Pendahuluan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) atau gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas adalah gangguan perkembangan saraf yang mengakibatkan seseorang mengalami kesulitan dalam pemusatan perhatian, hiperaktif, dan impulsif. Hal ini dapat berdampak secara negatif pada fungsi sosial dan akademik atau pekerjaan. Terdapat tiga tipe ADHD yaitu dominan kurangnya memusatkan perhatian, tipe hiperaktif-impulsif, dan tipe kombinasi [1-3]
ADHD diperkirakan dialami oleh 3,4% populasi anak dan dewasa muda di seluruh dunia. ADHD merupakan penyakit mental ketiga yang paling sering ditemukan setelah depresi dan gangguan cemas. ADHD sering dikaitkan dengan performa yang buruk pada masa kanak-kanak dan remaja, seperti rendahnya tingkat kelulusan dan kegagalan dalam menyelesaikan pendidikan.[2]
ADHD juga dihubungkan dengan kejadian kecelakaan kendaraan bermotor, cedera yang tidak disengaja, dan penyalahgunaan zat. Risiko penyalahgunaan zat meningkat jika disertai dengan komorbiditas berupa gangguan perilaku.[2]
Sekitar 50% anak-anak dengan ADHD terus mengalami gejala ADHD pada masa remaja dan dewasa. Tingkat keparahan ADHD ditentukan berdasarkan gangguan pada fungsi sosial dan akademik atau pekerjaan menjadi ringan, sedang, dan berat.[1,2]
Diagnosis yang lebih awal akan memberikan manfaat terhadap pasien dalam menerima terapi lebih awal, sehingga gangguan fungsi sosial dan akademik atau pekerjaan dapat diminimalisir. Pendekatan multimodal, yaitu manajemen perilaku dan intervensi farmakologis, sering diperlukan agar anak-anak dan remaja yang mengalami ADHD dapat menerima manfaat tata laksana secara efektif.[1,2,4]
Perlu ditekankan juga kepada orang tua dan pengasuh pasien bahwa ADHD merupakan kondisi kronis sehingga orang tua atau pengasuh pasien paham mengenai tujuan pengobatan. Dalam beberapa kasus, diperlukan restrukturisasi lingkungan dan terapi perilaku.[1,2,4]