Pilihan anti jamur yang aman pada kehamilan, baik topikal maupun sistemik, sebaiknya diketahui oleh klinisi. Selama periode kehamilan, tubuh menjadi lebih rentan terhadap infeksi, termasuk infeksi jamur. Infeksi jamur yang dapat ditemukan pada ibu hamil misalnya kandidiasis mukokutan atau kandidiasis vulvovagina, histoplasmosis, blastomikosis, coccidiomycosis, dan kriptokokosis.[1]
Farmakologi Antijamur pada Kehamilan
Hingga saat ini hanya sedikit penelitian yang dilaporkan terkait regimen dan dosis antijamur/antifungal yang optimal untuk digunakan selama kehamilan. Rasionalisasi pemberian antifungal harus dilakukan secara aman dengan penilaian yang lebih mendalam. Pertimbangan risiko efek samping maupun keuntungan harus dilihat dari kedua sisi, yaitu ibu dan janin. Hal ini dilakukan untuk mencegah risiko abortus, anomali kongenital, efek toksis pada orang dan prematuritas.[1]
Farmakokinetik dan farmakodinamik antifungal serta beberapa parameter spesifik lainnya (usia kehamilan, tingkat paparan obat terhadap janin, perubahan fisiologis ibu) perlu menjadi perhatian khusus. Selain itu, absorpsi obat dapat dipengaruhi oleh mual dan muntah (hiperemesis) pada awal kehamilan, perubahan cardiac output, dan aliran darah intestinal.[1,2]
Peningkatan aliran darah serta penurunan konsentrasi serum albumin dapat meningkatkan distribusi dari obat. Proses eliminasi obat juga dipengaruhi oleh laju filtrasi ginjal dan aktivitas sitokrom. Paparan obat terhadap janin bergantung pada kemampuan obat menembus plasenta, usia kehamilan (pematangan plasenta dengan peningkatan eksposur janin) dan parameter intrinsik obat (lipo solubilitas, berat molekul, dan ikatan protein).[1,2]
Infeksi Jamur pada Kehamilan
Pada umumnya terdapat dua tipe infeksi fungal, yaitu kandidiasis vulvo-vagina dan infeksi fungal sistemik. Kandidiasis vulvovaginal terjadi setidaknya satu kali pada 75% wanita dan 20% ibu hamil. Kadar glikogen yang meningkat pada vagina selama kehamilan menjadi wadah yang sesuai untuk tumbuhnya Candida sp. Selain itu, estrogen membantu sel ragi menempel pada dinding vagina dan memfasilitasi proliferasi dan germinasi blastospora.[1,3,4,5]
Infeksi Jamur Sistemik
Sedangkan infeksi jamur sistemik yang terjadi pada kehamilan biasanya memiliki gejala yang lebih berat. Trimester akhir dan pasca persalinan berhubungan dengan risiko tinggi infeksi coccidiomycosis diseminata. Histoplasmosis dan blastomikosis diseminata juga lebih sering terjadi selama kehamilan.[1,3,4,5]
Golongan Obat Antijamur Sistemik dan Pengaruhnya pada Kehamilan
Berdasarkan pemberiannya, obat antifungal dapat dibedakan menjadi sistemik dan topikal. Obat antifungal sistemik yang paling aman dan banyak digunakan selama kehamilan adalah amphotericin B. Hingga saat ini, belum ada laporan teratogenesis yang dikaitkan dengan agen ini. Ketoconazole, flucytosine, dan griseofulvin telah terbukti bersifat teratogenik dan/atau embriotoksik pada penelitian hewan sehingga harus dihindari.[1,6]
Tabel 1. Golongan obat-obatan antifungal dan kategori risiko pada kehamilan berdasarkan FDA
Polyenes Sistemik
Polyene berikatan dengan ergosterol untuk membentuk celah transmembrane pada sel fungi sehingga terjadi kebocoran ion dan berujung pada kematian sel. Amfoterisin B bekerja secara broad spectrum dan merupakan antifungal sistemik yang paling aman digunakan selama kehamilan. Obat ini dapat melewati plasenta dan mencapai konsentrasi terapeutik pada janin dengan dengan rasio cord blood : maternal serum berkisar antara 0,38‒1.[1]
Pada penelitian terhadap tikus dan kelinci, obat ini tidak menunjukkan teratogenisitas meskipun diberikan dengan dosis 10 kali lipat dosis yang direkomendasikan pada manusia, bahkan pada penggunaan selama trimester pertama.[1]
Azoles Sistemik
