Penurunan berat badan yang signifikan sering ditemukan pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis. Penurunan berat badan ini dilaporkan bisa menjadi prediktor mortalitas pada penyakit ginjal kronis.[1-3]
Penurunan berat badan pada penyakit ginjal kronis biasanya disebabkan oleh kaheksia. Prevalensi kaheksia pada pasien penyakit ginjal stadium akhir yang menjalani dialisis adalah 18–75 %. Kaheksia dapat meningkatkan risiko mortalitas 100–200 kali lipat pada pasien penyakit ginjal kronis. Kaheksia juga meningkatkan risiko infeksi, mempersulit penyembuhan luka, dan menyebabkan malaise.[1-3]
Kaheksia berbeda dengan malnutrisi pada umumnya. Pada kasus malnutrisi umumnya, massa lemak berkurang tetapi massa otot masih bertahan. Pada kaheksia, massa otot turut berkurang. Asupan makanan yang adekuat dapat memperbaiki kasus malnutrisi pada umumnya, tetapi tidak bisa sepenuhnya memperbaiki kaheksia.[3]
Pada kaheksia, faktor-faktor selain nutrisi seperti inflamasi sistemik, gangguan hormon pengatur nafsu makan, gangguan pada neuropeptida, resistansi terhadap insulin, dan asidosis metabolik ikut berperan dalam patogenesis yang lebih kompleks.[2]
Faktor Penyebab Malnutrisi dan Kaheksia pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis
Penyebab malnutrisi dan kaheksia pada penyakit ginjal kronis dapat dibedakan menjadi faktor iatrogenik dan noniatrogenik. Faktor iatrogenik adalah konsekuensi yang tidak disengaja dari dialisis, sedangkan faktor noniatrogenik berkembang dari perjalanan penyakit ginjal kronis itu sendiri atau komplikasinya.[4]
Faktor iatrogenik meliputi kehilangan nutrisi dan inflamasi akibat dialisis. Sementara itu, faktor noniatrogenik meliputi asupan makanan yang suboptimal, perubahan pada indera pengecap, nafsu makan yang kurang baik, resistansi insulin, dan depresi.[4]
Fenomena Paradoks Obesitas pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis
Studi pada penyakit ginjal kronis dan penyakit ginjal stadium akhir menunjukkan bahwa obesitas justru meningkatkan angka survival. Fenomena ini disebut sebagai "paradoks obesitas". Namun, meskipun obesitas pada kondisi ini mengurangi mortalitas jangka pendek akibat malnutrisi dan mengurangi protein energy wasting, obesitas mungkin tetap meningkatkan mortalitas jangka panjang karena penyakit kardiovaskular.[5-7]
Dalam hal risiko kematian nonkardiovaskular dan nonkanker, studi menunjukkan bahwa pasien dengan BMI >24,5 kg/m2 (kecuali pasien yang obesitas morbid) memiliki risiko kematian yang lebih rendah daripada pasien dengan BMI normal (18,5–24,9 kg/m2). Pasien underweight memiliki risiko kematian akibat segala sebab yang lebih tinggi.[8]
Bukti tentang Hubungan Penurunan Berat Badan dan Mortalitas pada Penyakit Ginjal Kronis
Penelitian Ku, et al. terhadap 3.933 pasien menemukan bahwa penurunan berat badan >5% tiap tahun setelah laju filtrasi glomerulus (LFG) turun menjadi <35 mL/menit/1,73 m2 berkaitan dengan kenaikan mortalitas hingga 56% setelah dialisis dimulai. Studi ini menyimpulkan bahwa penurunan berat badan signifikan terjadi cukup awal pada pasien penyakit ginjal kronis dan penurunan ini berkaitan dengan risiko kematian yang lebih tinggi setelah dialisis dimulai.[2]
Namun, penelitian Ku, et al. tersebut tidak mendata apakah penurunan berat badan disebabkan oleh kehilangan massa cairan atau bukan, terutama pada pengguna obat diuretik. Penelitian lebih lanjut yang menghitung komposisi tubuh masih diperlukan.[2]
Studi kohort Kwon, et al. terhadap 914 pasien menggunakan SGA (subjective global assessment) untuk memantau pasien sebelum dialisis dan 12 bulan setelah dialisis. Hasil menunjukkan bahwa pasien yang awalnya tidak mengalami malnutrisi tetapi setelahnya mengalami malnutrisi memiliki risiko kematian jauh lebih tinggi daripada pasien yang tidak mengalami malnutrisi.[4]
Evaluasi Nutrisi pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis
ASPEN (American Society for Parenteral and Enteral Nutrition) menyarankan pasien penyakit ginjal kronis untuk menjalani evaluasi gizi dan inflamasi. Evaluasi ini dapat mencakup, tetapi tidak terbatas pada: anamnesis dan riwayat gizi, pemeriksaan fisik (termasuk antropometri dan bioelectrical impedance), dan tes penunjang seperti kadar albumin, elektrolit, dan protein C-reaktif.[9,10]
Penurunan massa otot menjadi kriteria yang paling penting untuk menilai protein energy wasting (PEW) pada penyakit ginjal kronis. Namun, penilaian yang akurat untuk kecukupan massa otot masih belum dapat ditentukan, sehingga BMI berperan dalam penilaian PEW meskipun BMI tidak mencerminkan komposisi tubuh.[7,9-11]
Pada pasien dengan ketidakseimbangan cairan, BMI tidak bisa menjadi parameter status gizi yang tepat, sehingga SGA dipakai sebagai pengganti. Parameter klinis yang digunakan dalam SGA adalah asupan makanan, komorbiditas, gejala gastrointestinal (mual, muntah, diare, disfagia), pemeriksaan fisik (penurunan massa otot dan lemak subkutan, edema), perubahan berat badan, dan kemampuan fungsional.[7,9-11]
Strategi untuk Mencapai Status Gizi yang Baik pada Penyakit Ginjal Kronis
Pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis, ASPEN menyarankan asupan protein 1,2 g/kgBB/hari. KDOQI (Kidney Disease Outcomes Quality Initiative) juga menyatakan bahwa asupan energi dari makanan untuk pasien penyakit ginjal kronis adalah 25–35 kkal/kgBB/hari.[7,9,11]
Nutrisi parenteral intradialisis dan suplementasi oral juga dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Selain itu, pasien membutuhkan latihan fisik, penambah nafsu makan, dan koreksi asidosis. Asidosis yang tidak terkoreksi menyebabkan katabolisme protein. Evaluasi nutrisi pada pasien penyakit ginjal kronis sebaiknya dilakukan secara berkala, minimal 1–3 bulan sekali.[3,7,9,11]
Kesimpulan
Penurunan berat badan sering terjadi pada pasien penyakit ginjal kronis karena protein energy wasting atau kaheksia. Penurunan berat yang signifikan pada awal perjalanan penyakit ginjal kronis dilaporkan berhubungan dengan peningkatan mortalitas hingga 56% setelah dialisis dimulai.
Pada pasien penyakit ginjal kronis, body mass index (BMI) yang underweight dilaporkan meningkatkan risiko mortalitas akibat semua sebab. Pasien dengan BMI >24,5 kg/m2 (kecuali pasien obesitas morbid) justru memiliki risiko kematian nonkardiovaskular dan nonkeganasan yang lebih rendah daripada pasien dengan BMI normal. Hal ini disebut sebagai paradoks obesitas pada pasien penyakit ginjal kronis.
Body mass index (BMI) sebenarnya tidak dapat mencerminkan komposisi tubuh tetapi dapat digunakan untuk evaluasi protein energy wasting karena penilaian yang akurat untuk kecukupan massa otot masih belum dapat ditentukan. Pada pasien dengan ketidakseimbangan cairan, subjective global assessment (SGA) juga dapat digunakan untuk menilai status gizi pasien.
Evaluasi status gizi dan intervensi gizi perlu dilakukan untuk mencapai kecukupan gizi sesuai rekomendasi ASPEN dan KDOQI. Rekomendasi untuk pasien penyakit ginjal kronis adalah konsumsi protein 1,2 g/kgBB/hari dan target energi 25–35 kkal/kgBB/hari. Nutrisi parenteral intradialisis dan suplementasi oral dapat diberikan bila perlu. Selain itu, pasien membutuhkan latihan fisik, penambah nafsu makan, dan koreksi asidosis.
Penulisan pertama oleh: dr. Nathania S. Sutisna