Kepatuhan pengobatan merupakan bagian kerjasama antara dokter dan pasien untuk mendapatkan kesembuhan maksimal. Saat ini, teknologi dipertimbangkan untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan pasien sehingga dokter maupun pasien dapat memantau pengobatannya.
Kepatuhan pengobatan adalah perilaku seseorang dalam mengonsumsi obat, mengikuti pola makan, dan/atau mengubah gaya hidup, sesuai dengan rekomendasi penyedia layanan kesehatan. Kepatuhan pengobatan merupakan tantangan besar kesehatan masyarakat dalam tata laksana penyakit, terutama penyakit kronis.
Di negara berkembang ketidakpatuhan pengobatan penyakit kronis berkisar antara 30–50% dan diduga angka ini lebih tinggi di negara sedang berkembang. Beberapa faktor dapat memengaruhi kepatuhan pengobatan adalah kurangnya edukasi, kondisi ekonomi, efek samping obat, hingga kurangnya komunikasi dokter-pasien. Peningkatan kepatuhan pengobatan dapat memberikan pengaruh dalam kesehatan masyarakat.[1-3]
Penggunaan teknologi merupakan salah satu solusi dengan konsep yang menarik dan menjanjikan untuk meningkatkan kepatuahan pengobatan. Teknologi dapat dilibatkan dalam berbagai proses tata laksana penyakit.
Penggunaan teknologi dalam peningkatan kepatuhan pengobatan pasien meliputi penggunaan telepon genggam dan internet untuk berkomunikasi dengan pasien, pesan singkat, aplikasi, dan medikamentosa modern. Di atas semuanya itu, tidak ada yang dapat menggantikan hubungan dokter-pasien yang harus menjadi dasar terhadap setiap usaha peningkatan kepatuhan pengobatan pasien menggunakan intervensi teknologi.[2,3]
Rendahnya Kepatuhan Pengobatan Pasien pada Berbagai Penyakit
Kepatuhan pengobatan pasien memiliki peran penting dalam keberhasilan manajemen penyakit, baik akut maupun kronis. Kepatuhan terutama dibutuhkan pada pengobatan yang dilakukan dalam jangka panjang. Ketidakpatuhan dalam pengobatan dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas penyakit kronis, penurunan kualitas hidup, peningkatan kebutuhan rawat inap, serta penurunan luaran penyakit.
Selain berakibat dalam hal kesehatan, ketidakpatuhan dalam pengobatan juga berdampak pada sisi ekonomi terkait peningkatan risiko eksaserbasi pada penyakit kronis, kejadian kesehatan yang merugikan, dan peningkatan kebutuhan pelayanan kesehatan, yang berujung pada peningkatan biaya pelayanan kesehatan.[3,4]
Studi Mengenai Kepatuhan Pengobatan Penyakit Kronis
Sebuah penelitian cross-sectional dilakukan oleh Lo et al terhadap kepatuhan pengobatan pasien hipertensi di Hong Kong. Penelitian ini mengukur kepatuhan pengobatan dengan Morisky Medication Adherence Scale. Dari 195 total peserta penelitian, hanya 86 peserta (44,1%) terhitung sebagai pasien yang patuh dengan pengobatannya.
Lebih dari setengah peserta penelitian (53,3%) dilaporkan lupa mengonsumsi pengobatan antihipertensi dan 11,3% peserta penelitian memiliki masalah dalam mengingat konsumsi obat. Peserta yang tinggal bersama keluarga cenderung tidak patuh dalam pengobatan. Peserta dengan pemahaman baik terhadap penyakit dan pengertian bahwa hipertensi dapat dikontrol memiliki kepatuhan pengobatan yang lebih baik.[5]
Pada diabetes mellitus, menurut National Health and Nutrition Examination Survey, hanya 55,5% pasien dengan diabetes mellitus tipe II yang dapat memenuhi target kontrol kadar glukosa darah (HbA1c <7).[6] Berdasarkan medication possession ratio (MPR), tingkat kepatuhan pasien diabetes mellitus bervariasi berdasarkan terapi yang diterima.
Kepatuhan pasien (MPR ≥80%) berdasarkan terapi, antara lain 47,3% pada dipeptidyl peptidase-4 inhibitors, 41,2% pada sulfonilurea, dan 36,7% pada thiazolidinedione. Pada sebuah meta-analisis yang dilakukan Iglay, et al terhadap 40 studi, kepatuhan pengobatan pasien diabetes mellitus tipe II kurang baik, yaitu hanya 67,9% pasien yang mendapat nilai MPR ≥80%.[7] Namun,penelitian ini tidak menjelaskan alasan penghentian dari terapi antidiabetes.
