Penggunaan steroid pada pasien dengan rhinosinusitis kronis sering didapati pada praktik sehari-hari, terutama pada rhinosinusitis kronis dengan polip nasal. Rhinosinusitis adalah inflamasi dan infeksi berulang pada saluran hidung dan sinus paranasal.
Rhinosinusitis masih menjadi penyakit kronik dengan beban global yang tinggi. Insidensi penyakit ini diperkirakan berada pada 12,3% di Amerika Serikat, 10,9% di Eropa, dan 13% di Tiongkok. Rhinosinusitis kronik dikaitkan dengan penurunan kualitas hidup yang signifikan bagi penderitanya, di mana pasien dengan rhinosinusitis kronik dapat memiliki produktivitas dan jam kerja yang lebih rendah.[1-3]
Kortikosteroid, baik sistemik maupun topikal, menjadi salah satu bagian dari manajemen rhinosinusitis kronis. Penggunaan kortikosteroid bertujuan menekan inflamasi yang memiliki peran penting dalam patofisiologi rhinosinusitis kronik. Namun, penggunaan kortikosteroid yang tidak tepat justru dapat menimbulkan efek samping, seperti supresi aksis hypotalamic-pituitary-adrenal (HPA), osteoporosis, dan hiperglikemia.[1-4]
Prinsip Manajemen Rhinosinusitis Kronis
Rhinosinusitis kronis merupakan keadaan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang menyebabkan gejala sinonasal persisten selama setidaknya 12 minggu. Rhinosinusitis kronik ditandai dengan setidaknya 2 gejala kardinal berupa obstruksi nasal, drainase nasal, nyeri atau perasaan tertekan pada wajah, serta hiposmia atau anosmia; disertai bukti dari pemeriksaan fisik seperti adanya cairan mukopurulen, edema, atau polip; dan pemeriksaan radiologi seperti CT Scan sinus.[1-3,5]
Target manajemen rhinosinusitis kronik adalah kontrol terhadap gejala dan peningkatan kualitas hidup. Penatalaksanaan terdiri dari medikamentosa hingga tindakan pembedahan sinus secara endoskopik. Adapun medikamentosa pada rhinosinusitis kronis dapat berupa irigasi nasal dengan cairan salin, kortikosteroid, topikal intranasal atau sistemik per oral, antibiotik, dan dekongestan.[1-3,5]
Efikasi dan Pedoman Penggunaan Steroid Intranasal maupun Oral pada Rhinosinusitis Kronis
Terapi medikamentosa dengan steroid dapat dilakukan secara topikal melalui intranasal maupun sistemik per oral. Di Indonesia, Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Rinosinusitis Kronik memaparkan penggunaan steroid pada rhinosinusitis kronis dilakukan berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2020.[4,5]
Steroid Intranasal
Penggunaan steroid intranasal dengan kortikosteroid topikal generasi dua, seperti mometasone furoate, fluticasone propionate, atau fluticasone furoate bagi pasien rhinosinusitis kronis dapat dilakukan melalui spray, drop, maupun melalui irigasi. Steroid intranasal diketahui dapat memperbaiki gejala sinonasal dan temuan endoskopi pada pasien rhinosinusitis kronis.
