Pendahuluan Terbutaline
Terbutaline adalah bronkodilator agonis adrenoreseptor beta-2 selektif kerja pendek yang digunakan sebagai terapi lini pertama untuk bronkospasme karena asma atau penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Saat ini terbutaline selain digunakan untuk bronkodilator, juga dapat digunakan untuk mencegah terjadinya persalinan preterm karena bersifat tokolitik.[1]
Terbutalin secara selektif mengikat dan mengaktifkan reseptor adrenergik beta-2, yang mengarah ke aktivasi adenil siklase intraseluler melalui protein G trimerik dan selanjutnya meningkatkan produksi cyclic-3’,5’-adenosine monophosphate (cAMP). Peningkatan kadar cAMP menghasilkan relaksasi otot polos bronkus dan pembuluh darah.[1,2]
FDA telah menetapkan black box warning terkait kontraindikasi penggunaan terbutaline injeksi untuk tokolisis berkepanjangan, lebih dari 48-72 jam. Tablet oral juga disebutkan dikontraindikasikan untuk tokolisis akut atau rumatan. Jangan gunakan terbutaline injeksi atau tablet oral untuk tokolisis rumatan, terutama pada setting rawat jalan.
Efek samping terbutaline yang serius, terkadang fatal, yang perlu diwaspadai adalah peningkatan detak jantung, hiperglikemia, hipokalemia, aritmia jantung, edema paru, dan iskemia miokard. Ini telah dilaporkan setelah pemberian pada wanita hamil. Peningkatan denyut jantung janin dan hipoglikemia neonatal dapat terjadi akibat pemberian terbutaline pada ibu.[3]
Di Indonesia, terbutaline tersedia dalam merek dagang Nairet®, Neosma®, Lasmalin®, Tabas®, Bricasma®, Molasma®, dan Forasma®.[4]
Tabel 1. Deskripsi Singkat Terbutaline
Perihal | Deskripsi |
Kelas | Obat untuk saluran napas.[5] |
Subkelas | Antiasma.[5] |
Akses | Resep.[5] |
Wanita hamil | Kategori FDA: C[3] Kategori TGA: A[6] |
Wanita menyusui | Dikeluarkan ke ASI.[7] |
Anak-anak | Tidak direkomendasikan pada anak di bawah 12 tahun.[3] |
Infant | |
FDA | Approved.[3] |
Penulisan pertama: dr. Graciella N T Wahjoepramono