Pemberian obat atau pemeriksaan yang tidak diperlukan oleh pasien merupakan salah satu bentuk konflik kepentingan yang banyak terjadi di dalam lingkungan profesi kedokteran. Konflik kepentingan ini erat kaitannya dengan keuntungan pribadi atau kelompok tertentu, tetapi dapat mempengaruhi kualitas kinerja seorang profesional.[1]
Sesungguhnya, bagaimana kajian dari sisi etika kedokteran terhadap pemberian obat atau pemeriksaan yang tidak diperlukan oleh pasien tersebut?
Faktor Penyebab Pemberian Obat atau Pemeriksaan yang Tidak Diperlukan Pasien
Terdapat banyak faktor yang menyebabkan seorang dokter melakukan pemberian obat atau pemeriksaan yang tidak diperlukan pasien, di antaranya tawaran yang menarik dari perusahaan farmasi, permintaan pasien, upaya memenuhi kebutuhan psikologis pasien, keterbatasan pengetahuan dokter, dan defensive medicine.[1-5]
Tawaran Menarik dari Perusahaan Farmasi atau Badan Usaha Lainnya
Adanya tawaran menarik dari perusahaan farmasi atau badan usaha lainnya, yang menjanjikan imbalan, komisi, hadiah, atau bonus, seringkali menjadi alasan utama bagi seorang dokter untuk meresepkan obat tertentu atau menganjurkan pemeriksaan penunjang. Padahal, obat atau pemeriksaan yang dianjurkan tersebut belum tentu dibutuhkan oleh setiap pasien.[1-5]
Permintaan dari Pasien
Pengaruh iklan di media elektronik dapat memberikan kesan suatu obat akan menyembuhkan. Iklan ini membuat banyak pasien meminta dokter untuk meresepkan obat tersebut.[1-5]
Upaya Memenuhi Kebutuhan Psikologis Pasien atau Keluarga Pasien
Beberapa pasien memiliki pemahaman bahwa dengan mengonsumsi obat dalam jumlah banyak atau melakukan pemeriksaan selengkap mungkin akan memberikan efek yang baik. Hal ini membuat pasien atau keluarga pasien melakukan permintaan pemberian obat atau pemeriksaan selengkap mungkin kepada dokter, walaupun belum tentu dibutuhkan.[1-5]
Keterbatasan Pengetahuan Dokter terhadap Perkembangan Ilmu Kedokteran Terkini
Terbatasnya pengetahuan dapat menyebabkan dokter tidak dapat menjelaskan alasan, mengapa suatu obat atau pemeriksaan tidak perlu dilakukan.[1-5]
Defensive Medicine
Defensive medicine adalah tindakan diagnostik atau terapeutik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk memberikan rasa aman pada dirinya, dalam melakukan praktik kedokteran. Hal ini biasa dilakukan untuk mencegah potensi komplain malpraktek dari pasien atau keluarga pasien.[1-5]
Pemberian Obat yang Tidak Diperlukan (Overprescribing)
Overprescribing adalah pemberian obat-obatan yang sebenarnya tidak diperlukan oleh pasien, dengan berbagai alasan tertentu. Beberapa jenis obat yang sebenarnya tidak diperlukan, tetapi sering diresepkan oleh dokter, adalah antibiotik, kortikosteroid, proton pump inhibitors (PPI), benzodiazepin, antidepresan, antipsikotik, dan sedatif.[2,3]
Pemeriksaan yang Tidak Diperlukan (Overinvestigation)
Overinvestigation adalah tindakan pemeriksaan yang berlebihan atau tidak diperlukan, yang dianjurkan oleh dokter kepada pasiennya, untuk menegakkan suatu diagnosis. Beberapa jenis pemeriksaan yang sering dianjurkan adalah mamografi, koronarografi, CT-scan, MRI, dan endoskopi.[2]
Konsekuensi Legal
Bila ditinjau dari segi legal, pemberian obat atau pemeriksaan yang tidak diperlukan atas dasar adanya imbalan, komisi, atau tawaran menarik dari badan usaha, berkaitan erat dengan sponsorship dan gratifikasi.[6-8]
Sponsorship
Sponsorship adalah tindakan memberi dukungan dalam bentuk bantuan dan/atau kegiatan yang bersifat transparan, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan dalam rangka meningkatkan pengetahuan tenaga kesehatan yang dilakukan oleh perusahaan farmasi atau alat kesehatan.[6,7]
Menurut Permenkes nomor 58 tahun 2016 tentang Sponsorship bagi Tenaga Kesehatan, prinsip utama sponsorship adalah tidak memengaruhi independensi dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan. Selain itu, sponsorship harus dilakukan secara terbuka, tidak boleh dalam bentuk uang atau setara uang, dan tidak boleh diberikan secara langsung kepada individu.[6]
Tindakan sponsorship yang memengaruhi independensi dokter, seperti meresepkan obat atau menganjurkan pemeriksaan tertentu demi suatu kepentingan salah satu atau kedua belah pihak, dapat berakibat sanksi administratif. Pasal 12 ayat 3 Permenkes di atas menyebutkan bahwa sanksi administratif bagi tenaga kesehatan yang melanggar peraturan ini dapat berupa teguran lisan, teguran tertulis, dan/atau pencabutan izin.[6,7]
Gratifikasi
Gratifikasi adalah pemberian uang, komisi, diskon, barang, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, atau perjalanan wisata, yang dilakukan dengan/tanpa menggunakan sarana elektronik. Permenkes nomor 14 tahun 2014 tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa tenaga kesehatan yang mendapatkan imbalan yang bersifat transaksional dari pemasaran produk merupakan tindakan gratifikasi yang dianggap sebagai suap.[7,8]
Berdasarkan tinjauan terhadap Permenkes tersebut, dapat disimpulkan bahwa tindakan pemberian obat atau pemeriksaan yang tidak diperlukan, atas dasar konflik kepentingan yang berujung pada pemberian imbalan atau komisi bagi dokter, termasuk ke dalam gratifikasi yang dianggap suap dan tindakan yang menentang prinsip sponsorship.[7,8]
Konsekuensi Etika Kedokteran
Bila ditinjau dari segi etik, penulisan resep atau pengajuan pemeriksaan yang tidak diperlukan oleh dokter merupakan hal yang bertentangan dengan pasal 2 dan pasal 3 Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).[9]
Pasal 2 KODEKI berisi “Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Sementara, pasal 3 KODEKI berisi “Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi”.[9]
Pasal 3 KODEKI secara rinci menjelaskan bahwa profesi dokter merupakan pekerjaan yang mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien, bukan kepentingan pribadi. Beberapa kepentingan pribadi yang dimaksud adalah mengarahkan pasien untuk membeli obat atau melakukan pemeriksaan penunjang karena adanya imbalan atau komisi dari perusahaan farmasi atau alat kesehatan.[9]
Selain itu, profesi dokter juga seharusnya mandiri atau tidak terlibat kerja sama yang berdasarkan pada adanya imbalan atau komisi, baik kerja sama dengan badan usaha seperti perusahaan farmasi, perusahaan alat kesehatan, laboratorium, klinik, maupun rumah sakit.[9]
Mendukung pasal 2 dan pasal 3 KODEKI, Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, pasal 51 huruf a yang menyebutkan bahwa “Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien”. Seorang dokter yang baik seharusnya melakukan praktik kedokteran sesuai dengan standar profesi tanpa dipengaruhi oleh pihak lain.[8,11,12]
Selain itu, disebutkan pula bahwa sudah sewajarnya dokter melakukan kewajibannya dengan mengutamakan kepentingan bagi pasien, bukan kepentingan bagi dirinya pribadi. Kesimpulannya, dokter yang memberikan obat atau pemeriksaan yang tidak perlu demi keuntungan pribadi telah melanggar KODEKI dan UU nomor 29 tahun 2004.[8,11,12]
Prinsip Beneficence
Selain pelanggaran aturan di atas, tindakan memberikan obat atau pemeriksaan demi keuntungan pribadi dokter juga bertentangan dengan prinsip umum etika kedokteran, terutama beneficence, nonmaleficence, dan respect for autonomy. Prinsip beneficence menjelaskan bahwa dokter seharusnya memastikan obat-obatan yang diresepkan serta pemeriksaan yang dianjurkan memang sesuai dan bermanfaat bagi kondisi pasien.[3,4]
Prinsip Nonmaleficence
Sementara, prinsip nonmaleficence mewajibkan dokter untuk melakukan tindakan yang aman dan tidak merugikan pasien. Pemberian obat atau pemeriksaan yang tidak diperlukan pasien akan berdampak negatif bagi kondisi pasien, dan juga bertentangan dengan prinsip beneficence dan non-maleficence.
Beneficence dan nonmaleficence adalah dua prinsip umum etik kedokteran yang seringkali berhubungan, karena prinsipnya dalam berbuat baik dan tidak merugikan. Pemberian obat yang tidak dibutuhkan berisiko menyebabkan efek negatif, baik dalam hal reaksi obat yang tidak terduga, interaksi obat, penurunan efektivitas pengobatan, dan peningkatan resistensi obat tertentu, seperti resistensi antibiotik.
Anjuran pemeriksaan radiologi dapat memberikan efek negatif bagi kesehatan pasien, baik langsung dari radiasi sinar X atau reaksi kontras maupun secara tidak langsung akibat prosedur invasif lanjutan untuk lesi insidental. Selain itu, pemberian obat atau pemeriksaan yang tidak diperlukan dapat merugikan pasien dari segi ekonomi, termasuk biaya pemeriksaan, kehilangan jam/hari kerja, dan pembayaran tambahan, seperti pengasuhan anak dan transportasi.[11-13]
Prinsip Respect for Autonomy
Prinsip etik kedokteran lain yang juga perlu diperhatikan adalah respect for autonomy. Prinsip ini mengutamakan otonomi pasien, terutama dalam hal persetujuan tindakan kedokteran, di mana setiap pasien memiliki hak untuk mendapatkan penjelasan mengenai pengobatan atau pemeriksaan yang akan dilakukan. Bersamaan dengan ini, maka pasien juga memiliki hak untuk menentukan pengobatan atau pemeriksaan yang dilakukan.[11,13]
Kesimpulan
Pengaruh dari pihak lain, seperti perusahaan farmasi atau alat kesehatan, yang menjanjikan imbalan, komisi, atau tawaran menarik lainnya bagi dokter yang meresepkan obat atau mengajukan pemeriksaan merupakan suatu tindakan yang dapat terjadi dalam praktik dokter sehari-hari. Bila ditinjau dari segi legal dan etik, tindakan ini termasuk gratifikasi, yang dianggap suap dan melanggar prinsip sponsorship.
Meresepkan obat dan pemeriksaan penunjang secara berlebihan dapat membahayakan pasien, baik dari segi kesehatan maupun segi ekonomi. Tindakan ini juga berkaitan erat dengan pelanggaran kode etik kedokteran (KODEKI pasal 2 dan pasal 3) dan prinsip etik kedokteran (beneficence, non-maleficence, dan respect for autonomy). Adapun sanksi yang dapat diberikan kepada dokter yang melakukan tindakan ini adalah sanksi administratif, berupa teguran lisan, teguran tertulis, hingga pencabutan surat izin.