World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa angka kepatuhan pasien dalam mengonsumsi obat yang diresepkan oleh dokter hanya mencapai 50%. Di negara berkembang seperti Indonesia, ketidakpatuhan pasien dalam mengonsumsi obat disertai dengan keterbatasan akses fasilitas kesehatan akhirnya menyebabkan upaya pengendalian penyakit kronik menjadi tidak optimal.[1]
Memperbaiki kepatuhan pasien mengonsumsi obat memiliki peranan yang lebih besar bagi kesehatan pasien dibandingkan penemuan modalitas terapi baru. Kepatuhan mengonsumsi obat pada pasien dengan penyakit kronik dapat mencegah dan menunda komplikasi, mengurangi frekuensi rawat inap, dan mengurangi biaya kesehatan.[2,3]
Ketidakpatuhan pasien dalam mengonsumsi obat dapat menyebabkan progresivitas penyakit yang dialami, terjadinya efek samping obat yang tidak diinginkan, serta penambahan dosis dan jenis obat yang tidak diperlukan. Ketidakpatuhan mengonsumsi obat dilaporkan berkontribusi pada 50% kegagalan terapi, 125.000 kematian, dan 25% angka hospitalisasi setiap tahunnya di Amerika Serikat.[2-4]
Perspektif Pasien tentang Konsumsi Obat dari Dokter
Sebagian besar pasien yang tidak mengonsumsi obat secara teratur merupakan pasien penyakit kronik asimtomatik. Dari perspektif pasien, ketidakpatuhan dapat disebabkan oleh ketidakpercayaan terhadap sistem atau tenaga kesehatan, preferensi pribadi, literasi kesehatan yang rendah, informasi kesehatan yang simpang siur, ketakutan akan efek samping obat, kelalaian (lupa), dan masalah sosioekonomi.[3,5]
Ketidakpercayaan Pasien terhadap Dokter
Rasa tidak percaya pada dokter atau sistem kesehatan dapat ditemukan di semua kelompok sosiodemografi. Fenomena ini semakin memburuk dengan meningkatnya akses informasi kesehatan yang keliru, kasus-kasus malpraktik, serta panduan pelayanan kesehatan baru yang bertolak belakang dengan panduan sebelumnya.
Selain itu, sebuah studi oleh Grande el al menemukan bahwa 55% pasien meyakini dokternya menerima gratifikasi dari perusahaan farmasi, sehingga dokter dianggap bias dalam meresepkan obat demi kepentingan sosioekonominya sendiri. Turunnya kepercayaan pasien kepada dokter akibat relasi dokter dengan perusahaan farmasi ini ikut berperan dalam ketidakpatuhan pasien mengonsumsi obat.[2,3]
Preferensi Pasien yang Berbeda dari Dokter tentang Penyakitnya
Pasien mungkin memiliki pandangan atau preferensi yang berbeda dengan tenaga kesehatan. Misalnya, pasien bisa saja merasa kematian akibat serangan jantung lebih baik daripada akibat penyakit lain yang progresivitasnya lebih lambat, sehingga pasien tidak termotivasi untuk mengonsumsi obat preventif infark miokard tiap hari. Beberapa pasien juga memiliki keyakinan bahwa penyakit maupun kesembuhan adalah suatu takdir, sehingga pasien tersebut tidak berminat mengonsumsi obat secara rutin.[3]
Kemampuan Literasi yang Rendah
Sebagian pasien memiliki kemampuan literasi kesehatan yang rendah. Instruksi pada label obat dapat membingungkan untuk sebagian orang, seperti banyaknya variasi waktu dalam mengonsumsi obat. Di sisi lain, pasien sering tidak mengerti kebutuhan mengonsumsi obat pada penyakit kronik yang tidak bergejala. Pasien merasa tidak ada dampak bila mereka tidak mengonsumsi obat selama beberapa hari. Beberapa pasien juga mengartikan konsumsi obat untuk mengontrol penyakit sebagai ketergantungan obat.[3]
Pengaruh Eksternal dari Lingkungan Pasien
Informasi kesehatan keliru dari sanak keluarga, tetangga, atau sosial media membuat pasien lebih enggan untuk mengonsumsi obat.[3]
Kelalaian atau Lupa
Walaupun lupa merupakan alasan yang umum, lupa hanya berkontribusi pada 30% kasus ketidakpatuhan mengonsumsi obat. Mengidentifikasi tipe lupa sangat penting untuk mencari solusinya. Contohnya, wirausaha yang lupa mengonsumsi obat akibat sibuk tentu akan membutuhkan intervensi yang berbeda dari pasien dengan gangguan kognitif.[3]
Faktor Sosioekonomi Pasien
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat sosioekonomi yang lebih tinggi berkorelasi dengan kepatuhan pasien mengonsumsi obat yang lebih baik. Rasa malu akan ketidakmampuan membeli obat dapat menjadi salah satu alasan ketidakjujuran pasien akan perilaku konsumsi obatnya.[5]
Peran Tenaga Kesehatan terhadap Kepatuhan Pasien Mengonsumsi Obat
Sebagian besar dokter tidak menyadari bahwa pasien tidak patuh mengonsumsi obat. Penelitian oleh Lapane et al menunjukkan bahwa tenaga kesehatan memperkirakan hanya 9% dari total pasien menyembunyikan ketidakinginannya untuk melanjutkan resep obat mereka. Padahal, pada kenyataannya, sekitar 83% pasien melakukan hal tersebut.[3]