Obat yang termasuk golongan azoles yaitu : imidazoles dan triazoles (ketoconazole, itraconazole, fluconazole, voriconazole, dan posaconazole). Golongan ini bekerja dengan menargetkan C14α demethylase sehingga menghambat biosintesis ergosterol yang merupakan salah satu komponen membran sel fungal. Data penelitian pada binatang dan manusia menyatakan bahwa obat golongan azoles bersifat teratogenik.[1,6]
Ketoconazole:
Ketoconazole telah terbukti memiliki efek teratogenik dan embriotoksik dalam pemberian dosis tinggi (80 mg/kg/hari) pada uji coba binatang. Tidak hanya itu, obat ini juga dapat mempengaruhi perkembangan organ seks.[1]
Fluconazole:
Fluconazole adalah triazole sistemik yang memiliki efek fungistatik pada ragi, misalnya Candida sp dan Cryptococcus sp. Obat ini memiliki efek embrio-fetotoksik dan teratogenik pada tikus dan kelinci. Pemberian dengan dosis total harian >300 mg bersifat teratogenik dan kontraindikasi selama kehamilan. Pemberian dosis tunggal <300 mg tidak meningkatkan risiko cacat kongenital dan dapat dipertimbangkan untuk diberikan apabila tidak ada pengobatan alternatif lain pada trimester pertama.[1,6]
Itraconazole:
Itraconazole adalah golongan triazole yang bersifat broad spectrum. Obat ini memiliki efek embriotoksik dan teratogenik pada tikus namun belum ditemukan peningkatan risiko selama kehamilan, terutama selama trimester pertama. Mengingat risiko obat golongan azole terhadap manusia, itraconazole tetap harus dihindari terutama selama trimester pertama kehamilan. Selain itu, pasien yang sedang dalam pengobatan dengan obat ini hingga 2 bulan setelahnya, diwajibkan untuk menggunakan kontrasepsi.[1,6]
Voriconazole:
Voriconazole memiliki efek embriotoksik dan teratogenik pada tikus dan kelinci. Data penggunaannya pada ibu hamil masih terbatas sehingga obat ini tidak direkomendasikan selama kehamilan, kecuali pada kondisi mengancam nyawa ibu tanpa alternatif terapi lainnya.[1]
Posaconazole:
Posaconazole memiliki efek embriotoksik dan teratogenik pada tikus dan kelinci. Belum ada data penelitian pada ibu hamil sehingga penggunaannya tidak direkomendasikan kecuali pada kondisi mengancam nyawa ibu hamil tanpa alternatif terapi lainnya.[1]
Echinocandins
Echinocandins menghambat kerja enzim 1,3-ß-D-glucan sintase yang berperan pada pembentukan dinding sel fungal. Echinocandins bekerja secara broad spectrum, termasuk terhadap ragi seperti Candida spp. dan Aspergillus spp., namun tidak efektif terhadap Cryptococcus spp., Mucorales dan Fusarium spp.
Pada penelitian terhadap tikus dan kelinci, dinyatakan bahwa golongan echinocandins (caspofungin, micafungin, dan anidulafungin) dapat menembus plasenta serta memberikan efek teratogenik dan embriotoksik. Saat ini belum ada data penelitian terhadap penggunaan obat golongan echinocandins pada manusia sehingga obat ini tidak direkomendasikan untuk ibu hamil.[1]
Flucytosine
Flucytosine diubah menjadi fluorouracil di dalam sel fungal. Antifungal ini bekerja dengan menghambat pembentukan protein dan DNA. Efektivitas penggunaannya terbatas pada Candida spp. dan Cryptococcus spp. Efek samping flucytosine berupa toksisitas sumsum tulang, liver dan gastrointestinal.
Obat ini terbukti teratogenik pada tikus, dapat menembus plasenta manusia, serta mencapai konsentrasi tinggi pada cairan amnion dan pembuluh darah tali pusat. Abnormalitas struktural dilaporkan terjadi pada janin dari ibu yang mengkonsumsi flucytosine pada trimester pertama. Hal ini menyebabkan penggunaannya tidak direkomendasikan selama kehamilan, kecuali periode setelah trimester pertama dan pada kondisi mengancam nyawa ibu.[1]
Terbinafine
Terbinafine tersedia dalam bentuk oral dan topikal. Antifungal ini bekerja secara selektif menghambat fungal squalene epoxidase. Indikasi terbinafine adalah infeksi dermatofita pada kulit, onikomikosis dan infeksi dermatofita kutan lainnya seperti chromomycosis dan mycetoma.
