Penggunaan antibiotik topikal untuk pencegahan infeksi pada luka tanpa komplikasi masih menjadi perdebatan. Beberapa studi melaporkan bahwa pemberian antibiotik topikal dapat mengurangi risiko infeksi luka. Namun, penurunan risiko absolut infeksi tersebut dianggap tidak bermakna, sehingga literatur yang ada menyimpulkan bahwa penggunaan antibiotik topikal tidak begitu diperlukan.
Luka dapat didefinisikan sebagai cedera pada kontinuitas kulit. Luka minor umumnya memiliki kedalaman yang terbatas pada lapisan lemak subkutan dan tidak mencapai struktur di bawahnya, yakni otot, tulang, arteri utama, saraf, dan tendon. Artikel ini akan mengulas pengaruh antibiotik topikal terhadap luka ringan dan luka bedah yang tidak disertai komplikasi.[1,2]
Prinsip Utama Manajemen Luka
Tujuan utama manajemen luka adalah memfasilitasi penyembuhan tanpa komplikasi maupun sekuele. Ada beberapa pedoman yang dapat diikuti dalam manajemen luka:
- Terapkan prinsip asepsis ketika menangani luka dengan urutan tindakan berupa pembersihan, eksplorasi, dan insisi
- Identifikasi luka yang perlu dijahit dan yang perlu diterapi bertahap
- Segera tutup luka baru (<6 jam) yang bersih tetapi tunda penutupan pada luka yang terkontaminasi dan/atau luka yang terjadi >6 jam
- Hindari infeksi lokal (abses) dan infeksi sistemik (gas gangrene, tetanus)[1]
Luka perlu ditutup dengan dressing yang tepat dan perlu dijaga agar terus lembab dan tidak terinfeksi, supaya penyembuhan dapat selesai dengan cepat. Perlu tidaknya pemberian antibiotik untuk pencegahan infeksi, baik dalam bentuk topikal maupun sistemik, masih kontroversial dan akan dibahas dalam artikel ini.[3]
Perbandingan Manajemen Luka Dengan dan Tanpa Antibiotik Topikal
Umumnya, antibiotik topikal tidak disarankan untuk terapi luka tanpa komplikasi. Akan tetapi, beberapa literatur berargumen bahwa pemberian antibiotik topikal mungkin bermanfaat untuk pencegahan infeksi luka.
Suatu meta analisis mempelajari 8 studi (5.427 peserta) untuk melihat ada tidaknya infeksi luka bedah. Hasil menunjukkan bahwa antibiotik topikal mungkin menurunkan risiko infeksi bila dibandingkan manajemen tanpa antibiotik topikal (RR 0,61; 95% CI 0,42–0,87). Namun, pelaku studi belum dapat menilai risiko pemakaian antibiotik topikal, seperti munculnya dermatitis kontak alergi atau resistensi bakteri.[4]
Meta analisis lain yang mempelajari 11 studi (5.240 luka) juga membandingkan risiko infeksi luka pada grup antibiotik topikal dan grup plasebo. Hasil menunjukkan bahwa antibiotik topikal menurunkan risiko relatif infeksi luka secara signifikan (RR: 0,57; 95% CI: 0,37–0.86; p=0,01) tetapi tidak menurunkan risiko absolut secara bermakna. Meta analisis ini menganjurkan pemberian antibiotik topikal harus dipikirkan dengan hati-hati karena ada peningkatan risiko resistensi dan ada efek samping antibiotik.[5]
Perbandingan Antibiotik Topikal dan Antiseptik Topikal
Beberapa literatur menilai bahwa penggunaan antiseptik topikal lebih unggul daripada antibiotik topikal karena memiliki risiko alergi yang lebih rendah daripada antibiotik, tidak menyebabkan resistensi antibiotik, dan memiliki spektrum patogen yang lebih luas.[6]
Pemberian antibiotik yang tidak perlu dikhawatirkan dapat meningkatkan resistensi bakteri terhadap antibiotik. Penelitian menemukan ada peningkatan resistensi mupirocin sebanyak 20% setelah 9 tahun menjadi obat beli bebas. Pada saat obat ini hanya dapat dibeli dengan resep dokter, resistensi terlihat menurun hingga 8%.[7,8]
Antibiotik topikal juga memiliki risiko reaksi alergi yang lebih tinggi daripada antiseptik. Contoh reaksi alergi yang dilaporkan adalah akibat neomycin. Reaksi alergi neomycin dapat terjadi pada 13% pasien bila dibandingkan dengan iodine yang hanya memiliki tingkat alergi <1%. Penggunaan neomycin secara berlebihan juga dinilai memiliki peran dalam menyebabkan resistensi.[6]
Suatu meta analisis terhadap 4 studi (total 1.037 luka) membandingkan antibiotik topikal dan antiseptik dalam hal pencegahan infeksi luka. Hasil menunjukkan bahwa antibiotik topikal menurunkan risiko relatif infeksi dengan lebih signifikan daripada antiseptik tapi tidak menurunkan risiko absolut secara bermakna. Meta analisis ini menyimpulkan bahwa untuk mengurangi risiko resistensi antibiotik, penggunaan antibiotik topikal harus dipertimbangkan dengan matang. Antiseptik bisa menjadi alternatifnya.[5]
Rekomendasi tentang Penggunaan Antibiotik Topikal untuk Manajemen Luka
WHO tidak menyarankan penggunaan antibiotik topikal ataupun pencucian luka dengan solusi antibiotik. Luka ringan pada umumnya hanya diirigasi dengan antiseptik dan diberikan mechanical scrubbing sebelum diterapi lebih lanjut. Luka terinfeksi dan/atau terkontaminasi sebaiknya diberikan antibiotik oral.
American Academy of Dermatology (AAD) juga menyarankan untuk tidak secara rutin memberikan antibiotik topikal pada luka bedah oleh karena penurunan risiko infeksi dinilai sangat kecil dan terdapat risiko resistensi bakteri.[3,9]
Kesimpulan
Pemberian antibiotik topikal untuk mencegah infeksi luka tanpa komplikasi masih sering menjadi perdebatan. Studi menunjukkan bahwa antibiotik topikal dapat mengurangi risiko relatif infeksi luka tetapi tidak menurunkan risiko absolut secara bermakna.
Pemberian antibiotik topikal yang kurang perlu berisiko menimbulkan resistensi bakteri terhadap antibiotik. Oleh karena itu, studi menganjurkan agar pemberian antibiotik topikal dipikirkan ulang dengan hati-hati sesuai risiko infeksi tiap luka. Antiseptik dapat dipertimbangkan sebagai opsi lain untuk mengurangi risiko resistensi bakteri.
Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur