Kemajuan teknologi menyebabkan berubahnya praktik klinis, misalnya melalui penggunaan rekam medis elektronik. Salah satu isu terbaru yang dihadapi dokter adalah mengenai cara menghadapi pasien yang merekam pembicaraan dokter.
Perkembangan teknologi pada akhirnya bagai pedang mata dua. Walaupun demikian, kemajuan teknologi akan terus terjadi dan tidak dapat terbendung. Kemajuan teknologi juga mempengaruhi semua bidang, termasuk pada bidang kedokteran. Pengaruh ini tidak hanya positif tetapi juga dapat bersifat negatif, misalnya risiko kesalahan peresepan pada sistem rekam medis elektronik dan risiko kesalahan medis jika hanya mengandalkan hasil interpretasi EKG digital.
Dengan kemudahan teknologi, perekaman suara semakin mudah dilakukan. Semua telepon genggam saat ini pasti dilengkapi dengan fitur merekam suara. Saat ini di negara maju, menjadi sebuah tren untuk seorang pasien merekam pembicaraannya dengan dokter dan/atau tenaga kesehatan lainnya.
Pada penelitian yang dilakukan di Dartmouth Institute for Health Policy and Clinical Practice, Amerika Serikat, ditemukan setidaknya ada 1 dari 10 pasien melakukan perekaman pada pertemuan mereka dengan dokter. Penelitian lain melaporkan sebanyak 1 dari 4 pasien mengakui merekam pembicaraan dokter secara diam-diam.[1]
Sebuah penelitian tahun 2015 dilakukan di Inggris untuk mengetahui perilaku merekam pembicaraan dokter pada saat pemeriksaan. Peneliti melakukan survei dan wawancara terhadap 130 pasien. Sebanyak 19 pasien mengaku merekam pembicaraan dokter saat pemeriksaan sedangkan 14 orang lainnya mengaku mengetahui orang yang melakukan perekaman saat pemeriksaan dokter.
Selain itu, sebanyak 98 orang mengaku lebih suka bila rumah sakit tempat mereka berobat memberikan ijin untuk merekam pembicaraan dengan dokter. Dari 130 pasien, sebanyak 45 orang mengaku mempertimbangkan akan merekam pembicaraan mereka dengan dokter sedangkan 44 orang lain mengaku akan merekam pembicaraan dokter apabila dokternya mengijinkan.[2]
Pasien yang merekam diam-diam karena takut akan ditolak oleh dokter kita dia meminta ijin. Hal ini menyebabkan lebih mudah untuk mereka merekam secara diam-diam. Pasien merasa lebih mudah untuk meminta maaf ketika perekaman sudah dilakukan dibanding tidak diijinkan untuk merekam.
Perilaku ini juga didasarkan pada ketakutan akan kemarahan dokter yang mungkin timbul. Saat pasien meminta ijin, dokter dapat merespons dengan marah dan menolak memberikan pelayanan pada pasien. Ketakutan inilah yang membuat pasien enggak meminta ijin. Faktor lain yang mungkin terjadi adalah pasien sebelumnya mengalami pelayanan kesehatan yang tidak memuaskan dan ingin membuktikan hal tersebut.
Terdapat juga kelompok pasien lain yang meminta ijin sebelum merekam pembicaraan. Kelompok pasien ini meminta ijin dengan alasan bahwa hubungan dokter pasien adalah hubungan yang setara sehingga merekam tanpa ijin dianggap sebagai tindakan yang dapat menciderai hubungan kepercayaan dokter pasien.
Pasien juga merasa bahwa ketika dia meminta ijin merekam akan memberikan manfaat lebih besar untuknya. Misalnya mereka merasa bahwa dokter akan tahu bahwa setiap perkataannya akan dipertangungjawabkan. Dokter juga akan berusaha memberikan informasi yang dibutuhkan pasien. Meminta ijin sebelum merekam pembicaraan juga dianggap sebagai bentuk mengembangkan hubungan kepercayaan dokter pasien yang lebih dalam.[2]
Motivasi Pasien Merekam Pembicaraan Dokter
Terdapat beberapa alasan yang mungkin menjadi motif mengapa pasien merekam pembicaraan dokternya. Salah satu alasan yang paling mungkin adalah dokter yang berbicara cepat, namun pasien tidak mampu menangkap secepat itu sehingga mereka sering sekali gagal mengetahui dan memahami informasi yang diberikan dokter.
Rekaman dipercaya dapat membantu mereka memamahi dan akhirnya mematuhi instruksi dokter karena mereka dapat mengulang isi pembicaraan dengan dokter. Bahkan, tidak hanya pasien, namun seluruh keluarga pasien dapat mendengar isi percakapan dokter dan pasien sehingga dapat membantu pasien mematuhi instruksi dokter.[1]
Pada penelitian ditemukan setidaknya 5 alasan utama mengapa mereka merekam pembicaraan dokter saat kunjungan.[2] Alasan yang paling sering dikemukakan adalah mereka ingin meningkatkan pemahaman akan kondisi medis mereka yang dibicarakan oleh dokter. Alasan lain yang banyak dikemukakan adalah untuk berbagi dengan orang lain, terutama bila kondisi medis dan pilihan pengobatannya kompleks.
Motivasi lain adalah mendengarkan pembicaraan dengan dokter guna meningkatkan kepercayaan pasien dan menjadi sebuah modalitas terapi untuknya.[3] Alasan lain yang dikemukakan adalah rasa kepemilikan atas informasi tersebut dan menggunakan media perekam sebagai pengingat tambahan. Pada sebuah kasus, alasan pasien merekam adalah karena pengalaman buruk sebelumnya sehingga merasa perlu memiliki bukti pembicaraan dengan dokter.[2]
Bukti Ilmiah terkait Motivasi Pasien Merekam Pembicaran Dokter
Sebuah meta analisis mendukung temuan ini. Dinyatakan bahwa sebanyak 68% pasien akan memperdengarkan rekaman pembicaraan mereka dengan dokter pada teman, keluarga atau dokter lain. Studi juga melaporkan bahwa kebanyakan pasien mendengarkan rekaman sebanyak 2 hingga 50 kali.
Penggunaan rekaman juga secara signifikan melaporkan meningkatkan kemampuan pasien mengingat dan memahami informasi yang dibutukan pasien. Sebanyak 67% subjek melaporkan terjadi peningkatan pengetahuan dan pemahaman akan pembicaraannya dengan dokter setelah mendengarkan rekamannya ulang. Penggunaan rekaman juga membantu kelompok pasien khusus misalnya misalnya kelompok geriatric dan pasien dengan kondisi emosional yang tidak stabil.[4]
Efek Positif dan Negatif dari Merekam Pembicaraan Dokter
Namun, di sisi lain terdapat kekhawatiran pada sisi dokter. Salah satu kekhawatiran itu adalah apakah pasien akan berkata jujur tentang perilakunya, seperti perilaku seks dan penyalahgunaan narkoba bila pembicaraan mereka direkam. Kekhawatiran lain adalah bagaimana bila rekaman tersebut disalahgunakan untuk melawan dokter pada tuntutan malpraktek. Atau bagaimana bila rekaman tersebut diedit, dipublikasikan dan disalahgunakan yang berakibat pada keburukan nama baik dokter.
Walaupun belum ada kasus yang terjadi di Indonesia, sebuah kasus terjadi di Amerika Serikat. Seorang pasien merekam pembicaraan dokter yang terjadi pada saat dia menjalani pemeriksaan kolonoskopi. Selama pasien dalam keadaan tersedasi, ahli anestesi ternyata menghina pasien. Berbekal rekaman tersebut, pasien akhirnya mengajukan tuntutan ke pengadilan. Pengadilan akhirnya menyatakan dokter tersebut bersalah dan membayar dend a yang cukup besar.
Berbeda dengan perekaman pembicaraan saat konsultasi, kasus di atas jelas merupakan malpraktik karena dokter menghina pasien, walau dalam keadaan tersedasi. Walau demikian, kasus tersebut tetap saja membuka mata dokter akan bahaya perekaman yang dilakukan pasien tanpa izin.[1]
Membiarkan pasien merekam pembicaraan dengan dokter juga memberikan efek yang positif pada hubungan dokter pasien. Pada kondisi tertentu, pasien tidak dapat memproses semua informasi yang didapatkan dari dokter. Penggunaan alat perekam menurut hemat penulis cocok dengan dokter yang bekerja dengan penyakit kronis, kritis dan memiliki pasien yang banyak. Pada pasien yang pertama kali didiagnosis kanker misalnya, luapan emosi dan depresi pada pasien seringnya membuat pasien tidak dapat lagi menerima perkataan dokter selanjutnya.
