Pada wanita hamil dengan penyakit jantung bawaan, perubahan hemodinamik fisiologis yang terjadi pada kehamilan akan sulit dikompensasi. Untuk itu, diperlukan manajemen kehamilan spesifik pada wanita dengan penyakit jantung bawaan.
Perubahan Hemodinamik pada Wanita Hamil
Pada wanita hamil, terjadi berbagai perubahan hemodinamik, antara lain peningkatan cardiac output, peningkatan volume darah, serta menurunkan resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah.[1]
Perubahan hemodinamik ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan metabolik dalam mempertahankan sirkulasi uteroplasenta yang adekuat. Peningkatan tekanan darah terjadi saat persalinan, akibat nyeri kontraksi uterus dan peningkatan katekolamin, peningkatan aliran balik vena, serta kemungkinan perdarahan yang cukup tinggi, dengan estimasi 400–500 mL pada persalinan pervaginam, dan 800–900 mL pada persalinan sectio caesarea.[1,2]
Risiko Kehamilan pada Wanita dengan Penyakit Jantung Bawaan
Penyakit jantung bawaan yang diderita oleh wanita hamil dapat mengganggu kemampuan kompensasi jantung dalam menghadapi perubahan hemodinamik yang secara fisiologis terjadi saat masa kehamilan. Gangguan hemodinamik pada ibu dapat mempengaruhi aliran darah uteroplasenta. Semakin berat kelainan yang diderita maka semakin tinggi risikonya.[3]
Risiko pada ibu meliputi aritmia, perburukan tingkat keparahan penyakit jantung bawaan, gagal jantung menetap, stroke, hingga kematian. Risiko pada janin meliputi prematur, berat badan lahir rendah, abortus, offspring mortality, risiko terkena penyakit jantung bawaan.[2,3]
Selain itu, terdapat juga faktor yang meningkatkan risiko pada janin, seperti kelas fungsional pregestasi >II atau gejala sianosis, merokok selama kehamilan, gestasi multipel, obstruksi jantung kiri maternal, penggunaan antikoagulan oral selama kehamilan, prothesa mekanik katup jantung meningkatkan risiko luaran buruk pada janin.[2,3]
Pada negara maju, penyakit jantung maternal merupakan penyebab kematian maternal terbanyak. Hal ini disebabkan angka harapan hidup yang lebih baik bagi wanita dengan penyakit jantung bawaan, sehingga dapat hidup hingga usia reproduktif. Selain itu, juga berhubungan dengan kecenderungan untuk menunda memiliki anak hingga usia yang lebih tua, sehingga risiko komorbiditas meningkat, diantaranya hipertensi, diabetes, dan obesitas.[4]
Di negara berkembang, kematian maternal akibat penyakit jantung paling sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik, kardiomiopati, seperti kardiomiopati peripartum, dan penyakit jantung bawaan yang tidak diterapi.[4]
Estimasi Risiko Kehamilan pada Wanita dengan Penyakit Jantung Bawaan
Tahun 2018 European Society of Cardiology (ESC) merekomendasikan estimasi risiko kehamilan pada wanita dengan penyakit jantung, tidak hanya penyakit jantung bawaan, berdasarkan klasifikasi World Health Organization (WHO) yang telah dimodifikasi:
Kelas I
Risiko kehamilan sangat rendah pada kondisi berikut:
- Stenosis pulmoner ringan, patent ductus arteriosus ringan, prolaps katup mitral ringan
- Kelainan jantung yang sudah berhasil diperbaiki, seperti defek septum atrial atau ventrikel, patent ductus arteriosus
Premature ventricular contractions atau premature atrial contractions (PVC atau PAC)[5]
Kelas II
Risiko kehamilan rendah hingga sedang pada kondisi berikut:
- Defek septum atrial atau ventrikel yang belum diperbaiki
Tetralogy of Fallot yang sudah diperbaiki
- Aritmia supraventrikular[5]
Kelas II–III
Risiko kehamilan sedang hingga tinggi pada kondisi berikut:
- Kelainan otot jantung, seperti gangguan fungsi ventrikel kiri ringan, yaitu ejection fraction/ EF>45%, kardiomiopati hipertrofik, atau defek septum atrioventrikular