Quitner et al melakukan penelitian retrospective cohort mengenai kepatuhan pengobatan pasien cystic fibrosis. Penelitian ini mengukur kepatuhan pengobatan berdasarkan composite MPR (CMPR) dan membagi hasil CMPR menjadi kategori rendah (<0,50), sedang (0,50-0,80), dan tinggi (≥0,80).
Penelitian ini menemukan rata-rata CMPR hanya pada 48%. Sebagian besar peserta penelitian (51%) memiliki nilai CMPR rendah dan hanya 20% peserta penelitian dengan nilai CMPR tinggi. Kepatuhan pengobatan rendah dan sedang dikaitkan dengan biaya pelayanan yang lebih tinggi pada masing-masing sekitar Rp 200 juta dan Rp 123 juta dibandingkan dengan pasien dengan kepatuhan tinggi.[8]
Penyebab Rendahnya Kepatuhan Pengobatan Pasien
Terdapat berbagai faktor yang dapat menyebabkan ketidakpatuhan dalam pengobatan pasien. Pengetahuan mengenai faktor penyebab ketidakpatuhan dapat membantu menentukan teknologi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan. Secara umum, faktor penyebab ketidakpatuhan pengobatan terbagi menjadi tiga kategori, yaitu personal, medikasi, dan pelayanan kesehatan.
Faktor Personal
Faktor personal merupakan faktor yang berada dalam diri pasien sendiri, yang terdiri dari:
- Kurangnya edukasi
- Kebutuhan hidup lain
- Kepercayaan sendiri mengenai kesehatan
- Persepsi pasien terhadap penyakit
- Kurangnya motivasi dan kepercayaan terhadap diri sendiri
- Strategi penyesuaian diri terhadap penyakit yang buruk
- Penyakit mental dan stres
- Ekonomi: di bawah angka kemiskinan[3,6]
Faktor Medikasi
Faktor medikasi merupakan faktor yang disebabkan oleh manajemen penyakit yang dijalani oleh pasien. Faktor medikasi terdiri dari:
- Efek samping
- Kerumitan tata laksana penyakit
- Rendahnya efikasi obat[3,6]
Faktor Pelayanan Kesehatan
Faktor pelayanan kesehatan merupakan faktor yang ada pada pelayanan kesehatan dan tenaga profesional didalamnya. Faktor pelayanan kesehatan terdiri dari:
- Kurangnya komunikasi antara dokter–pasien
- Manajemen pelayanan yang buruk
- Kurangnya pendekatan yang berpusat pada pasien (patient-centered)
- Inkonsistensi dalam pelayanan
- Ketidakmampuan penyedia layanan kesehatan untuk memulai atau meningkatkan terapi (clinical inertia)[3,6]
Penggunaan Teknologi dalam Kepatuhan Pengobatan
Oleh karena adanya faktor-faktor yang dapat memengaruhi kepatuhan pengobatan, beberapa modalitas diperlukan untuk meningkatkannya. Teknologi menjadi salah satu modalitas yang dapat digunakan untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan.
Pesan Singkat (Short Message Service)
Sekitar 6 miliar orang di seluruh dunia memiliki akses pada telepon genggam, dengan 98% diantaranya memiliki fitur pesan singkat. Pesan singkat memiliki potensi sebagai bagian dari teknologi yang dapat meningkatkan kepatuhan pengobatan pasien karena mudah diakses dan telah digunakan secara luas sebagai alat komunikasi. Pesan singkat dapat digunakan sebagai media edukasi, pengingat waktu konsumsi obat, dan pengingat waktu kontrol.[3,9]
Sebuah tinjauan dilakukan oleh DeKoekkoek et al terhadap 13 studi yang meneliti mengenai penggunaan pesan singkat dalam peningkatan kepatuhan pengobatan pasien. Pada seluruh artikel yang ditinjau, peserta penelitian menerima medikamentosa oral dengan kondisi yang dialami berupa penyakit kronik, penggunaan antibiotik setelah pulang dari Instalasi Gawat Darurat, atau penggunaan kontrasepsi oral.
Pesan singkat yang dikirimkan secara terstandarisasi, disesuaikan, satu atau dua arah, dan dikirim per hari sesuai terapi, per minggu, atau per bulan menunjukkan peningkatan terhadap kepatuhan pengobatan peserta penelitian. Sebagian besar studi (9 studi) menunjukkan peningkatan kepatuhan peserta penelitian terhadap pengobatan antara 15,3%-17,8% pada penggunaan pesan singkat.[9]
Bobrow et al melakukan penelitian acak single-blind mengenai perbandingan penggunaan pesan singkat berisi informasi, penggunaan pesan singkat interaktif, atau pelayanan seperti biasa pada 1.372 peserta penelitian yang menerima antihipertensi. Pengamatan dilakukan dengan pengukuran tekanan darah secara teratur selama 12 bulan.
