Etiologi Ruam Popok
Etiologi ruam popok atau diaper rash berhubungan dengan perbedaan fisiologi kulit pada bayi baru lahir, terutama fungsi sawar kulit. Hal ini mengakibatkan kulit lebih rentan untuk mengalami disrupsi akibat iritan, misalnya popok ataupun enzim feses.[7]
Etiologi
Etiologi terjadinya ruam pokok merupakan multifaktorial. Beberapa hal yang berperan, antara lain imaturitas kulit pada bayi, kulit lembap terus-menerus karena hidrasi berlebihan, dan kolonisasi mikroorganisme.
Imaturitas Kulit Bayi
Pada bayi yang baru lahir, sawar kulit masih belum matur, sehingga lebih rentan untuk mengalami kerusakan atau absorpsi perkutan. Hal ini terutama terjadi pada bayi prematur. Fungsi sawar kulit juga berbeda-beda antar regio anatomis. Kulit pada area pokok rentan mengalami dermatitis kontak iritan akibat gesekan berulang dengan urin dan feses, juga oklusi akibat pemakaian popok. Hal-hal ini mengakibatkan peningkatan hidrasi dan pH kulit.[2,7]
Hidrasi Berlebihan pada Kulit
Hidrasi berlebihan menyebabkan degradasi pada stratum korneum, sehingga terjadi gangguan sawar kulit. Lapisan asam (acid mantle) pada kulit memegang peranan penting terhadap regulasi enzim-enzim yang berfungsi menjaga integritas stratum korneum.
Paparan berulang terhadap urin dan feses menyebabkan kulit di area popok menjadi basa, sehingga terjadi perubahan kolonisasi mikroba, aktivasi enzim feses, seperti protease dan lipase, serta kerusakan stratum korneum. Gesekan dari popok dan maserasi akan memperberat kerusakan sawar kulit, sehingga meningkatkan permeabilitas kulit akan iritan.[7,8]
Kolonisasi Mikroorganisme
Berbagai faktor di atas menyebabkan kulit menjadi rentan terhadap infeksi mikroba dan inflamasi. Mikroorganisme yang sering menjadi etiologi pada ruam pokok, antara lain Candida albicans yang menyebabkan kandidiasis, serta berbagai bakteri, seperti Staphylococcus aureus, Streptococcus sp., E. coli, dan Bacteroides sp.[7,9]
Faktor Risiko
Beberapa faktor risiko yang diketahui berhubungan dengan terjadinya ruam popok, antara lain kebiasaan jarang mengganti popok, penggunaan antibiotik berspektrum luas, contohnya ceftriaxone, serta tidak membersihkan dan mengeringkan area popok secara baik. Penggunaan sabun cair mengandung deterjen untuk membersihkan kulit dan pemakaian bedak talkum juga meningkatkan resiko ruam popok.[1,4]
Bayi yang memiliki riwayat dermatitis atopik, lebih berisiko untuk mengalami ruam popok. Selain itu, penggunaan popok kain dapat meningkatkan risiko ruam popok, sebab kemampuan menyerap popok kain tidak sebaik popok sekali pakai (disposable).[10]
Studi potong lintang oleh Carr, et al. pada tahun 2020 dilakukan terhadap 1791 bayi. Hasil studi mendapatkan bahwa penggunaan produk topikal, seperti krim zinc oksida, membersihkan area popok dengan baik setelah defekasi, dan mempersingkat waktu penggantian popok di malam hari (overnight diaper) berhubungan dengan kejadian ruam popok yang lebih rendah, pH kulit yang lebih asam, dan perbaikan sawar kulit.[11]
Faktor Protektif
Aerasi atau membiarkan anak tanpa popok selama diduga merupakan faktor protektif terhadap terjadinya ruam popok. Studi tahun 2015 oleh Biranjia-Hudroyal, et al. melaporkan bahwa aerasi pada anak lebih dari 1 jam setiap harinya menghasilkan risiko ruam popok yang lebih rendah, yaitu 33,6%, dibandingkan anak dengan aerasi kurang dari 1 jam setiap harinya, yaitu 66,3%.[12]
Pemberian air susu ibu (ASI) juga merupakan faktor protektif terhadap ruam popok. Studi pada tahun 2016 oleh Ersoy-Evans, et al. mendapatkan insidensi ruam popok lebih rendah pada bayi yang minum ASI. Pemberian ASI diduga menyebabkan feses menjadi lebih tidak iritatif.[1,13]
Hal ini disebabkan karena pH feses yang lebih tinggi, aktivitas enzim lipase dan protease yang lebih rendah, dan kandungan urea yang lebih sedikit, dibandingkan bayi yang mengonsumsi susu formula.[4]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra