Penatalaksanaan Appendicitis
Tujuan penatalaksanaan appendicitis adalah meredakan gejala akut dengan efek samping seminimal mungkin; serta memilih penatalaksanaan yang sebisa mungkin tidak invasif. Namun, pada kasus dimana harus dilakukan tindakan bedah, maka tujuan tata laksana tambahan adalah pencegahan komplikasi, misalnya infeksi luka; dengan lama rawat sependek mungkin dan pasien dapat menjalani aktivitas normal secepat mungkin.[10,11]
Penatalaksanaan definitif appendicitis adalah dengan apendiktomi. Sebelum dilakukan tindakan apendiktomi, pasien dapat diberikan resusitasi cairan, analgesik, dan antibiotik intravena.[1]
Terapi Suportif
Pada instalasi gawat darurat, klinisi perlu mengevaluasi pasien dengan keluhan nyeri perut secara cepat dan tepat. Pada pasien dengan kecurigaan appendicitis, tata laksana secara oral perlu dihindari. Pemasangan akses intravena (IV) dan resusitasi cairan perlu diberikan pada pasien dengan memperhitungkan defisit cairan dan kebutuhan pemeliharaan, terutama pada pasien yang disertai gejala klinis dehidrasi atau septisemia.[3,6]
Pemberian analgesik dan antiemetik dapat dipertimbangkan sesuai dengan kebutuhan pasien. Walaupun terdapat kontroversi sebelumnya mengenai pemberian analgesik yang dapat menutupi gejala nyeri perut, tidak ditemukan bukti ilmiah yang memadai untuk mendukung penundaan analgesik. Suatu meta-analisis dari 9 uji klinis acak terkontrol menyatakan bahwa pemberian opioid tidak meningkatkan risiko penundaan pembedahan.
Paracetamol dan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) dapat dipertimbangkan sebagai manajemen nyeri pada pasien dengan kecurigaan appendicitis, terutama pada pasien yang memiliki kontraindikasi opioid.[1,6]
Pembedahan
Apendektomi yang dilakukan dengan laparoskopi dan laparotomi merupakan manajemen standar appendicitis. Kedua prosedur tersebut merupakan operasi rutin dengan risiko cukup rendah. Morbiditas dan mortalitas terutama ditentukan oleh tingkat keparahan penyakit itu sendiri.
Jenis Pembedahan
Pendekatan laparoskopi daripada pendekatan terbuka dianjurkan dalam pengobatan appendicitis pasien dewasa maupun anak-anak. Berbagai studi, termasuk suatu penelitian meta analisis membandingkan apendektomi laparoskopi dan laparotomi pada dewasa dan anak-anak. Apendektomi laparoskopi memiliki insidensi infeksi luka lebih rendah, komplikasi postoperasi yang lebih sedikit, dan durasi rawat inap lebih singkat, namun membutuhkan waktu operasi yang lebih lama.[1,4,23]
Waktu Pembedahan
Waktu terbaik melakukan apendektomi masih menjadi kontroversi. Dahulu, setiap appendicitis dianggap berkembang menjadi perforasi dan gangren, sehingga pembedahan dilakukan sesegera mungkin. Namun, saat ini, terdapat bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa pada appendicitis tanpa komplikasi, penundaan 12-24 jam pembedahan tidak meningkatkan risiko perforasi jika pemberian antibiotik segera dimulai. Namun, menunda apendektomi selama >48 jam dikaitkan dengan peningkatan infeksi luka operasi dan komplikasi lain.[23,24]
Pada pasien dengan appendicitis komplikata, waktu terbaik melakukan pembedahan tergantung pada kondisi klinis pasien. Pada pasien yang nampak sakit berat, disertai tanda perforasi atau peritonitis, apendektomi emergensi harus dilakukan. Pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik, dapat dilakukan resusitasi dan stabilisasi preoperatif terlebih dulu.
Pada pasien appendicitis komplikata yang stabil dan tidak mengalami perforasi, atau pada pasien dengan abses apendiks dan phlegmon, terapi inisial yang dipilih umumnya adalah terapi nonbedah. Jika gagal, barulah dilakukan apendektomi.[19]
Perawatan Pre dan Post Operatif
Antibiotik preoperatif perlu diberikan untuk mengurangi risiko infeksi postoperasi. Pasien yang dirawat di rumah sakit pada malam hari yang apendiktominya ditunda hingga pagi hari, harus diberikan antibiotik intravena sesegera mungkin.
Antibiotik spektrum luas yang mencakup gram negatif dan anaerobik perlu dipertimbangkan. Kombinasi cefazolin dan metronidazole atau amoxicillin klavulanat dapat dipertimbangkan. Sebagai alternatif, dosis tunggal 2 gram cefoxitin atau cefotetan juga dapat diberikan secara intravena. Pasien yang memiliki alergi terhadap peniciillin dapat diberikan clindamycin dan satu dari ciprofloxacin, levofloxacin, atau gentamicin.[23]
Post operatif, pengobatan awal dengan antibiotik IV secara signifikan mengurangi infeksi luka dan pembentukan abses intraabdomen pada pasien dengan appendicitis gangren atau perforasi dibandingkan tanpa pengobatan. Namun, untuk pasien dengan appendicitis tanpa komplikasi, antibiotik post operatif tidak diperlukan.
Cairan oral dapat diberikan segera setelah pasien bangun. Diet dapat ditingkatkan menjadi makanan padat sesuai toleransi.[3,6,23]
Perawatan Satu Hari
Bukti menunjukkan bahwa pasien yang menjalani laparoskopi apendektomi dengan appendicitis dini dapat dipulangkan pada hari yang sama operasi tanpa peningkatan komplikasi, kunjungan kembali mendesak, atau readmisi bila dibandingkan dengan rawat inap semalam.[25,26]
Manajemen Konservatif Appendicitis dengan Antibiotik
Beberapa uji klinis dalam 20 tahun terakhir mengindikasikan bahwa manajemen konservatif appendicitis dengan antibiotik merupakan opsi yang layak dipertimbangkan pada pasien yang tidak dapat menjalani tindakan operatif. Sebuah publikasi tahun 2021 di NEJM menantang rekomendasi sebelumnya untuk mengusulkan antibiotik sebagai alternatif noninferior pada apendisitis tanpa komplikasi. Dalam uji klinis CODA, dilaporkan bahwa status kesehatan umum 30 hari pasien yang diobati dengan antibiotik tidak lebih rendah dari kelompok apendektomi, ketika hanya 29% pasien yang memerlukan apendektomi dalam waktu 3 bulan.
Tindak lanjut yang lebih lama dari 1-4 tahun mengungkapkan tingginya tingkat apendektomi berikutnya, yaitu 40% pada satu tahun, 46% pada 2 tahun, dan 49% pada 3-4 tahun. Mengingat tingginya angka apendektomi, pembedahan untuk appendicitis tanpa komplikasi dapat menjadi terapi pilihan, sementara terapi antibiotik dapat disediakan untuk mereka yang tidak layak atau menolak pembedahan.[21,27]
Uji klinis CODA, pada pasien dewasa dengan appendicitis non komplikata, melaporkan adanya resolusi pada 73% pasien. Dalam studi ini, pasien mendapat ertapenem 1 g per hari secara intravena selama 3 hari; dilanjutkan kombinasi levofloxacin 500 mg per hari dan metronidazole 3 kali 500 mg per hari selama 7 hari.[1,20,21]
Penulis pertama oleh: dr. DrRiawati MMedPH