Epidemiologi Myiasis Kutan
Menurut data epidemiologi, myiasis kutan umumnya ditemukan di negara yang beriklim tropis dan subtropis, dengan kelembapan tinggi. Insiden di luar daerah-daerah tersebut jarang terjadi dan umumnya hanya disebabkan oleh aktivitas bepergian ke daerah yang endemik.[1,6,8,10,11]
Global
Myiasis kutan terjadi secara endemik di negara beriklim tropis dan subtropis, di mana lalat penyebab myiasis dapat bertahan hidup sepanjang tahun. Di negara beriklim yang temperate, myiasis kutan umumnya hanya terjadi di musim panas. Dermatobia hominis merupakan spesies endemik di daerah tropis seperti Meksiko, Amerika Selatan, Amerika Tengah, dan Trinidad. Sementara itu, Cordylobia anthropophaga merupakan spesies endemik di Afrika sub-Sahara.[1,6]
Dermatobia hominis, Cochliomyia hominivorax, Sarcophaga haemorrhoidalis, dan juga Lucilia eximia teridentifikasi sebagai agen penyebab myiasis di Ekuador. Di Eropa, myiasis dilaporkan jarang terjadi. Namun, meningkatnya perjalanan ke daerah tropis, adanya perubahan iklim, dan migrasi spesies lalat diperkirakan meningkatkan angka kejadian kasus myiasis di Eropa.[8,10]
Indonesia
Data epidemiologi myiasis di Indonesia masih sangat terbatas, terutama data mengenai myiasis kutan pada manusia. Kondisi ini mungkin tidak terdiagnosis dan tidak tercatat dengan baik. Namun, laporan kasus myiasis karena larva Chrysomya bezziana pada hewan telah diketahui sejak lama. Kejadian myiasis ini dilaporkan lebih tinggi di daerah Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara karena banyaknya pemeliharaan hewan ternak.[11]
Mortalitas
Angka mortalitas akibat myiasis kutan belum diketahui secara pasti. Umumnya, myiasis kutan merupakan infestasi yang akan berakhir dengan sendirinya (self-limiting) dengan morbiditas minimal. Akan tetapi, mortalitas mungkin terjadi jika ada komplikasi seperti infeksi sekunder atau migrasi larva ke area berdekatan sistem saraf pusat, yang dapat berujung pada meningitis dan ensefalitis bila tidak tertangani dengan baik.[1]