Studi meta analisis pada tahun 2018 menunjukkan terapi glukokortikoid dapat mengurangi risiko pasien croup untuk dirawat atau mengalami serangan ulang. Bahkan, setelah terapi glukokortikoid, gejala penyakit croup akan mereda dalam waktu 2 – 24 jam. Kesimpulan studi ini telah merubah ulasan studi sebelumnya, yang melaporkan bahwa glukokortikoid akan mengurangi gejala croup dalam waktu 6 jam.[1,2]
Sindrom croup atau laringotrakeobronkitis adalah penyakit pada anak-anak akibat infeksi virus (75% adalah virus parainfluenza), yang menyebabkan inflamasi pada laring, subglotis, trakea, dan bronkus. Dalam 12-72 jam pertama, gejala croup menyerupai infeksi saluran napas atas (ISPA) pada umumnya, seperti demam ringan dan hidung berair. Gejala tersebut kemudian semakin berat seiring dengan berkembangnya inflamasi ke arah laring dan subglotis, yang merupakan bagian tersempit dari saluran napas atas, sehingga menimbulkan gejala stridor inspirasi, batuk nyaring dan menggonggong, nyeri menelan, sampai sesak napas yang dirasakan lebih berat pada malam hari.[4,5]
Kebanyakan kasus croup adalah kasus yang ringan (85%). Derajat keparahannya dinilai dengan skor Westley, derajat ringan sampai berat, berdasarkan parameter tingkat kesadaran, ada tidaknya sianosis, ada tidaknya stridor, efektifitas udara yang masuk, dan ada tidaknya retraksi dada. Skor dari tiap parameter dijumlahkan, dimana skor ≥ 5 memerlukan perawatan inap di rumah sakit.
Skor ini masih digunakan karena memiliki sensitivitas yang tinggi mencapai 99% dan spesifisitas 57%. Tanpa memandang nilai skor Westley, pasien croup dengan usia di bawah 6 bulan, sebaiknya segera dirawat inap mengingat angka mortalitasnya yang cukup tinggi.[5-7]
Tata laksana Croup dengan Kortikosteroid
Kortikosteroid memiliki efek antiinflamasi (efek vasokonstriksi) sehingga dapat mengurangi edema pada mukosa laring dan menurunkan produksi mukus. Maka, tujuan pemberian kortikosteroid sistemik pada pasien croup adalah untuk mengurangi edema dan mucus di laring sehingga gejala sesak napas akan berkurang. Efek kortikosteroid ini mulai terjadi 1 jam setelah pemberian.[1-3,8]
Kortikosteroid, baik deksametason, prednison, atau prednisolon, dapat diberikan kepada penderita croup. Deksametason (glukokortikoid) menjadi pilihan utama karena dapat diberikan dosis tunggal. Dosis deksametason yang direkomendasikan pada croup derajat ringan adalah 0,15 - 0,3 mg/kgBB dan dapat dinaikan sampai 0,6 mg/kgBB pada derajat berat (maksimum 10-12 mg). Apabila deksametason tidak tersedia, maka dapat diberikan prednison atau prednisolon sirup, dosis 1 mg/kg dan diulang pada malam berikutnya.[5,8,11]
Selain itu pemberian kortikosteroid terbukti dapat menurunkan risiko rawat di rumah sakit. Penderita croup derajat sedang – berat yang perlu dirawat, dengan pemberian kortikosteroid, maka durasi perawatan akan memendek. Pada penelitian terbaru pemberian kortikosteroid sistemik baik terbukti menurunkan gejala setelah 2 jam setelah pemberian dan menurunkan angka rawat inap pada sindrom croup.[1-3,8]
Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukan efek positif pemberian kortikosteroid pada pasien croup terjadi pada heterogenitas yang tinggi. Secara signifikan rasio perawatannya menurun pada kelompok dengan pemberian glukokortikoid sehingga hasil ini cukup bermakna untuk diterapkan pada populasi pada umumnya. Pada penderita sindrom croup yang berat, glukokortikoid ini juga memberikan luaran yang lebih baik dalam 24 jam pertama.[1]
Beberapa studi melaporkan efek samping yang dapat terjadi pada pemberian kortikosteroid sistemik seperti risiko fraktur setelah pemberian beberapa kali, namun pada croup risikonya kecil karena diberikan dalam waktu yang singkat. Pasien dengan imunodefisiensi dan diabetes melitus perlu dipantau lebih khusus pada pemberian kortikosteroid ini.[2,3,5]
Algoritma Tata Laksana Croup
Derajat keparahan croup menentukan tata laksana selanjutnya seperti dapat dilihat pada Bagan 1. Sindrom croup umumnya dapat sembuh dengan sendirinya pada anak yang imunokompeten.
Prinsip utama tatalaksana croup adalah mengatasi obstruksi jalan napas. Anak dengan sindrom croup ringan segera membaik dengan pemberian kortikosteroid dimana obat ini mengurangi edema pada laring. Sementara sindrom croup sedang sampai berat harus dilanjutkan dengan inhalasi adrenalin/epinefrin 1:1000 dan diberikan oksigen bila perlu. Terapi antibiotik tidak diperlukan kecuali terbukti adanya infeksi sekunder.[4,5]
Epinefrin memiliki efek vasokonstriksi pada mukosa saluran napas atas yang akan mengurangi edema. Kombinasi epinefrin dan kortikosteroid ini memberikan efek sinergi untuk mengurangi obstruksi pada laring. Dosis yang direkomendasikan adalah epinefrin 1:1000, 0,5 ml/kgBB, maksimal 5 ml. Pada kasus yang sangat berat, tindakan intubasi perlu dilakukan untuk membebaskan jalan napas.[9,10]
Bagan 1. Algoritma tata laksana croup (Sumber: dr. Joko Kurniawan, 2019)
Kesimpulan
Kortikosteroid memiliki peran yang sangat penting dalam tatalaksana croup saat ini. Terapi kortikosteroid ini juga sudah menjadi rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dalam tatalaksana pasien croup untuk mengurangi edema laring segera setelah pemberian inhalasi L-epinefrin 1:1000.
Pasien croup yang diberikan kortikosteroid secara sistemik memiliki luaran yang lebih baik dari segi penurunan derajat keparahan, penurunan risiko rawat inap dan penurunan waktu perawatan, dibandingkan dengan yang hanya diberikan inhalasi L-epinefrin. Pemberian terapi lain dapat dipertimbangkan setelah kortikosteroid tidak memberikan respon yang adekuat.