- Kelainan katup yang tidak tergolong kelas I atau IV WHO, atau aorta <45 mm pada patologi katup aorta bicuspid
- Kelainan genetik, misalnya sindrom Marfan atau sindrom heritable thoracic aortic diseases (HTAD) lainnya tanpa dilatasi aorta
- Kelainan pembuluh darah, misalnya koarktasio aorta yang sudah diperbaiki[5]
Kelas III
Risiko tinggi pada kondisi berikut:
- Kelainan otot jantung, seperti gangguan ventrikel kiri sedang (EF 30–45%), kardiomiopati peripartum tanpa ada sisa gangguan ventrikel kiri, ventrikel kanan sistemik dengan fungsi yang masih baik atau sedikit menurun
- Kelainan katup, seperti stenosis mitral sedang, atau stenosis aorta berat asimtomatik
- Kelainan pembuluh darah, misalnya sirkulasi Fontan tanpa komplikasi, atau dilatasi aorta sedang
- Lainnya, seperti takikardi ventrikular, kelainan jantung sianotik yang tidak diperbaiki dan katup mekanik, dan penyakit jantung kompleks lainnya[5]
Kelas IV
Risiko sangat tinggi pada kondisi berikut:
- Kelainan otot jantung, misalnya disfungsi ventrikel sistemik berat (EF<30% atau NYHA kelas III-IV), riwayat kardiomiopati peripartum dengan sisa gangguan fungsi ventrikel kiri, ventrikel kanan sistemik dengan penurunan fungsi ventrikel sedang–berat
- Kelainan katup jantung, seperti stenosis mitral berat, stenosis aorta berat simtomatik
- Kelainan pembuluh darah, seperti hipertensi arteri pulmoner, dilatasi aorta berat, (re)koarktasio aorta berat, sirkulasi Fontan dengan komplikasi apapun
- Lainnya, seperti sindrom Ehlers-Danlos[5]
Wanita dengan kelainan jantung kelas IV dilarang untuk hamil. Jika terjadi kehamilan, dokter perlu berdiskusi dengan pasien untuk pertimbangan terminasi kehamilan.[5]
Studi pada populasi Asia menunjukkan bahwa klasifikasi WHO tersebut valid digunakan untuk penilaian risiko kardiovaskular ibu, serta prediksi luaran neonatus. Manajemen kehamilan pada ibu dengan kelainan jantung kongenital tentunya memerlukan perhatian khusus. Manajemen meliputi aspek secara umum maupun khusus berdasarkan kelainan jantung yang diderita.[6]
Aspek Manajemen Kehamilan Umum pada Wanita dengan Penyakit Jantung Bawaan
Risiko ibu dan janin harus diperhitungkan sejak awal untuk menentukan rencana follow up. Penanganan sebaiknya dilakukan pada pusat kesehatan tersier untuk kehamilan risiko tinggi agar dapat ditangani oleh tim multidisiplin. Jika tergolong risiko rendah, maka dapat ditangani di pusat kesehatan regional.
Rencana penanganan ibu hamil dengan penyakit jantung bawaan yang direkomendasikan oleh European Society of Cardiology (ESC) yakni pertama melakukan penilaian risiko. Stratifikasi risiko secara individual perlu dilakukan untuk membantu klinisi dalam menentukan manajemen kehamilan pada wanita dengan penyakit jantung bawaan. Komponen-komponen yang perlu dinilai meliputi:
- Pengkategorian kategori risiko kelainan jantung yang diderita ibu
- Faktor risiko penyakit jantung, seperti usia, komorbid, risiko tromboemboli, riwayat merokok, dan akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan
- Faktor risiko terkait kehamilan, seperti usia, paritas, risiko preeklampsia, tromboemboli, dan riwayat merokok
- Risiko yang dapat diubah, seperti terapi antiaritmia, terapi obat, intervensi profilaksis, obesitas, dan kebiasaan merokok
- Riwayat medis, seperti riwayat aritmia, gagal jantung, stroke/ transient ischemic attack (TIA), kelas fungsional NYHA >II, obat-obatan yang dikonsumsi, riwayat kehamilan sebelumnya, serta penilaian fungsi miokardium dan katup jantung[3]
