Pemilihan obat antihipertensi lini pertama merupakan pemilihan obat yang diberikan pertama kali pada pasien terdiagnosis hipertensi. Pemilihan obat ini harus berdasarkan efektivitas klinis yang baik, dengan risiko efek samping yang minimal. Pemilihan obat antihipertensi lini pertama masih sering menjadi masalah, terutama dalam hal menentukan terapi antihipertensi yang paling optimal.[1,2]
Hipertensi merupakan kondisi klinis yang sering ditemukan di pelayanan primer. Apabila tidak dideteksi dan diterapi sejak dini secara optimal, hipertensi dapat menimbulkan berbagai komplikasi, seperti infark miokard, stroke, gagal ginjal, dan bahkan kematian.[1,2]
Berbagai panduan mengenai pemilihan obat antihipertensi telah dikeluarkan, seperti Joint National Committee (JNC), American College of Cardiology/American Heart Association (ACC/AHA), European Society of Cardiology (ESC), dan European Society of Hypertension (ESH) . Di Indonesia, terdapat panduan antihipertensi yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), serta Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia atau Indonesian Society of Hypertension (INASH).[1,3-6]
Dari berbagai panduan tersebut, ada 5 golongan obat yang direkomendasikan, yaitu:
-
Angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEI): captopril, lisinopril
-
Angiotensin receptor blockers (ARB): candesartan, valsartan
-
Beta-blockers: bisoprolol, atenolol, propranolol
-
Calcium channel blockers (CCB): amlodipine, nifedipine, diltiazem, verapamil
- Diuretik (thiazide / thiazide-like diuretic): hydrochlorothiazide, indapamide[1,3-6]
Obat-obatan tersebut dipilih karena kemampuan obat yang telah terbukti dapat secara efektif menurunkan tekanan darah, terdapat hasil randomized – controlled trials (RCTs) yang menunjukkan kemampuan obat dalam menurunkan kejadian kardiovaskular, serta terbukti adanya pengaruh penurunan tekanan darah karena obat bermanfaat dalam menekan angka morbiditas maupun mortalitas yang tidak jauh berbeda satu sama lain.
Perlu pula diingat untuk memilih obat antihipertensi sesuai dengan penyakit komorbid pada tiap individu, misalnya pasien disertai diabetes mellitus, penyakit jantung koroner, stroke, atau gangguan ginjal.[1,3-6]
Algoritma Terapi Farmakologi Hipertensi
Pemberian obat antihipertensi lini pertama terbaru yang dianjurkan saat ini adalah dengan menggunakan algoritma terapi sebagai berikut :
- Inisiasi terapi pada sebagian besar pasien menggunakan single pill combination atau kombinasi obat digabungkan menjadi satu pil, untuk meningkatkan kecepatan penurunan tekanan darah, efisiensi dan prediktabilitas pengendalian tekanan darah
- Kombinasi yang lebih dianjurkan adalah kombinasi antara obat renin angiotensin system blocker (ACEI atau ARB) dengan obat CCB atau diuretik
- Kombinasi beta bloker dengan diuretik atau golongan obat yang lain adalah alternatif pilihan bila ada indikasi khusus pemberian beta bloker seperti angina, post infark miokard, gagal jantung atau kontrol irama jantung
- Pertimbangan monoterapi dapat diberikan untuk pasien hipertensi derajat 1 dengan risiko rendah (tekanan sistolik <150 mmHg), pasien dengan tekanan darah normal-tinggi dengan risiko sangat tinggi, serta untuk pasien usia sangat lanjut (≥80 tahun)
- Pemberian terapi kombinasi tiga obat antara obat renin angiotensin system blocker (ACEI atau ARB), dengan CCB serta diuretik, digunakan bila tekanan darah tidak terkontrol dengan kombinasi dua obat
- Penambahan diuretik hemat kalium, seperti spironolactone, pada pengobatan hipertensi resisten dapat dilakukan kecuali terdapat kontraindikasi
- Penggunaan obat antihipertensi golongan lain dilakukan pada kondisi – kondisi tertentu bila tekanan darah tidak dapat dikendalikan dengan algoritma terapi di atas
- Adanya formularium nasional yang memuat informasi mengenai ketersediaan, dosis rekomendasi dari masing – masing obat, baik dalam bentuk pil tunggal berkombinasi ataupun kombinasi terpisah
- Kombinasi antara dua obat penghambat sistem renin angiotensin tidak direkomendasikan[1-7]
Antihipertensi Tanpa Komplikasi
Pemberian obat antihipertensi lini pertama pada hipertensi tanpa komplikasi adalah terapi kombinasi dua obat, ACEI atau ARB dengan CCB atau diuretik. Pertimbangkan monoterapi pada hipertensi derajat 1 dengan risiko rendah, atau usia pasien sangat tua >80 tahun.[1,3-6]
Antihipertensi dengan Penyakit Jantung Koroner
Pemberian obat antihipertensi lini pertama pada hipertensi dengan penyakit jantung koroner adalah terapi kombinasi ACEI atau ARB dengan beta-bloker atau CCB; atau terapi kombinasi CCB dengan diuretik atau beta-bloker; atau terapi kombinasi CCB dengan diuretik atau beta-bloker; atau terapi kombinasi beta-bloker dengan diuretik.[1,3,4,6]
Antihipertensi dengan Gagal Jantung
Pemberian obat antihipertensi lini pertama pada hipertensi dengan gagal jantung dengan fraksi ejeksi menurun adalah terapi ACEI atau ARB dengan diuretik (loop diuretic) atau beta bloker. Pilihan diuretik awal adalah thiazide/thiazide-like diuretic, tetapi dapat dipertimbangkan loop diuretic sebagai obat pilihan lain pada pasien edema. Jika terapi hipertensi tak dibutuhkan dalam gagal jantung dengan fraksi ejeksi menurun, maka pengobatan diberikan sesuai panduan gagal jantung.
Obat golongan CCB non-dihidropiridin, seperti verapamil atau diltiazem, tidak direkomendasikan pada gagal jantung dengan fraksi ejeksi menurun. Panduan mengenai gagal jantung yang dikeluarkan oleh ESC, lebih merekomendasikan pemberian terapi angiotensin receptor/neprilysin inhibitor lebih daripada ACEI atau ARB.[1,3,4,6]
Antihipertensi dengan Atrial Fibrilasi
Pemberian obat antihipertensi lini pertama pada hipertensi dengan atrial fibrilasi adalah terapi kombinasi ACEI atau ARB dengan beta bloker atau CCB non-dihidropiridin; atau terapi kombinasi beta bloker dengan CCB dihidropiridin, seperti amlodipine atau nifedipine.
Kombinasi rutin antara beta bloker dengan CCB non-dihidropiridin, seperti verapamil atau diltiazem, tidak direkomendasikan karena risiko penurunan denyut jantung yang signifikan.[1,3,4,6]
Antihipertensi dengan Penyakit Ginjal Kronis
Pemberian obat antihipertensi lini pertama pada hipertensi dengan penyakit ginjal kronis adalah terapi kombinasi ACEI atau ARB dengan CCB; atau terapi kombinasi ACEI atau ARB dengan loop diuretic. Diuretik golongan loop, seperti furosemid, diberikan bila eGFR <30 mL/min/1,72㎡. Hal ini karena pada derajat penurunan eGFR tersebut, obat diuretik tiazid menjadi kurang efektif.
Pertimbangkan pemberian beta bloker pada setiap tahap terapi, bila ada indikasi khusus pemberian beta bloker seperti angina, post infark miokard, gagal jantung, atrial fibrilasi, wanita muda dalam kehamilan, atau sedang dalam program kehamilan.[1,3,4,6]
Kontraindikasi Pemberian Obat Anti Hipertensi
Pemberian obat antihipertensi lini pertama sebaiknya mengikuti algoritma terapi farmakologi yang telah disebutkan di atas, kecuali terdapat kontraindikasi pemberian obat–obatan tertentu.[4,6]
Tabel 1. Kontraindikasi Pemberian Obat Antihipertensi
Obat | Kontraindikasi | |
Relatif | Tidak dianjurkan | |
ACE Inhibitor | ● Perempuan usia subur tanpa kontrasepsi | ● Kehamilan ● Riwayat angioedema ● Hiperkalemia (kalium >5,5 meq/L) ● Stenosis arteri renalis bilateral |
Angiotensin Receptor Blocker | ● Perempuan usia subur tanpa kontrasepsi | ● Kehamilan ● Hiperkalemia (kalium >5,5 meq/L) ● Stenosis arteri renalis bilateral |
Beta bloker | ● Sindrom metabolik ● Intoleransi glukosa ● Atlit dan individu yang aktif secara fisik | ● Asma ● Blok sinoatrial atau atrioventrikular derajat tinggi ● Bradikardi (denyut jantung <60 kali per menit) |
Calcium Channel Blocker - Dihidropiridin | ● Takiaritmia ● Gagal jantung (heart failure reduced ejection fraction / HFrEF kelas III atau IV) ● Terdapat edema tungkai berat | |
Calcium Channel Blocker - Non Dihidropiridin | ● Konstipasi | ● Blok sinoatrial atau atrioventrikular derajat tinggi ● Gangguan ventrikel kiri berat (fraksi ejeksi ventrikel kiri<40%) ● Bradikardia (denyut jantung <60 kali per menit) |
Diuretik (thiazide / thiazide- like) | ● Sindrom metabolik ● Intoleransi glukosa ● Kehamilan ● Hiperkalsemia ● Hipokalsemia | ● Gout |
Sumber: dr. Farhanah Meutia. 2020.[4,6]
Kesimpulan
Berbagai panduan yang telah dikeluarkan memberikan strategi dalam mengendalikan tekanan darah dengan lebih baik. Pada panduan terdahulu, antihipertensi lini pertama ditekankan pada pemberian monoterapi dan dilanjutkan dengan bagaimana melakukan peningkatan dosis, atau substitusi obat antihipertensi lain sebagai monoterapi. Peningkatan dosis dapat meningkatkan risiko efek samping, sedangkan pemberian substitusi obat sebagai monoterapi hanya akan memberikan manfaat dari satu obat saja sehingga pengobatan menjadi tidak efektif.
Seiring dengan perkembangan teknologi kedokteran, panduan yang berlaku saat ini menitikberatkan antihipertensi lini pertama dengan terapi kombinasi dua obat hingga target tekanan darah tercapai. Strategi penanganan hipertensi yang dikembangkan adalah mendorong terapi kombinasi pada sebagian besar pasien, menggalakkan penggunaan single pill combination untuk meningkatkan tingkat kepatuhan pasien, dan mengikuti algoritma panduan terbaru yang sederhana dan dapat diaplikasikan pada hampir semua pasien.
Pada pasien yang hendak menjalani operasi nonkardiak, obat antihipertensi golongan ACE inhibitor dan ARB mungkin perlu dihentikan sebelum operasi untuk mengurangi risiko hipotensi intraoperatif.