Penatalaksanaan asma sejak awal kehamilan penting dilakukan karena eksaserbasi asma merupakan salah satu penyulit yang sering terjadi saat hamil. Kontrol asma yang buruk pada kehamilan dilaporkan dapat meningkatkan risiko persalinan preterm dan risiko bayi berberat badan lahir rendah.
Prevalensi asma pada kehamilan di seluruh dunia diperkirakan terus meningkat dan saat ini mencapai 2–13%. Sekitar 9–11% ibu hamil dengan asma dilaporkan mengalami eksaserbasi akut dan bahkan memerlukan perawatan di rumah sakit. Hal ini diduga diperburuk dengan perubahan fisiologi paru saat hamil, fluktuasi hormonal, dan perubahan imunitas tubuh.
Beberapa penelitian mengatakan bahwa eksaserbasi asma sering terjadi pada minggu ke-24 hingga ke-36 kehamilan tetapi tidak menutup kemungkinan untuk terjadi pada awal kehamilan.[1-5]
Sekilas tentang Patofisiologi Asma pada Kehamilan
Eksaserbasi asma saat hamil sering kali disebabkan oleh infeksi viral, perubahan tubuh selama masa kehamilan baik secara fisiologis maupun patologis, serta berhentinya penggunaan kortikosteroid inhalasi pada awal kehamilan.[6]
Dengan semakin membesarnya uterus, diafragma akan terdorong ke atas dan ligamen tulang iga akan mengalami relaksasi yang lalu menyebabkan penurunan compliance toraks.
Selain itu, hormon progesteron juga meningkatkan vasodilatasi dan kongesti mukosa saluran napas yang berkontribusi terhadap terjadinya rhinitis yang merupakan faktor risiko asma. Hormon estrogen juga berperan dalam perubahan imunitas selama kehamilan yang dapat meningkatkan risiko asma.[6,7]
Dampak Asma yang Tidak Terkontrol pada Kehamilan
Tidak terkontrolnya gejala asma selama kehamilan bisa meningkatkan risiko komplikasi pada ibu dan janin. Eksaserbasi asma terutama pada trimester pertama kehamilan, dapat meningkatkan risiko anomali kongenital sebanyak 50%. Selain itu, komplikasi seperti persalinan preterm, berat badan lahir rendah, intrauterine growth restriction (IUGR), serta mortalitas perinatal juga dapat terjadi.
Pada ibu sendiri, dapat terjadi preeklampsia. Penelitian juga menyatakan bahwa ibu hamil dengan asma memiliki risiko lebih tinggi untuk melahirkan dengan sectio caesarea daripada ibu hamil tanpa asma.[4,5,8,9]
Prinsip Penatalaksanaan Asma pada Kehamilan Secara Umum
Tujuan dari penatalaksanaan asma pada masa kehamilan adalah untuk menghindari eksaserbasi dan hipoksia pada ibu, serta mempertahankan oksigenasi adekuat untuk janin.
Ibu hamil dengan riwayat asma perlu diedukasi mengenai penatalaksanaan asma selama hamil dan pencegahan eksaserbasi. Ibu disarankan untuk kontrol ke dokter secara rutin setiap bulan dan menghindari asap rokok atau alergen.[9]
Menurut National Asthma Education and Prevention Program (NAEPP), ibu dengan pengobatan asma rutin sebelum kehamilan disarankan untuk tetap melanjutkan pengobatan asma karena dinilai lebih aman daripada risiko yang mungkin timbul akibat eksaserbasi asma karena penghentian pengobatan.
Pada gejala akut, agonis beta-2 short-acting seperti salbutamol inhalasi dapat diberikan sebagai reliever. Sementara itu, untuk kontrol asma jangka panjang, ibu dapat diberikan kortikosteroid inhalasi seperti budesonide, walaupun sebenarnya obat kortikosteroid inhalasi lainnya juga tidak menunjukkan efek samping pada kehamilan.[10]
Menurut The Global Initiative for Asthma (GINA), penggunaan obat-obatan controller dan reliever asma memiliki manfaat baik yang lebih signifikan jika dibandingkan dengan risiko yang mungkin timbul karena obat-obatan tersebut selama kehamilan.[8,9]
Penatalaksanaan Asma pada Awal Kehamilan
Pemberian obat-obatan tertentu selama kehamilan, terutama saat trimester pertama, dapat meningkatkan risiko anomali kongenital pada janin. Dalam suatu studi berskala besar di Eropa oleh Ester et al., penggunaan agonis beta-2 pada trimester pertama kehamilan dikatakan berhubungan dengan risiko terjadinya cleft palate [OR 1.63%; 95% CI,1.05-2.52] dan gastroschisis [OR 1.89%, 95% CI, 1.12-3.20].
Namun, studi ini menyimpulkan bahwa meskipun terdapat risiko cleft palate dan gastroschisis setelah terpapar agonis beta-2 di awal kehamilan, risiko ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan risiko komplikasi akibat asma yang tidak terkontrol.
Studi ini juga menemukan bahwa penggunaan kortikosteroid inhalasi pada trimester pertama tidak berhubungan dengan anomali kongenital. Oleh karena itu, disarankan untuk menggunakan kortikosteroid inhalasi dalam penatalaksanaan asma di awal kehamilan untuk mencegah eksaserbasi, mengontrol gejala asma, dan mengurangi paparan terhadap obat-obatan beta-2 agonis.[8]
Studi lain oleh Garne et al. juga menyatakan ada peningkatan risiko anomali kongenital pada ibu hamil yang terpapar obat-obatan asma apa pun [adjusted OR 1.21%, 99% CI, 1.09-1.34]. Namun, peningkatan risiko ini dilaporkan kecil. Studi ini tidak menemukan hubungan yang signifikan antara agonis beta-2 dengan risiko cleft palate (OR 1.05%, 99 CI 0.44-2.5) dan gastroschisis (OR 1.08%, 99% CI 0.37-3.15), tetapi menemukan hubungannya dengan risiko displasia renal.
Risiko teratogenik kortikosteroid inhalasi berupa atresia ani dinilai lebih kecil daripada risiko teratogenik agonis beta-2 dan kortikosteroid sistemik, sehingga studi ini menyarankan ibu hamil untuk tetap melanjutkan pengobatan kortikosteroid inhalasi untuk mencapai kontrol asma yang optimal dan mengurangi kebutuhan agonis beta-2 dan kortikosteroid sistemik.[11]
Perbandingan Risiko Kortikosteroid Inhalasi dan Sistemik
Kortikosteroid sistemik hanya diberikan sebagai medikasi alternatif di awal kehamilan bila asma tidak dapat dikontrol dengan pengobatan lainnya. Hal ini dikarenakan paparan kortikosteroid sistemik memiliki odd ratio yang lebih tinggi dibandingkan kortikosteroid inhalasi dalam hal risiko anomali kongenital, contohnya cleft palate.
Tingginya odd ratio tersebut mungkin disebabkan oleh bioavailabilitas kortikosteroid sistemik yang lebih tinggi. Meski demikian, suatu meta analisis oleh Xiao et al. menyimpulkan bahwa penggunaan kortikosteroid pada trimester pertama meningkatkan risiko anomali kongenital sebanyak 1.2/1000 kehamilan, dimana hal ini berarti risiko absolutnya masih sangat kecil.[11-13]
Kesimpulan
Asma merupakan salah satu penyulit yang sering terjadi pada kehamilan. Kehamilan dapat memicu eksaserbasi asma serta memperberat gejalanya, sementara asma sendiri dapat meningkatkan risiko komplikasi pada ibu dan bayi, seperti persalinan preterm, berat badan lahir rendah, dan preeklampsia.
Penatalaksanaan asma pada kehamilan secara umum dapat menggunakan agonis beta-2 short-acting sebagai reliever dan kortikosteroid inhalasi sebagai controller. Beberapa penelitian menemukan hubungan antara obat-obatan asma ini dengan peningkatan risiko malformasi kongenital. Akan tetapi, risiko ini dinyatakan lebih kecil daripada risiko komplikasi asma yang tidak terkontrol sehingga pengobatan disarankan tetap dilanjutkan.
Kortikosteroid inhalasi lebih disarankan pada awal kehamilan daripada kortikosteroid sistemik, karena memiliki risiko teratogenik yang lebih rendah. Selain itu, penggunaan kortikosteroid inhalasi juga dapat mengurangi kebutuhan penggunaan agonis beta-2 dan kortikosteroid sistemik.[9-14]
Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja