Frailty assessment atau pemeriksaan tingkat kerapuhan pada pasien bedah preoperatif diperlukan untuk memperkirakan besar risiko kematian ataupun komplikasi lain pasca pembedahan elektif pada kasus bedah non-kardiak. Pemeriksaan ini penting dilakukan terutama pada pasien lanjut usia.[1,2]
Berbagai studi memperkirakan status frailty memiliki hubungan dengan peningkatan komplikasi perioperatif, pemanjangan masa perawatan di Rumah Sakit, penurunan fungsi tubuh progresif, hingga kematian. Dengan memahami bagaimana prosedur bedah mempengaruhi risiko mortalitas terkait tingkat frailty seorang pasien pasca pembedahan, diharapkan dapat meningkatkan angka keberhasilan pasca tindakan pembedahan.[1-3]
Pentingnya Frailty Assessment pada Pasien Bedah
Frailty secara umum dikenal sebagai faktor penting dalam menilai risiko dari tindakan operatif. Pasien dengan status frailty diduga memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami dampak negatif pasca tindakan. Ini termasuk risiko komplikasi, kegagalan untuk diselamatkan, tidak dapat dipulangkan pasca tindakan, hingga risiko mortalitas dalam jangka pendek maupun panjang.
Ada banyak sekali metode yang dapat diterapkan untuk menilai status frailty seseorang, termasuk Fried Frailty Score, Rockwood Frailty Index, hingga Risk Analysis Index (RAI). Meski demikian, masih menjadi perdebatan apakah pemeriksaan status frailty diperlukan pada seluruh tindakan bedah, termasuk tindakan dengan risiko rendah.[1-4]
Bukti Ilmiah Hubungan Status Frailty dengan Kondisi Pasien Pasca Pembedahan Non-Kardiak
Sebuah studi kohort retrospektif melibatkan 9 spesialisasi non-kardiak di Rumah Sakit yang tergabung dalam American College of Surgeons National Surgical Quality Improvement Program (NSQIP) dan Veterans Affairs Surgical Quality Improvement Program (VASQIP). Studi ini menilai Risk Analysis Index (RAI) yang mengukur status frailty pasien preoperatif, serta operative stress score (OSS) untuk mengevaluasi tingkat stres
setiap prosedur. Hasil evaluasi pasien kelompok NSQIP (n= 2.339.031) dan kelompok VASQIP (n= 426.578) menunjukkan bahwa status frailty berhubungan dengan tingkat mortalitas.[1,3]
Studi meta-analisis yang dilakukan Tjeertes et al, juga memberikan hasil serupa. Studi ini mengikutsertakan 56 penelitian dengan total jumlah sampel 1.106.653 pasien. Hasil penelitian menunjukan status frailty meningkatkan risiko mortalitas dan risiko komplikasi 30 hari pasca pembedahan. Angka risiko mortalitas 1 tahun pasca pembedahan juga ditemukan 3 kali lipat lebih tinggi pada pasien dengan status frailty.
Pasien dengan status frail juga ditemukan memiliki risiko tinggi untuk mendapatkan perawatan lanjutan pasca pembedahan (10 studi, RR 2.30 [95% CI 1.81- 2.92]). Studi ini menyimpulkan status frailty pada pasien secara kuat memiliki hubungan dengan peningkatan risiko terjadinya komplikasi, delirium, perawatan lanjutan, hingga kematian pasca pembedahan.[2]
Pemilihan Metode Pengukuran Status Frailty
Hingga saat ini, belum ada konsensus mengenai dokter spesialistik apa yang harus melakukan frailty assessment. Secara umum, dokter anestesi adalah dokter yang melakukan evaluasi preoperatif, termasuk di kebanyakan pusat kesehatan di Indonesia. Selain itu, belum ada pula konsensus mengenai metode pengukuran status frailty yang terbaik.
