Etiologi Perikarditis
Etiologi perikarditis terbagi atas penyebab infeksi dan non-infeksi. Di Indonesia dan negara berkembang lainnya, virus dianggap sebagai patogen paling sering karena umumnya episode akut dari perikarditis memiliki gejala gastrointestinal dan flu.[2,6]
Sekitar 80% dari kasus perikarditis dianggap idiopatik. Hal ini menggambarkan kesulitan yang dialami oleh klinisi dalam mencari penyebab pasti perikarditis. Banyak kasus perikarditis yang dianggap sebagai infeksi atau respons imun virus yang tidak teridentifikasi. Identifikasi dari virus penyebab tidak direkomendasikan karena tidak berpengaruh pada tata laksana maupun prognosis, kecuali pada kasus hepatitis C atau human immunodeficiency virus (HIV).[6]
Etiologi Infeksi
Perikarditis viral merupakan penyebab sekitar 80–85% dari seluruh kasus perikarditis akibat infeksi. Ketika perikarditis terdiagnosis, infeksi viral sudah tidak dapat terkonfirmasi dengan pemeriksaan serologi antibodi karena antibodi IgM umumnya sudah tidak terdeteksi.[2,6]
Virus
Virus penyebab perikarditis meliputi coxsackievirus B, echovirus, adenovirus, virus influenza A dan B, enterovirus, virus Epstein-Barr, HIV, herpes simplex virus (HSV) tipe 1, virus varicella-zoster, virus parainfluenza tipe 2, respiratory syncytial virus (RSV), cytomegalovirus (CMV), dan virus hepatitis.[4,6]
Bakteri
Infeksi bakteri terjadi pada 1-8% kasus perikarditis dan terjadi akibat penyebaran langsung dari paru, hematogen, abses miokardium atau endokarditis, cedera penetrasi pada dinding dada baik karena trauma maupun pembedahan, atau lesi supuratif subdiafragmatika.
Organisme penyebabnya adalah bakteri Gram positif seperti Streptococcus pneumoniae dan spesies Streptococcus atau Staphylococcus lainnya. Bakteri Gram negatif yang juga telah ditemukan meliputi Proteus, Escherichia coli, Pseudomonas, Klebsiella, Salmonella, Shigella, Neisseria meningitidis, dan Haemophilus influenzae.[2,4]
Di Indonesia, tuberkulosis merupakan penyebab tersering dari perikarditis akut. Sekitar 50% dari pasien perikarditis akibat tuberkulosis akan mengalami perikarditis konstriktif. Kelompok risiko tinggi adalah lansia pada panti jompo dan pasien dengan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS).[4]
Etiologi Non-Infeksi
Etiologi non-infeksi mencakup cedera iatrogenik, penyakit autoimun, keganasan, atau hipotiroid.
Post-Cardiac Injury Syndrome
Sekitar 20% kasus perikarditis diklasifikasikan sebagai post-cardiac injury syndrome. Etiologi ini semakin meningkat terutama pada negara berkembang akibat dari naiknya angka prosedur intervensi jantung, seperti coronary artery bypass grafting, pemasangan pacemaker, ablasi radiofrekuensi, implantasi transkateter katup aorta, dan percutaneous coronary intervention.[2]
Perlu dicatat pula mengenai sindrom Dressler, atau juga dikenal sebagai sindrom post-perikardiotomi. Sindrom ini adalah kondisi peradangan jantung yang terjadi beberapa minggu setelah serangan jantung atau pembedahan jantung. Gejalanya meliputi demam, nyeri dada, dan seringkali disertai efusi perikardial. Kondisi ini disebabkan oleh respon autoimun terhadap jaringan perikardium yang terluka atau meradang.[14]
Perikarditis Pasca Vaksinasi
Miokarditis atau perikarditis pasca vaksinasi telah dilaporkan sejak tahun 1957 setelah vaksinasi varicella. Analisis dari data Vaccine Adverse Event Reporting System (VAERS) pada tahun 2011 hingga 2015 menunjukkan bahwa dari 357.188 laporan yang telah diterima dan ditinjau ditemukan 199 kasus miokarditis dan perikarditis.[8]
Penyebab Non-Infeksi Lain
Penyebab lain dari perikarditis adalah penyakit autoimun, hipotiroid, dan keganasan, baik karena metastasis dari sumber primer atau akibat radioterapi dari kanker pada mediastinum. Penyebab reumatologi teridentifikasi pada 2–7% kasus dari perikarditis akut dan hingga 10% pada perikarditis rekuren.
Penyakit autoimun sistemik merupakan penyebab dari 7,3% dari 453 pasien perikarditis akut pada sebuah serial kasus. Beberapa penyakit autoimun yang paling sering menyebabkan perikarditis adalah systemic lupus erythematosus (SLE), rheumatoid arthritis (RA), sindrom Sjogren, inflammatory myopathies, skleroderma, dan vaskulitis.[2,7]
Penulisan pertama oleh: dr. Edwin Njoto MIPH MHM