Pada penelitian, pemberian terbinafine dalam dosis 23 kali lipat dosis yang direkomendasikan pada manusia, tidak terbukti menyebabkan toksisitas pada embrio atau fetus kelinci dan tikus. Meskipun tergolong pada kategori B, pemberian oral terbinafin sebaiknya ditunda selama periode kehamilan dan menyusui. Hal ini dikarenakan terbinafine diekskresi melalui ASI.[1,7,8]
Griseofulvin
Griseofulvin bekerja dengan mencegah mitosis fungi dengan menghambat replikasi DNA pada sel. Obat ini dapat menembus plasenta dan memiliki efek tumorigenik, embryotoxic, dan teratogenik pada hewan pengerat. Data pada manusia masih sedikit sehingga penggunaannya pada kehamilan, terutama trimester pertama tidak direkomendasikan.[1]
Tabel 2. Pedoman Tatalaksana Utama Infeksi Fungal Invasif Selama Kehamilan
Obat Antifungal Topikal
Semua golongan obat antifungal topikal mengalami penyerapan sistemik dalam jumlah sedikit sehingga dapat digunakan pada kehamilan. Antifungal topikal digunakan dua kali sehari sampai lesi mereda dan dilanjutkan hingga 2 minggu setelahnya.[1,9]
Golongan Topikal Azoles
Obat golongan azole topikal termasuk bifonazole, clotrimazole, fenticonazole, isoconazole, ketoconazole, omoconazole, oxiconazole, sertaconazole, tioconazole, miconazole dan econazole. Obat ini diindikasikan untuk infeksi fungal pada permukaan kulit (Candida sp., Malassezia furfur, dan dermatofita), kandidiasis oral dan kandidiasis vulvo-vaginal.
Obat azole topikal diabsorbsi secara minimal dan dapat digunakan selama periode kehamilan, kecuali miconazole yang sebaiknya diberikan jika tidak ada alternatif lain dan manfaatnya melebihi risiko yang dapat terjadi.[1,10]
Nystatin
Penggunaan nystatin dianggap aman selama kehamilan karena obat ini diabsorpsi secara minimal lewat pemberian oral dan topikal. Namun, sebuah penelitian terbaru menemukan adanya peningkatan risiko hipospadia pada janin yang terpapar nystatin pada usia kehamilan 8-14 minggu.[1]
Terbinafine
Terbinafine efektif digunakan pada infeksi dermatofita kulit dan onikomikosis, Pemberian secara topikal menunjukkan absorpsi minimal dan dapat diresepkan pada kehamilan.[7,8]
Ciclopiroxolamine
Ciclopiroxolamine hanya dapat diberikan secara topikal dan diabsorpsi secara minimal ke sistemik. Obat ini dapat digunakan selama kehamilan jika pertimbangan manfaatnya melebihi risiko yang dapat terjadi.[1]
Amorolfine
Amorolfine adalah derivat morpholine yang bekerja dengan menghambat sintesis ergosterol sehingga mengganggu permeabilitas membran fungi. Amorolfine tersedia dalam bentuk cairan kuku untuk pengobatan onikomikosis. Obat ini diabsorpsi secara minimal ke sistemik dan dapat digunakan selama kehamilan.[1]
Kesimpulan
Potensi toksisitas terhadap ibu dan janin menjadi pertimbangan utama dalam memilih pengobatan infeksi fungi atau jamur selama kehamilan. Hingga saat ini amphotericin B dan turunannya dianggap sebagai pengobatan lini pertama dalam infeksi fungal selama kehamilan. Pemberian fluconazole dapat dipertimbangkan setelah trimester pertama apabila tidak ada alternatif lain yang tersedia.
Namun, keamanan dalam penggunaan jangka panjang terhadap obat ini masih belum diteliti. Penggunaan posaconazole dan echinocandins pada kehamilan belum dievaluasi lebih lanjut sehingga tidak direkomendasikan pemakaiannya.
Infeksi jamur superfisial selama kehamilan dapat diobati dengan pemberian antijamur topikal. Infeksi jamur superfisial yang membutuhkan pengobatan sistemik, seperti onikomikosis dermatofit , kromomikosis, dan misetoma, harus diobati setelah melahirkan. Pada akhirnya, dibutuhkan pertimbangan multidisiplin terhadap janin dan ibu dalam menilai risiko dan manfaat pada pemberian antijamur selama periode kehamilan.