Berdasarkan berbagai komponen di atas, dapat ditentukan risiko pada bayi dan ibu. Risiko yang mungkin dialami ibu yakni penurunan fungsi jantung transien, aritmia, gagal jantung sementara maupun menetap, perdarahan/ tromboemboli bahkan hingga risiko stroke maupun kematian.[3]
Risiko janin meliputi berat badan lahir rendah, prematur, risiko terkena penyakit jantung bawaan serta kelainan akibat obat-obatan yang dikonsumsi ibu. Selain itu tentu perlu diperkirakan efek jangka panjang kehamilan tersebut terhadap kelainan jantung kongenital ibu.[3]
Pembuatan Keputusan Bersama dengan Pasien
Setelah itu, informasikan secara mendetail kepada ibu dan suaminya mengenai risiko tersebut. Penjelasan harus diberikan secara terperinci hingga pasien dan keluarga paham tentang kondisi kesehatannya, dan risiko yang mungkin dialami dirinya maupun janin.[3]
Ibu dan pasangan harus mengetahui kemungkinan pilihan yang dimiliki untuk melanjutkan kehamilan maupun terminasi kehamilan. Jika diputuskan untuk melanjutkan kehamilan, berikan edukasi pasien terkait kontrol dan dokter spesialis apa saja yang harus ditemui untuk menjaga kehamilannya, serta pemeriksaan penunjang yang diperlukan. Pastikan obat-obat yang dikonsumsi oleh ibu tidak dikontraindikasikan pada kehamilan.[3]
Namun, jika direncanakan untuk terminasi kehamilan maka berikan informasi mendetail mengenai terminasi yang aman, pilihan kontrasepsi yang akan digunakan selanjutnya hingga informasi mengenai kemungkinan mendapatkan keturunan dengan cara lain, seperti adopsi. Dokter juga dapat menyarankan pasien untuk meminta second opinion.[3]
Manajemen Spesifik pada Penyakit Jantung Bawaan Sianotik
Ibu hamil dengan penyakit jantung bawaan sianotik memiliki risiko lebih besar akibat penurunan saturasi oksigen. Aliran pirau kanan ke kiri pada pasien dengan penyakit jantung bawaan sianotik dapat semakin meningkat akibat penurunan afterload sebagai konsekuensi perubahan hemodinamik selama kehamilan.
Peningkatan aliran pirau abnormal akan memperburuk sianosis maternal. Gangguan pertumbuhan intrauterin, bayi berat lahir rendah, kelahiran prematur maupun aborsi spontan dapat terjadi. Kelainan jantung bawaan sianotik di antaranya tetralogi Fallot, transposisi arteri besar, atresia trikuspid.[2]
Manajemen Kehamilan Spesifik pada Tetralogy of Fallot (TOF)
Pada ibu hamil dengan tetralogy of Fallot sebaiknya dilakukan evaluasi tiap trimester oleh dokter jantung. Evaluasi lebih sering perlu dilakukan jika terdapat regurgitasi pulmoner berat. Kehamilan sebelumnya dapat berakibat pembesaran ventrikel kanan. Risiko maternal terutama timbulnya aritmia dan gagal jantung.
Terapi konservatif berupa tirah baring dan diuretik disarankan untuk pasien TOF dengan gagal jantung kanan. Jika gagal, pertimbangkan terminasi kehamilan lebih dini. Komplikasi kehamilan terutama restriksi pertumbuhan janin intrauterin.[5]
Manajemen Kehamilan Spesifik pada Transposition of the Great Arteries
Wanita dengan transposition of the great arteries memiliki risiko berat bayi lahir rendah (BBLR) dan kelahiran prematur tinggi yang tinggi, sekitar 38%. Perlu dilakukan evaluasi tiap bulan untuk menilai fungsi ventrikel kanan sistemik dan ada tidaknya aritmia. Jika timbul gagal jantung, maka diuretik, seperti furosemide, dan terapi lain terkait gagal jantung perlu diberikan.[5]
Manajemen Kehamilan Spesifik pada Penyakit Jantung Bawaan Nonsianotik
Pada penyakit jantung bawaan ini tidak ditemukan gejala sianosis. Kelainan meliputi defek septum dengan aliran pirau kiri ke kanan seperti pada defek septum ventrikel, defek septum atrium, atau patent ductus arteriosus. Penyakit jantung bawaan non sianotik tanpa disertai defek septum meliputi stenosis aorta, stenosis pulmonal dan koarktasio aorta.
Manajemen Kehamilan Spesifik pada Atrial Septal Defect
Pada kasus defek septum atrium yang belum diperbaiki, risiko maternal meliputi tromboemboli dan aritmia atrial. Komplikasi kehamilan yang sering muncul yakni preeklampsia dan restriksi pertumbuhan janin intrauterin. Tindakan penutupan defek menggunakan alat penutup via kateter jarang diindikasikan, tetapi dapat dilakukan selama masa kehamilan. Pencegahan stasis vena perlu dilakukan pada wanita dengan pirau residual melalui penggunaan stoking kompresi dan meminimalisir tirah baring.[5]
Manajemen Kehamilan Spesifik pada Ventricular Septal Defect
Ibu hamil dengan defek septum ventrikel harus dievaluasi terkait kemungkinan hipertensi pulmoner minimal sekali selama masa kehamilan. Belum ada bukti risiko komplikasi kehamilan.[5]
Manajemen Kehamilan Spesifik pada Atrioventricular Septum Defect
Ibu hamil dengan defek septum atrioventrikular harus dievaluasi oleh dokter jantung minimal tiap tiga bulan sekali. Evaluasi lebih sering diperlukan pada pasien dengan regurgitasi katup yang signifikan atau gangguan fungsi ventrikel.[5]
Manajemen Kehamilan Spesifik pada Stenosis Pulmoner
Ibu hamil dengan stenosis pulmoner ringan–sedang cukup dievaluasi 2–3 kali selama masa kehamilan. Jika berat, evaluasi tiap 1 atau 2 bulan sekali perlu dilakukan untuk menilai fungsi ventrikel kanan. Valvuloplasti perkutan dapat menjadi pilihan terapi pada kasus berat.[5]
Manajemen Kehamilan Spesifik pada Koarktasio Aorta
Koarktasio aorta dapat mengakibatkan timbul hipertensi. Pada ibu hamil, evaluasi dan penanganan tekanan darah penting dilakukan karena dapat berakibat pada preeklampsia maupun keguguran akibat hipoperfusi plasenta. Intervensi perkutan walaupun memungkinkan selama kehamilan hanya dilakukan jika timbul hipertensi refrakter dan membahayakan kondisi janin.[5]
Manajemen Kehamilan Spesifik pada Hipertensi Pulmoner
Beberapa penyakit jantung bawaan dapat menimbulkan komplikasi hipertensi pulmoner. Sekitar 16–30% ibu hamil dengan hipertensi pulmoner berisiko tinggi mengalami kematian yang seringkali disebabkan oleh krisis hipertensi pulmoner, trombosis pulmoner dan gagal jantung kanan.
Masa paling berbahaya yakni puerperium serta postpartum. Janin dan neonatus pun berisiko tinggi mengalami kematian, persentasenya 0–30%. Kematian janin seringkali akibat hipoksemia, prematur, serta rendahnya curah jantung ibu. Berdasarkan alasan tersebut, penderita hipertensi pulmoner disarankan untuk tidak hamil. Terminasi kehamilan menjadi pilihan pada kasus ini. Ibu harus memahami risiko yang dihadapinya dan alasan terminasi disarankan.
Jika pasien memutuskan untuk mempertahankan kehamilan, pasien perlu ditangani oleh tim multidisiplin di rumah sakit dengan pusat ahli kandungan dan jantung. Follow up perlu dilakukan secara regular bahkan seminggu sekali terutama pada trimester akhir. Penilaian tidak hanya meliputi kondisi kandungan, tetapi juga penilaian fungsi ventrikel kanan serta saturasi oksigen.[5]
Keamanan Obat-obatan Hipertensi Pulmoner pada Kehamilan
Obat-obatan yang biasa diberikan pada pasien hipertensi pulmoner harus dinilai ulang. Beberapa obat memiliki efek samping kelainan pada embrio, yakni bosentan dan antagonis endothelin lainnya. Pertimbangkan manfaat dan risiko pemberian obat tersebut.
Pemberian obat penghambat kanal kalsium, seperti amlodipin dan diltiazem, bisa dilanjutkan. Diuretik diberikan pada penderita yang sudah mengalami gagal jantung. Antikoagulan yang aman untuk kehamilan, misalnya heparin, dipertimbangkan untuk mencegah tromboemboli.[5]
Metode Persalinan pada Wanita dengan Penyakit Jantung Bawaan
Penentuan waktu dan metode persalinan harus diputuskan oleh tim dokter setidaknya melibatkan dokter kandungan, jantung dan anestesi. Keputusan didasari atas indikasi obstetri dan kondisi hemodinamik.
