Pengaruh kortikosteroid inhalasi terhadap coronavirus disease 2019 (COVID-19) hingga saat ini masih kontroversial. Ada teori yang menyatakan bahwa kortikosteroid inhalasi dapat meningkatkan risiko seseorang terinfeksi COVID-19 dan meningkatkan risiko mortalitas karena bersifat imunosupresif. Namun, ada juga teori yang menyatakan bahwa kortikosteroid inhalasi justru bersifat protektif terhadap COVID-19.
COVID-19 merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh SARS-CoV-2. Penyakit ini terutama menyerang sistem pernapasan dan dapat menyebabkan sindrom respirasi akut yang berat. Suatu studi dari Cina menunjukkan bahwa pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit dan awalnya sudah memiliki penyakit paru cenderung memiliki case fatality rate (CFR) yang lebih tinggi daripada CFR COVID-19 general di Cina, yakni 6,3% berbanding 2,3%.
Lebih tingginya CFR pasien COVID-19 yang memiliki riwayat penyakit paru ini akhirnya menimbulkan kekhawatiran bagi penderita penyakit paru kronik seperti penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan asma. Terlebih lagi, pasien dari kelompok ini sering menggunakan kortikosteroid inhalasi untuk kontrol penyakitnya, padahal kortikosteroid diketahui bersifat imunosupresif.[1,2]
Efek Kortikosteroid Inhalasi pada Asma dan PPOK
Kortikosteroid bekerja sebagai antiinflamasi untuk mencegah dan mengurangi frekuensi eksaserbasi akut pasien PPOK dan asma. Kortikosteroid inhalasi dapat menghambat enzim fosfolipase A2 dan faktor transkripsi yang berperan dalam sintesis mediator proinflamasi.
Kortikosteroid juga dapat meningkatkan annexin A1, yakni suatu protein yang dapat menurunkan sintesis prostaglandin dan leukotriene. Hal ini dapat menghambat aktivitas siklooksigenase 2 dan mengurangi migrasi sel neutrofil ke situs inflamasi.[2,3]
Namun, kortikosteroid juga diketahui bersifat imunosupresif. Suatu penelitian oleh Kim et al melaporkan bahwa kortikosteroid inhalasi dapat meningkatkan risiko pneumonia sebesar 1,38 kali pada pasien dewasa dengan asma. Sementara itu, meta analisis oleh Yang et al juga menyatakan bahwa obat ini meningkatkan risiko pneumonia pada pasien PPOK sebesar 1,59 kali.[4,5]
Efek Kortikosteroid Inhalasi pada Pasien COVID-19 dengan Asma dan PPOK
Pada awal pandemi COVID-19, kortikosteroid sempat dinyatakan memiliki manfaat protektif karena studi menunjukkan bahwa obat ini dapat mengurangi ekspresi ACE2 (angiotensin-converting enzyme 2) yang merupakan reseptor masuk SARS-CoV-2.
Selain itu, suatu studi epidemiologi di Cina juga melaporkan bahwa prevalensi pasien COVID-19 yang juga memiliki penyakit paru kronik sebenarnya rendah dan hal ini diduga berkaitan dengan kebiasaan mereka menggunakan kortikosteroid. Namun, kortikosteroid diketahui bersifat imunosupresif dan ada studi yang justru menunjukkan dampak negatif kortikosteroid bagi pasien COVID-19.[6,7]
Studi Schultze et al
Sebuah studi kohort observasional oleh Schultze et al pada tahun 2020 mempelajari 148557 orang dengan PPOK dan 818490 orang dengan asma yang telah menerima kortikosteroid dan beberapa obat paru lain dalam waktu 4 bulan sebelum studi.
Hasil menunjukkan adanya peningkatan risiko kematian terkait COVID-19 pada pasien PPOK yang mendapat kombinasi kortikosteroid inhalasi dengan agonis beta long-acting (LABA) dan antagonis muskarinik long-acting (LAMA) dibandingkan dengan pasien yang hanya mendapat LABA-LAMA saja.
Selain itu, hasil studi juga menunjukkan peningkatan risiko kematian pada pasien asma yang mendapat kortikosteroid inhalasi dosis tinggi bila dibandingkan dengan pasien asma yang hanya menerima agonis beta short-acting (SABA) saja. Efek ini hanya terlihat pada kortikosteroid inhalasi dosis tinggi dan tidak terlihat pada dosis rendah atau sedang.[6,7]
Studi ini berkesimpulan bahwa kortikosteroid inhalasi tidak memiliki efek protektif terhadap COVID-19. Namun, studi ini juga belum bisa memastikan bahwa kortikosteroid inhalasi benar dapat memperburuk COVID-19 karena banyak faktor perancu yang tidak terukur dalam studinya. Data yang dipakai adalah rekam medis elektronik yang memiliki kemungkinan data-data tidak terisi lengkap.
Risiko mortalitas yang lebih tinggi tersebut mungkin dirancu oleh penyakit komorbid lain yang tidak dihitung. Selain itu, mortalitas yang lebih tinggi pada pengguna kortikosteroid inhalasi juga mungkin disebabkan karena pasien asma atau PPOK yang mendapatkan kortikosteroid umumnya adalah mereka dengan kondisi penyakit paru yang memang sudah lebih buruk daripada yang hanya mendapat agonis beta.[6,7]
Studi Halpin et al
Suatu kajian sistemik yang dilakukan oleh Halpin et al meneliti pengaruh kortikosteroid inhalasi terhadap luaran klinis COVID-19. Dari sekitar 59 publikasi yang diidentifikasi, pelaku studi tidak menemukan bukti efek protektif maupun efek negatif kortikosteroid inhalasi bagi pasien asma dan PPOK yang mengalami COVID-19.
Bukti yang ada terkait hal ini dinilai masih sangat inkonklusif bila dibandingkan dengan bukti yang sudah jelas bahwa kortikosteroid inhalasi berperan penting untuk mencegah eksaserbasi akut pada pasien asma dan PPOK. Oleh karena itu, studi ini menyarankan penggunaan kortikosteroid inhalasi pada pasien asma dan PPOK untuk tetap dilakukan secara rutin sesuai dengan tata laksana awal yang diberikan.[2]
Kesimpulan
Hingga saat ini, bukti yang ada tentang efek protektif maupun efek buruk kortikosteroid inhalasi terhadap COVID-19 masih inkonklusif. Terdapat studi yang menunjukkan bahwa pasien asma dan PPOK yang menggunakan kortikosteroid inhalasi memiliki risiko mortalitas lebih tinggi. Namun, hal ini mungkin bias karena pasien asma dan PPOK yang menerima kortikosteroid umumnya adalah mereka yang memang sudah memiliki penyakit paru lebih parah daripada yang hanya mendapat agonis beta.
Mengingat bukti yang ada terkait dampak kortikosteroid inhalasi pada COVID-19 masih sangat inkonklusif, sedangkan bukti yang ada tentang manfaat obat ini untuk prevensi eksaserbasi asma dan PPOK sudah sangat kuat, kortikosteroid inhalasi disarankan untuk tetap digunakan oleh pasien asma dan PPOK selama pandemi COVID-19.