Keengganan mengungkapkan perilaku konsumsi obat disebabkan oleh banyak faktor, terutama rasa takut akan reaksi tenaga kesehatan jika mengetahui perilaku tersebut. Tenaga kesehatan sering merespons secara emosional saat mengetahui, seperti marah karena instruksinya tidak diikuti, putus asa karena pasien tidak mendengarkan nasihatnya, merasa dibohongi, atau frustasi karena telah salah meningkatkan dosis obat berdasarkan informasi keliru dari pasien.[3]
Dokter juga sering tidak melakukan komunikasi informasi penting mengenai obat yang dikonsumsi, seperti durasi terapi dan efek samping. Sebagian dokter menghindari pertemuan tatap muka yang lebih lama dengan pasien atau tidak terbiasa memberitakan berita buruk. Selain itu, polifarmasi dan frekuensi kunjungan yang banyak untuk mengambil obat juga berperan dalam ketidakpatuhan pasien.[3]
Bagaimana Menilai Kepatuhan Pasien Mengonsumsi Obat
Percakapan pertama antara dokter dan pasien mengenai suatu terapi baru merupakan kesempatan emas untuk mengomunikasikan informasi mengenai obat dan menggali pandangan pasien yang mungkin memengaruhi perilaku konsumsi obatnya. Pasien cenderung untuk mematuhi regimen obat apabila dilibatkan dalam diskusi dan proses pengambilan keputusan.[2]
Pada setiap kunjungan berikutnya, pasien dapat diminta untuk membawa semua obat yang sedang dikonsumsi. Dokter dan pasien bersama-sama mendiskusikan masing-masing obat yang ada. Pasien juga didorong untuk menanyakan kondisinya sendiri melalui tiga pertanyaan:
- “Apa masalah utama saya?”
- “Apa yang harus saya lakukan?”
- “Mengapa saya perlu melakukan ini?” [3]
Upaya menilai perilaku pasien dalam mengonsumsi obat merupakan proses yang sulit. Terdapat beberapa metode yang dikembangkan, tetapi belum ada yang memuaskan. Contoh metode tersebut adalah pelaporan mandiri dengan alat ukur seperti Morisky scale, MAR-scale, atau Tool for Adherence Behavior Screening (TABS), dan metode lain seperti evaluasi data pengambilan obat di fasilitas kesehatan. Kombinasi beberapa metode biasanya diperlukan untuk mengidentifikasi ketidakpatuhan.[3,6]
Dokter perlu memperhatikan tanda-tanda ketidakpatuhan mengonsumsi obat, seperti perhitungan jumlah pil yang tidak sesuai, missed refills, peningkatan terapi tanpa perbaikan kondisi klinis, kondisi depresi pada pasien, atau penggunaan pengobatan alternatif. Lingkungan yang tidak menghakimi memungkinkan pasien untuk lebih terbuka mengenai perilaku konsumsi obat.[3,4]
Upaya Peningkatan Kepatuhan Pasien Mengonsumsi Obat
Setelah ketidakpatuhan berhasil diidentifikasi, tenaga kesehatan perlu mengapresiasi kejujuran pasien. Solusi harus dipersonalisasi sesuai masing-masing pasien. Misalnya, untuk pasien yang lebih menyukai obat herbal, dapat dijelaskan bahwa metformin berasal dari bunga lila Prancis. Pasien tertentu juga merasa lebih percaya dengan staf kesehatan yang telah lama dikenal, sehingga komunikasi bisa dilakukan oleh staf kepercayaan pasien tersebut.[3]
Selain intervensi pada pasien dan tenaga kesehatan, intervensi pada sistem kesehatan juga dapat meningkatkan kepatuhan pasien mengonsumsi obat, seperti simplifikasi regimen obat melalui diskusi seluruh dokter penanggung jawab pasien, pengambilan obat yang dipermudah, dan penurunan biaya obat. Regimen obat dapat diberikan untuk durasi 90 hari dengan akses yang dipermudah, seperti pengiriman ke rumah pasien. Selain itu, saat ini teknologi sudah berkembang, sehingga pelayanan kesehatan menjadi lebih mudah dijangkau dan pemantauan kepatuhan pengobatan juga menjadi lebih mudah.[5]
Kesimpulan
Kepatuhan pasien mengonsumsi obat dapat mencegah dan menunda progresivitas penyakit, mengurangi frekuensi hospitalisasi, dan mengurangi beban biaya kesehatan. Ketidakpatuhan pasien dapat disebabkan karena ketidakpercayaan terhadap dokter atau sistem kesehatan, preferensi pribadi tentang penyakit, pengaruh eksternal, literasi yang rendah, kelalaian, dan faktor sosioekonomi pasien.
Dokter perlu mengomunikasikan manfaat dan risiko obat dengan informatif, serta menciptakan lingkungan yang tidak menghakimi agar pasien lebih terbuka untuk mendiskusikan perilaku konsumsi obatnya. Pasien cenderung untuk mematuhi regimen obat apabila dilibatkan dalam diskusi dan proses pengambilan keputusan.
Bila ketidakpatuhan berhasil diidentifikasi, dokter perlu mengapresiasi kejujuran pasien dan memberikan solusi yang dipersonalisasi sesuai perilaku masing-masing pasien.