Pada pasien yang ditemani keluarga, yang masih dapat mengontrol emosinya, mungkin edukasi bisa dilanjutkan pada keluarga. Pada pasien yang datang sendirian, atau ditemani keluarga yang juga cukup terlarut dalam emosi, akhirnya rekaman dapat digunakan sebagai alternatif. Dokter tetap dapat memberikan edukasi pada pasien. Sebelum pulang, pasien diminta untuk mendengarkan kembali rekamannya agar dapat memproses informasi yang diberikan dokter dan melanjutkan pemeriksaan atau tata laksana bila diperlukan.[1]
Profesor Glyn Elwyn sangat menyarankan dokter untuk memotivasi pasiennya merekam pembicaraan mereka dengan dokter. Setidaknya ada 3 alasan mengapa hal ini sangat didukung oleh Profesor Elwyn. Alasan tersebut adalah hal ini dapat meningkatkan kepedulian pasien, membantu pasien dapat mengambil keputusan atas dirinya sendiri, dan membuka hubungan yang lebih terbuka dan saling percaya antara dokter dan pasien.
Setidaknya, bila dokter tidak mampu melihat keuntungan dari penggunaan rekaman pada dokter, dia akan melihat tanggung jawab yang besar di depan hukum. Sehingga dokter akan lebih mampu memperlakukan pasien sebaik mungkin.[5]
Merekam Pembicaraan Dokter dalam Pandangan Hukum Indonesia
Belum ada aturan yang jelas mengenai apakah pasien diperbolehkan merekam pembicaraan mereka dengan dokter. Beberapa peraturan hanya mengatur hal-hal yang bersifat mendasar. Undang-undang no. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit misalnya tidak menyebutkan secara jelas batasan yang ada.
Pada pasal 29 tentang kewajiban rumah sakit hanya disebutkan bahwa rumah sakit wajib memberikan informasi yang memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit kepada masyarakat (ayat 1 huruf a). Sedangkan hak-hak pasien seperti yang tertulis pada pasal 32 antara lain adalah memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur dan tanpa diskriminasi (huruf c), mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya (huruf i) dan mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan (huruf j).[6]
Peraturan Menteri Kesehatan nomor 36 tahun 2012 tentang rahasia kedokteran tidak memberikan batasan apakah pasien berhak merekam pembicaraan mereka dengan dokter. Hal ini dapat dipahami bahwa sebenarnya upaya perekaman yang dilakukan pasien tidak berhubungan dengan rahasia medis karena yang direkam adalah pembicaraan tentang dirinya sendiri. Hanya saja dijelaskan bahwa pada akhirnya apabila rekaman tersebut disebarluaskan di media massa sebagai bagian dari upaya menuntut tenaga kesehatan dan/atau pelayananan kesehatan, maka pasien dan/atau keluarganya dianggap telah melepaskan hak rahasia kedokterannya kepada umum (pasal 13).[7]
Namun pada Peraturan Menteri Kesehatan no 69 tahun 2019 tentang kewajiban rumah sakit dan kewajiban pasien, dinyatakan pada pasal 28 huruf a bahwa setiap pasien wajib untuk mematuhi peraturan yang berlaku di rumah sakit. Sehingga bila rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya membuat peraturan melarang melakukan perekaman pembicaraan antara dokter pasien, maka pasien wajib mematuhi peraturan tersebut.[8]
Salah satu hal yang dikhawatirkan oleh dokter adalah bagaimana bila pasien menggunakan rekaman tersebut sebagai alat bukti untuk melakukan penuntutan di pengadilan. Undang-undang nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik, menyatakan bahwa rekaman suara atau video merupakan dokumen elektronik dan merupakan alat bukti yang sah. Pasien tidak perlu meminta ijin untuk dapat melakukan perekaman bila tidak ada larangan yang tertulis pada peraturan rumah sakit atau pelayanan kesehatan lainnya.[9]
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, membiarkan pasien merekam pembicaraan mereka dengan dokter meningkatkan hubungan dokter dan pasien. Dokter seharusnya memandang hal ini sebagai salah satu modalitas terapi dan edukasi yang mungkin dilakukan pada pasien. Walaupun ada ketakutan bahwa rekaman itu akan disalahgunakan, seharusnya dokter tidak perlu khawatir. Memang saat ini belum ada aturan tertulis di Indonesia yang mengatur tentang perekaman pembicaraan dokter pasien tetapi rumah sakit dan pelayanan kesehatan dapat membuat regulasi yang berkaitan dengan hal itu.