Di antara sistem skoring yang tersedia saat ini, Clinical Frailty Scale dan Risk Analysis Index memiliki keunggulan karena dapat diterapkan dalam waktu kurang dari 2 menit tanpa memerlukan ruang tambahan, peralatan, atau subassessment scoring. Hal ini berarti frailty assessment dapat dilakukan secara layak dan efisien pada setting poliklinik ataupun bedside. Pada metode frailty assessment dengan pendekatan berbasis pemeriksaan penunjang, misalnya ultrasonografi, tentunya langkah yang diperlukan untuk evaluasi status frailty menjadi lebih rumit.[5,6]
Risk Analysis Index
Metode frailty assessment menggunakan Risk Analysis Index (RAI) disukai karena dapat digunakan secara cepat dan memiliki nilai prediktif yang tinggi untuk mortalitas preoperatif. Metode ini menggunakan 14 variabel, termasuk faktor demografi (usia dan jenis kelamin), tempat tinggal, dan tingkat kemandirian dalam 4 jenis aktivitas harian. Metode ini juga menilai adanya komorbiditas seperti kanker, penurunan berat badan yang tidak disengaja, gagal ginjal, gagal jantung, dan penurunan kognitif.
Skor RAI dinilai dan dijumlahkan. Nilai maksimum skor adalah 81 poin. Pasien dikatakan rapuh atau frail jika memiliki skor RAI 30 atau lebih. Pasien dengan skor 40 atau lebih dikelompokkan sebagai very frail. Semua tindakan bedah dinyatakan sebagai risiko tinggi pada pasien frail dan very frail.[6]
Gambar 1. Risk Analysis Index. Sumber: dr. Bedry Qintha, Alomedika, 2022.[7]
Clinical Frailty Scale
Clinical Frailty Scale (CFS) menilai status frailty berdasarkan penilaian klinis. Skor CFS memiliki rentang 1 (very fit) hingga 9 (terminally ill). Secara garis besar, CFS menekankan pada penilaian fungsi pasien yang mencakup kemampuan pasien untuk mobilisasi serta menanyakan tentang aktivitas dan kemampuan fisik harian mereka. Ini mencakup penilaian kemandirian dalam melakukan aktivitas harian seperti mandi, berpakaian, pekerjaan rumah tangga, naik tangga, berbelanja, mengurus keuangan, minum obat, dan menyiapkan makanan.
Komponen CFS adalah:
Very fit: Pasien kuat, aktif, energik, dan termotivasi. Pasien umumnya berolahraga secara teratur, dengan tingkat aktivitas yang sangat sesuai dengan usia.
Well: Pasien tidak memiliki gejala penyakit berat tetapi kurang fit dibandingkan kategori 1. Pasien berolahraga atau sangat aktif sesekali, misalnya secara musiman.
Managing well: Pasien memiliki masalah medis yang terkontrol dengan baik tetapi tidak aktif secara teratur di luar rutinitas berjalan.
Living with very mild frailty: Meskipun tidak bergantung pada orang lain untuk aktivitas sehari-hari, gejala pasien terkadang membatasi aktivitas. Keluhan umum adalah "melambat" dan lelah di siang hari.
Living with mild frailty: Pasien mengalami perlambatan yang lebih jelas dan membutuhkan bantuan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari tingkat tinggi, seperti mengatur keuangan, transportasi, pekerjaan rumah tangga yang berat, dan pengelolaan obat-obatan. Pada kebanyakan kasus, tingkat kerapuhan secara progresif semakin mengganggu kemampuan belanja dan berjalan di luar sendirian, persiapan makan, dan kegiatan rumah tangga.
Living with moderate frailty: Pasien memerlukan bantuan untuk semua aktivitas di luar dan mengurus rumah tangga. Pada kegiatan dalam ruangan, pasien sering kesulitan dengan tangga, butuh bantuan untuk mandi, dan mungkin membutuhkan sedikit bantuan untuk berpakaian.
Living with severe frailty: Pasien sepenuhnya bergantung pada orang lain untuk perawatan pribadi kognitif dan fisik. Namun, pasien tampak stabil dan tidak berisiko tinggi meninggal dalam waktu enam bulan.
Living with very severe frailty: Sepenuhnya bergantung pada orang lain untuk perawatan pribadi dan mendekati akhir hidup. Biasanya pasien sulit dapat pulih bahkan dari penyakit ringan.
Terminally ill: Mendekati akhir hidup. Kategori ini berlaku untuk pasien dengan harapan hidup di bawah 6 bulan yang tidak hidup dengan kelemahan berat.[8,9]
Kesimpulan
Bukti ilmiah yang tersedia menunjukkan bahwa status frailty berkaitan dengan tingkat mortalitas dan morbiditas pembedahan yang lebih tinggi. Berbagai metode frailty assessment dapat digunakan, tetapi metode berbasis pemeriksaan klinis lebih disukai karena mudah dilakukan dan efisien. Ini mencakup penggunaan Risk Analysis Index dan Clinical Frailty Scale.