Metode Persalinan
Persalinan spontan dapat dipilih jika pasien dalam kondisi hemodinamik baik dan asimptomatik. Akan tetapi, jika disfungsi kardiak berat dan termasuk risiko tinggi, waktu dan metode persalinan harus dipikirkan secara matang. Jika dibandingkan dengan persalinan sectio caesarea, persalinan pervaginam memberikan manfaat berupa perdarahan yang lebih sedikit, pemulihan lebih cepat serta risiko trombosis lebih rendah.
Persalinan pervaginam dengan bantuan vakum atau forceps direkomendasikan berdasarkan berat kelainan jantung, serta untuk mencegah persalinan lama dan mengurangi beban mengejan. Obat-obatan seperti prostaglandin dan oksitosin relatif aman digunakan pada ibu dengan kelainan jantung kongenital jika diperlukan untuk augmentasi atau induksi persalinan.[5–8]
Metode persalinan sectio caesarea (SC) dapat mengurangi stress kardiovaskular yang mungkin timbul akibat perubahan hemodinamik yang terjadi saat persalinan. Kekurangannya dari prosedur SC adalah risiko tromboemboli vena, infeksi luka operasi maupun perdarahan.[3,5,9]
Registry Of Pregnancy And Cardiac disease (ROPAC) menyimpulkan persalinan SC elektif tidak bermanfaat bagi ibu. Bahkan, dapat menyebabkan persalinan dini dan BBLR. Namun, pedoman ESC menyarankan untuk mempertimbangkan SC pada persalinan preterm ibu yang mengonsumsi antikoagulan oral, gagal jantung berat, hipertensi pulmoner dengan sindrom Eisenmenger, ibu dengan diameter aorta ascending >45 mm, dan stenosis aorta berat simptomatik.[3,5,9]
Anestesi epidural juga mampu mengurangi perubahan hemodinamik yang timbul akibat nyeri intrapartum. Pada beberapa kasus kadang diperlukan anestesi umum.[7]
Waktu Persalinan
Jika kondisi pasien baik, persalinan dapat ditunggu hingga usia gestasi 40 minggu. Jika belum ada tanda persalinan maka pertimbangkan untuk induksi. Penentuan induksi tentunya mempertimbangkan kemampuan jantung dan kondisi ibu maupun fetus. Namun, jika risiko tinggi dengan lesi kompleks dan kondisi ibu maupun fetus yang tidak baik, persalinan mungkin saja direncanakan sebelum usia kehamilan 37 minggu. Keputusan tersebut harus diputuskan oleh tim multidisiplin.[4,7]
Periode Postpartum
Pemantauan postpartum bergantung pada tipe dan berat kelainan jantung ibu. Pada ibu dengan hipertensi pulmoner, terdapat risiko kematian tinggi pada masa puerperium dan postpartum, sehingga ruang rawat intensif dengan peralatan lengkap perlu dipersiapkan untuk penanganan postpartum. Edukasi tentang perencanaan kehamilan selanjutnya termasuk pilihan kontrasepsi harus dijelaskan pada ibu.[5]
Kesimpulan
Risiko kehamilan pada ibu dengan kelainan jantung kongenital berkaitan dengan penurunan kemampuan kompensasi jantung dalam menghadapi perubahan hemodinamik selama masa kehamilan. Ibu berisiko mengalami perburukan tingkat keparahan penyakit jantung bawaan, aritmia, gagal jantung menetap, perdarahan/tromboemboli, stroke, bahkan kematian.
Tidak hanya ibu, janin pun berisiko mengalami lahir prematur, berat badan lahir rendah, abortus, risiko rekurensi menderita penyakit jantung bawaan maupun menderita kelainan akibat obat-obatan yang dikonsumsi ibu.
Penanganan kehamilan pada wanita hamil dengan penyakit jantung bawaan tergantung pada jenis kelainan serta derajat keparahan penyakit jantung kongenital yang diderita. Penanganan diawali dengan stratifikasi risiko, penentuan untuk terminasi atau mempertahankan kehamilan, rencana follow up, penentuan metode dan waktu persalinan, serta penanganan postpartum. Penanganan perlu dilakukan oleh tim ahli multidisiplin dengan perencanaan pengawasan secara mendetail.
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra