang hanya terdapat pada wanita, yaitu faktor yang berhubungan dengan kehamilan dan reproduksi. Misalnya hipertensi pada kehamilan, diabetes gestasional, dan menarche atau menopause dini. Faktor lain yang telah diteliti tetapi belum terbukti memiliki hubungan kuat dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas IMA pada wanita adalah persalinan preterm secara spontan, persalinan dengan berat badan bayi lahir rendah, abortus berulang, sindrom ovarium polikistik, dan insufisiensi ovarium prematur.[10,11]
Penatalaksanaan Penyakit Jantung pada Wanita
Penanganan IMA pada pasien wanita cenderung tertunda sehingga memperburuk prognosis. Definisi penanganan yang tertunda adalah waktu tindakan reperfusi yang terlambat sejak awal gejala dirasakan oleh pasien. Penundaan tersebut mengakibatkan peningkatan mortalitas penyakit jantung pada wanita, bahkan pada usia muda.[12,13]
Studi kohort observasional, tahun 2008−2012 dan melibatkan 1.465 pasien usia 18−55 tahun, membandingkan tindakan reperfusi pada pasien IMA segmen ST elevasi berdasarkan jenis kelamin. Hasil studi menemukan bahwa pasien wanita lebih kecil menerima terapi reperfusi dan lebih mungkin mengalami penundaan reperfusi dibandingkan pasien pria dengan usia yang sama. Perbedaan jenis kelamin ini lebih tampak di antara pasien yang mendapatkan tindakan intervensi koroner perkutan atau terapi fibrinolisis.[12]
Terapi Antiplatelet
Tata laksana awal serangan IMA adalah pemberian oksigen, analgesik, dan antiplatelet seperti aspirin atau clopidogrel. Penggunaan antiplatelet bertujuan untuk mencegah kejadian IMA, baik untuk wanita dan pria. Studi metaanalisis tahun 2020 menganalisis 9 penelitian, yang melibatkan sekitar 135.000 subjek, terkait aspirin sebagai pencegahan primer semua infark miokard. Hasil studi adalah aspirin belum terbukti dapat mengurangi semua penyebab dan kematian kardiovaskular, terutama infark miokardium tanpa gejala.[13,14]
Namun, antiplatelet masih dipercaya dapat mencegah kematian akibat IMA dan stroke. Studi yang membandingkan kemanjuran aspirin dan agen antiplatelet lainnya pada wanita versus pria memberikan hasil bahwa antiplatelet dapat menurunkan risiko kematian akibat gangguan koroner dan penyakit serebrovaskuler seperti stroke. Tampaknya kemanjuran pada pasien wanita lebih tinggi daripada pria, yaitu 25% vs 19% pada gangguan koroner dan 22% vs 17% pada stroke.[15]
Pemberian antiplatelet maupun antikoagulan pada pasien wanita harus hati-hati. Wanita memiliki risiko perdarahan lebih tinggi, terutama akibat menstruasi.[13,15]
Tindakan PCI Primer
Tindakan intervensi koroner perkutan atau PCI primer (primary percutaneous coronary intervention) memiliki manfaat yang lebih besar dibandingkan terapi fibrinolisis untuk kasus IMA segmen ST elevasi, baik pasien wanita maupun pria. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan angka kematian setelah PCI lebih besar pada wanita (56 per seribu wanita) dibandingkan pada pria (42 per seribu laki-laki).[12,15-17]
Efek samping tindakan PCI lebih sering dialami pasien wanita, misalnya risiko perdarahan pasca tindakan. Risiko tersebut dapat dikurangi dengan pendekatan melalui arteri radial, tetapi ini lebih sulit dilakukan karena ukuran arteri wanita lebih kecil.[16,17]
Terapi Fibrinolisis
Terapi fibrinolisis pada pasien IMA bertujuan untuk mencegah pembentukan trombus pada arteri koroner. Terapi ini menggunakan agen trombolitik seperti streptokinase, urokinase, alteplase, dan anistreplase. Berbagai penelitian sejak satu dekade lalu menyebutkan terapi trombolitik secara signifikan mengurangi mortalitas pada wanita dan pria dengan IMA elevasi ST. Belum terdapat penelitian terkini mengenai terapi ini pada wanita.[12,15,18]
Studi tahun 2004 menyebutkan bahwa penurunan risiko kematian akibat IMA dengan terapi trombolitik agak lebih rendah pada wanita daripada pria. Walaupun memiliki tingkat keberhasilan reperfusi koroner yang sama setelah terapi trombolitik pada wanita dan pria. Hal ini karena komplikasi hemoragik tampaknya lebih sering terjadi pada wanita terutama wanita lanjut usia.[18]
Risiko infark ulang setelah terapi trombolitik juga lebih besar pada wanita. Oleh karena tingkat komplikasi yang lebih tinggi ini, wanita harus diawasi dengan ketat jika diberikan terapi trombolitik. Terapi untuk menyelamatkan nyawa ini tidak boleh ditunda pada wanita, terutama jika tindakan PCI primer tidak tersedia.[18]
Operasi CABG
Hasil operasi CABG (coronary artery bypass graft) pada wanita telah dipelajari secara intensif karena beberapa penelitian memiliki mortalitas dan morbiditas pasca operasi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pasien pria. Namun, ada pula penelitian yang menunjukkan tidak ada perbedaan antara pasien wanita dan pria.[1,20]
Penelitian tahun 2016 bertujuan untuk mengevaluasi dampak jenis kelamin pada hasil CABG. Faktor keberhasilan meliputi tingkat kematian keseluruhan atau terkait jantung selama 5 tahun, serta kejadian berulang infark miokard, rawat inap, tindakan PCI, maupun operasi jantung. Dievaluasi pula komplikasi stroke, gagal ginjal atau jantung pasca operasi, kebutuhan perawatan jangka panjang, dan kebutuhan implantasi alat pacu jantung di kemudian hari.[20]
Hasil penelitian menyebutkan bahwa wanita lebih mungkin dirawat kembali dengan IMA dan gagal jantung kongestif setelah CABG. Namun, kelangsungan hidup yang dialami wanita pasca operasi serupa dengan pria. Jenis kelamin perempuan bukanlah faktor risiko independen untuk risiko kematian. Sehingga penelitian ini menganjurkan tindakan CABG pada wanita harus tetap memiliki tujuan akhir mencegah kejadian IMA ulang dan meningkatkan revaskularisasi koroner keseluruhan.[20]
Prognosis Penyakit Jantung pada Wanita
Wanita muda (<50 tahun) dengan IMA terbukti memiliki risiko kematian dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan pria dalam kelompok usia yang sama. Sebuah penelitian di Kanada, terhadap 70.628 pasien IMA yang dirawat antara tahun 2000-2009, menemukan tingkat kematian 30 hari yang secara signifikan lebih tinggi pada wanita dibandingkan dengan pria, tetapi hanya pada pasien yang berusia di bawah 55 tahun.[15,19]
Penatalaksanaan dengan fibrinolisis dikaitkan dengan risiko perdarahan yang lebih tinggi secara signifikan pada wanita dibandingkan pria. Tindakan PCI primer memberikan hasil yang tidak berbeda berdasarkan jenis kelamin. Sedangkan operasi CABG tetap dianjurkan pada pasien wanita jika ada indikasi.[15-20]
Kesimpulan
Infark miokard akut (IMA) merupakan penyakit jantung dengan tingkat kematian tinggi baik pada pasien wanita maupun pria. Sejak tahun 2000an telah dilakukan berbagai penelitian mengenai dampak epidemiologi IMA terhadap penatalaksanaan dan prognosisnya. Perbedaan jenis kelamin terjadi dalam patofisiologi dan presentasi klinis IMA, dan mempengaruhi penundaan pengobatan. Terapi reperfusi yang direkomendasikan untuk IMA pada wanita serupa dengan pada pria, tetapi memiliki risiko perdarahan dan komplikasi lain yang lebih besar pada wanita.
Untuk lebih menurunkan risiko kematian akibat IMA pada pasien wanita, dibutuhkan pendekatan baru untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. Selain itu, dibutuhkan penelitian multidisiplin untuk menemukan model perawatan dan pencegahan sekunder serangan jantung yang inovatif dan yang sesuai dengan usia, budaya, psikososial, dan fisiologis wanita.