Penelitian ini mendapati perbaikan tekanan darah sistolik pada peserta penelitian yang menerima pesan singkat dibandingkan dengan yang menerima pelayanan seperti biasa, dengan selisih -2,2 mmHg pada penggunaan pesan singkat berisi informasi dan -1,6 mmHg pada penggunaan pesan singkat interaktif.
Penelitian ini tidak menemukan perbedaan signifikan pada jenis penggunaan pesan singkat, baik berisi informasi dan interaktif, dalam peningkatan kepatuhan pengobatan.[10]
Aplikasi Smartphone
Teknologi ini memiliki potensi dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan pasien melalui aplikasi kesehatan yang ditujukan dalam bidang kesehatan. Jenis aplikasi smartphone yang dapat meningkatkan kepatuhan pengobatan pasien didesain untuk dapat membantu pasien dan/atau penyedia layanan kesehatan untuk memantau dan menjadwalkan resep, waktu konsumsi obat, isi ulang obat, kontrol ke dokter dan farmasi menggunakan informasi pribadi terkait pengobatan.[3,11]
Choi et al melakukan tinjauan terhadap 14 artikel yang membahas mengenai penggunaan aplikasi smartphone tertentu dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan pasien. Pada berbagai aplikasi yang dibahas, pengguna dapat memasukkan data medis pribadi, (seperti berat badan, tinggi badan, tekanan darah, dan kadar kolesterol), hasil pemeriksaan (seperti pencitraan radiologi), dan/atau informasi medis lain (seperti gambar tablet obat yang dikonsumsi).
Aplikasi smartphone yang dibahas dalam artikel yang ditinjau ditujukan untuk membantu pengguna dalam mengatur dan menemukan data medis pribadi, menentukan waktu kontrol, dan mengingatkan konsumsi obat pada waktu tertentu. Informasi yang dibutuhkan pada aplikasi dapat dimasukkan oleh pasien maupun dokter.[11]
Keunggulan penggunaan aplikasi smartphone yang termasuk dalam tinjauan ini meliputi kemampuan menjadwalkan konsumsi obat, menyimpan, mencadangkan, dan mengambil data medis pasien, memberi kemudahan bagi pengguna untuk mencari informasi obat, mengingatkan pengguna mengenai jadwal konsumsi obat, merekam dosis yang dikonsumsi dan terlupa, dan menganalisis kebiasaan konsumsi obat. Privasi data merupakan hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan aplikasi smartphone.[11]
Sebuah penelitian oleh Becker et al mengevaluasi aplikasi yang dikembangkan oleh Rumah Sakit Universitas Essen, Jerman, yang digunakan untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan pasien penyakit kronis dengan nama “Medication Plan”. Penelitian ini melibatkan 1.799 peserta penelitian dengan berbagai penyakit kronis, yaitu penyakit kardiovaskuler, riwayat transplantasi, diabetes mellitus, penyakit paru, dan penyakit hati.
Penelitian ini menemukan peningkatan penggunaan aplikasi pada peserta penelitian terkait dengan banyaknya jenis obat yang dikonsumsi. Peningkatan penggunaan aplikasi juga ditemukan pada pasien dengan usia ≥60 tahun dengan regimen obat yang rumit.[12]
Medication Event Monitoring Systems (MEMS)
Medication event monitoring system (MEMS) merupakan sebuah sistem di mana obat konvensional dimasukkan ke dalam tempat khusus yang dapat merekam tanggal dan waktu setiap tempat obat dibuka dan ditutup. Sistem ini memantau dan meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan dengan meningkatkan kesadaran pasien sendiri. Namun, sistem ini tidak dapat membuktikan obat ditelan oleh pasien.[3,13]
Sebuah studi observasional dilakukan terhadap 470 pasien dengan hipertensi ringan hingga sedang oleh van Onzenoort et al. Studi ini melakukan pengukuran kepatuhan pengobatan dengan membagi peserta penelitian menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang melakukan penghitungan obat disertai penggunaan MEMS dan kelompok kontrol yang hanya melakukan penghitungan obat.
Pengukuran tekanan darah dan kepatuhan pengobatan dilakukan secara berkala selama 1 tahun dalam 7 kali kontrol ke dokter. Berdasarkan penghitungan obat dan pengukuran tekanan darah, penggunaan MEMS tidak terbukti menurunkan tekanan darah atau menurunkan dosis obat antihipertensi lebih baik daripada kelompok kontrol.
Namun, sistem ini membuat pasien cenderung merasa wajib mengonsumsi obat menjelang waktu kontrol, atau yang dikenal dengan white coat compliance. Studi ini membuktikan bahwa penggunaan MEMS akan maksimal bila dilakukan dengan kontrol rutin ke dokter.[3]
Medikamentosa Modern
Medikamentosa modern merupakan modifikasi teknologi terhadap obat dalam upaya peningkatan kepatuhan pengobatan pasien. Medikamentosa modern dapat berupa modifikasi kemasan obat, seperti paket blister elektronik; atau modifikasi komposisi obat, seperti sistem biosensor yang dapat ditelan dan kombinasi dosis tetap.
Paket blister elektronik merupakan sistem di mana kemasan obat dimodifikasi dengan pemasangan label bersirkuit yang dihubungkan dengan papan sirkuit kecil pada kemasan obat. Pengambilan obat akan merusak sirkuit pada label di kemasan. Dengan demikian, data pengambilan obat dapat direkam dan diambil melalui perangkat yang memiliki pembaca near-field communication (NFC).
Terdapat perbedaan kepatuhan pengobatan dan indikator kesehatan pasien, seperti tekanan darah atau kadar kolesterol secara statistik pada pasien yang menerima pengobatan dengan paket blister elektronik dibandingkan dengan pengobatan dengan kemasan biasa.[3,13]
Contoh modifikasi komposisi obat adalah menggunakan sistem biosensor yang dapat ditelan, seperti radio-frequency identification (RFID) yang diletakkan pada kapsul gelatin untuk memantau tertelannya obat oleh pasien. Saat kapsul larut dalam lambung, RFID akan mengirim sinyal kepada perangkat relay yang ditempelkan pada tubuh pasien.
Data dari perangkat relay kemudian dikirimkan secara nirkabel ke smartphone pasien yang kemudian diteruskan kepada pemberi layanan kesehatan. Penggunaan sistem biosensor dapat digunakan pada terapi directly observed treatment (DOT), seperti manajemen tuberkulosis dan hipertensi.[3,13]
Kombinasi dosis tetap (fixed-dose combinations) merupakan teknologi medikamentosa yang telah lama digunakan dalam berbagai pengobatan. Kombinasi dosis tetap dilakukan agar pasien dapat mengonsumsi dosis beberapa jenis obat dalam satu tablet. Kombinasi dosis tetap digunakan pada berbagai penyakit yang membutuhkan berbagai jenis obat, seperti hipertensi, malaria, tuberkulosis, penyakit paru obstruktif kronis, penyakit kardiovaskuler, dan HIV.[3,13]
Sebuah uji acak terkontrol dilakukan oleh Selak et al terhadap penggunaan kombinasi dosis tetap untuk menilai peningkatan kepatuhan pengobatan pasien penyakit kardiovaskuler. Peserta penelitian terbagi menjadi kontrol yang menerima terapi seperti biasa dan yang menerima terapi kombinasi aspirin 75 mg, simvastatin 40 mg, dan lisinopril 10 mg dengan atenolol 50 mg atau hydrochlorothiazide 12,5 mg.
Kepatuhan pengobatan pasien ditemukan lebih tinggi pada pasien yang menerima kombinasi dosis tetap (81%) dibandingkan dengan kontrol (46%). Penggunaan kombinasi dosis tetap juga meningkatkan kepuasan pasien dan dokter dalam terapi.[14]
Kesimpulan
Kepatuhan pengobatan merupakan perilaku seseorang untuk mematuhi rekomendasi penyedia layanan kesehatan. Hal ini menjadi tantangan besar dalam kesehatan masyarakat. Pada beberapa penelitian, kepatuhan pasien pada pengobatan beberapa penyakit, terutama penyakit kronis, berada pada angka yang rendah.
Ketidakpatuhan pengobatan merupakan masalah yang harus ditangani karena dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas penyakit. Ketidakpatuhan juga dikaitkan dengan peningkatan kebutuhan rawat inap yang selanjutnya dapat meningkatkan biaya pelayanan kesehatan. Ketidakpatuhan dapat disebabkan dari dalam diri pasien sendiri, pengobatan yang diterima, dan tenaga profesional dan fasilitas pelayanan kesehatan yang menaunginya.
Penggunaan teknologi telah lama digunakan guna meningkatkan kepatuhan pengobatan pasien. Teknologi yang digunakan dapat berupa pesan singkat sebagai media edukasi dan pengingat; aplikasi smartphone sebagai penyimpan data medis, pengingat, dan analisis kebiasaan minum obat pasien; medication event monitoring system sebagai pemantau kepatuhan pengobatan; dan medikamentosa modern, berupa modifikasi kemasan obat, seperti paket blister elektronik; serta modifikasi komposisi obat, seperti sistem biosensor dan kombinasi dosis tetap.
Penggunaan teknologi telah terbukti dapat meningkatkan kepatuhan pengobatan yang selanjutnya dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit.