Pendahuluan Cystic Fibrosis
Cystic fibrosis adalah penyakit akibat gangguan autosomal resesif yang menyebabkan abnormalitas pada kelenjar eksokrin, sehingga memengaruhi berbagai organ. Paru dan pankreas merupakan organ yang paling sering terdampak oleh cystic fibrosis.[1-3]
Gen yang bertanggung jawab terhadap terjadinya cystic fibrosis telah diidentifikasi pada tahun 1989 sebagai gen yang mengkode cystic fibrosis transmembrane-conductance regulator glycoprotein (CFTR). Gen tersebut terletak pada lengan panjang kromosom nomor 7. Disfungsi protein CFTR menyebabkan penurunan sekresi klorida (Cl) dan peningkatan absorpsi natrium (Na). Akibatnya, sekresi tubuh menjadi lebih kental.[1-3]
Diagnosis cystic fibrosis perlu dicurigai pada pasien dengan gejala respirasi, misalnya batuk kronis, sesak napas, dan produksi dahak berlebihan. Selain paru, pankreas dan saluran pencernaan juga bisa ikut terdampak. Pasien mungkin mengeluhkan diare, flatulence, distensi abdomen, nyeri abdomen, dan steatorrhea. Malnutrisi juga mungkin terjadi akibat malabsorpsi. Selain itu, pasien bisa mengalami gejala genitourinaria.[1-3]
Pemeriksaan penunjang yang umum dilakukan adalah sweat test untuk menilai kadar klorida keringat dan DNA testing untuk mengidentifikasi mutasi gen. Selain itu, dokter dapat melakukan pencitraan, misalnya rontgen toraks, rontgen sinus, dan foto polos abdomen, sesuai kebutuhan. Pemeriksaan enzim pankreas dan spirometry juga dapat dilakukan bila perlu.[1-3]
Tujuan utama penatalaksanaan cystic fibrosis adalah menjaga fungsi paru agar dapat seoptimal mungkin mendekati kondisi normal, dengan mengontrol infeksi pernapasan dan membersihkan saluran udara dari lendir. Selain itu, dokter juga memberikan terapi nutrisi dan mengelola komplikasi yang mungkin muncul.[1-3]
Penulisan pertama oleh: dr. Eric Hartono Tedyanto