Spray steroid digunakan secara rutin sebagai bagian dari terapi lini pertama rhinosinusitis kronis, di mana sekitar 30% dosis yang disemprotkan melalui spray akan tinggal dalam mukosa hidung dan sisanya mengalami metabolisme maupun tertelan. Terdapat metode baru pemberian steroid intranasal yaitu melalui irigasi, yang bertujuan untuk mengurangi biofilm mikroba yang terbentuk oleh berbagai bakteri, termasuk Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, dan Streptococcus pneumoniae.[2,4-7]
EPOS 2020 melakukan tinjauan terhadap 42 studi yang membahas mengenai penggunaan steroid topikal pada rhinosinusitis. Tinjauan ini menemukan bahwa penggunaan steroid intranasal memiliki dampak positif pada perbaikan gejala dan kualitas hidup pasien, dimana perbaikan ditemukan lebih besar pada kasus yang disertai polip nasal dibandingkan dengan tanpa polip nasal. Telaah ini juga menemukan metode pemberian kortikosteroid intranasal dengan drop dan irigasi lebih baik bila dibandingkan spray dalam perbaikan gejala.[4]
Steroid Oral
Penggunaan steroid sistemik per oral juga menjadi penatalaksanaan yang cukup sering digunakan pada rhinosinusitis kronis, seperti pada kondisi perioperatif, postoperatif, dan eksaserbasi akut. Belum ada bukti mengenai manfaat pemberian steroid oral pada rhinosinusitis kronik tanpa polip. Pemberian kortikosteroid dilakukan selama 7-21 hari.[2,3,8-10]
Belum ada panduan tertentu dalam dosis steroid oral pada rhinosinusitis kronis. EPOS 2020 juga melakukan analisis terhadap penggunaan steroid oral pada rhinosinusitis kronik. Dari 7 studi yang ditinjau, prednison, prednisolone, dan methylprednisolone merupakan jenis kortikosteroid yang menjadi intervensi. Dosis yang digunakan mulai dari dosis ekuivalen 10 mg prednison hingga dosis ekuivalen 60 mg prednison per hari.
Tinjauan ini menemukan bahwa penggunaan jangka pendek kortikosteroid sistemik, dengan atau tanpa kombinasi steroid intranasal, menyebabkan perbaikan signifikan terhadap gejala pasien rhinosinusitis kronik dengan polip. Meski demikian, tinjauan ini merekomendasikan untuk membatasi penggunaan steroid oral jangka pendek sebanyak 1-2 rangkaian saja per tahun.[4]
Keamanan Penggunaan Steroid terhadap Pasien Rhinosinusitis Kronis
Secara umum, penggunaan steroid topikal intranasal dianggap aman dengan efek samping minimal. Tinjauan EPOS 2020 menemukan bahwa penggunaan steroid topikal pada pasien dengan rhinosinusitis kronik dapat ditoleransi dengan baik. Tidak ditemukan efek samping mayor pada subjek dari 43 penelitian yang dianalisis. Meski demikian, ditemukan efek samping minor, seperti epistaksis. Supresi aksis HPA, peningkatan tekanan intraokular, dan katarak tidak ditemukan terkait dengan penggunaan steroid intranasal.[4,6-10]
Di sisi lain, meskipun secara umum aman, penggunaan steroid sistemik jangka pendek terkait dengan adanya efek samping seperti insomnia, perubahan mood, dan gangguan gastrointestinal. Sebuah studi terhadap 43 pasien dengan rhinosinusitis kronis postoperatif menunjukkan bahwa penggunaan prednisolone oral 0,5 mg/kgBB selama 1 minggu berkaitan dengan penurunan bone mineral density, terutama pada pasien dengan terapi steroid jangka pendek berulang.[8,11]
Dalam studi lain yang melibatkan 37.740 pasien rhinosinusitis kronik dengan polip, penggunaan steroid dikaitkan dengan peningkatan risiko ansietas, stroke, dispepsia, osteoporosis, fraktur, perdarahan gastrointestinal, hipertensi, obesitas, sleep apnea, hingga tromboembolisme. Risiko ini semakin meningkat pada pasien yang tidak menerima terapi pembedahan polip dan pasien dengan asma. Penggunaan steroid sistemik juga ditemukan terkait dengan peningkatan biaya perawatan akibat efek samping.[12]
Kesimpulan
Bukti ilmiah menunjukkan bahwa penggunaan steroid sistemik, topikal, maupun kombinasi keduanya berkaitan dengan perbaikan gejala sinonasal dan peningkatan kualitas hidup pasien. Meski demikian, steroid sistemik sebaiknya hanya digunakan pada kasus rhinosinusitis kronik yang berkaitan dengan polip nasal. Perlu dicatat bahwa penggunaan steroid sistemik berkaitan dengan peningkatan risiko berbagai efek samping, termasuk osteoporosis, obesitas, gangguan gastrointestinal, dan tromboembolisme. Batasi penggunaan steroid oral jangka pendek hanya 1-2 rangkaian saja per tahun.
Penulisan pertama oleh: dr. Rainey Ahmad Fajri Putranta