Pendahuluan Kardiomiopati Takotsubo
Kardiomiopati Takotsubo, yang sering dikenal sebagai broken heart syndrome, merupakan disfungsi ventrikel kiri akut dan sementara (<21 hari) yang dipicu oleh stres fisik maupun emosional dalam 1–5 hari terakhir.
Patofisiologi kardiomiopati Takotsubo hingga saat ini belum dapat dijelaskan, tetapi diduga kerusakan miokard terjadi akibat peningkatan katekolamin yang berlebihan yang menyebabkan hiperaktivitas simpatis, disfungsi endotel, dan spasme mikrovaskular. Proses ini menyebabkan kerusakan miokard dan berujung pada disfungsi ventrikel kiri.[1-4]
Kardiomiopati Takotsubo dibedakan menjadi primer dan sekunder. Kardiomiopati Takotsubo primer adalah saat pasien datang dengan keluhan khas kardiomiopati Takotsubo dan menjadi fokus terapi. Kardiomiopati Takotsubo sekunder biasanya terjadi pada pasien yang telah dirawat, kemudian timbul kardiomiopati Takotsubo sebagai komplikasi dari penyakit yang mendasari. Diagnosis kardiomiopati Takotsubo sekunder sering kali terlewatkan dan tidak tertangani dengan baik.
Faktor risiko kardiomiopati Takotsubo, antara lain faktor hormonal yang membuat kondisi ini lebih banyak terjadi pada wanita postmenopause, faktor genetik, dan penyakit neurologis/psikiatrik.[4-6]
Gejala yang paling sering ditemukan pada kardiomiopati Takotsubo berupa nyeri dada dan sesak napas, yang menyerupai sindrom koroner akut. Gejala yang muncul dipicu oleh stres, baik secara fisik maupun emosional. Gejala lainnya yang muncul dan tampak pada pemeriksaan fisik dapat berupa komplikasi kardiomiopati Takotsubo, seperti gagal jantung, edema paru, stroke, syok kardiogenik, hingga henti jantung.
Pemeriksaan penunjang seperti elektrokardiografi, pemeriksaan laboratorium (biomarker nekrosis jantung dan natriuretic peptide), pemeriksaan radiologi (echocardiography, cardiac magnetic resonance (CMR), coronary angiography (CAG) dan ventriculography) diperlukan untuk mendiagnosis kardiomiopati Takotsubo. [1,5,7-10]
Penatalaksanaan penyakit ini umumnya berupa suportif dan bertujuan untuk meminimalkan komplikasi. Terapi awal menggunakan terapi untuk sindrom koroner akut dengan pengawasan EKG yang kontinu. Penatalaksanaan lainnya dapat disesuaikan dengan komplikasi yang ada.[4,7,9,11]