Diagnosis Hifema Traumatis
Diagnosis hifema traumatis diawali dengan identifikasi instabilitas hemodinamik, red flags, serta penilaian derajat hifema berdasarkan klasifikasi Edward dan Layden 1973. Hifema traumatis sering berhubungan dengan trauma tumpul maupun trauma penetrasi pada mata atau kepala, sehingga adanya cedera yang mengancam nyawa maupun mengancam penglihatan perlu diidentifikasi terlebih dahulu.
Red Flags atau Tanda Bahaya Hifema Traumatis
Tanda bahaya yang perlu diperhatikan pada pasien dengan hifema traumatis meliputi kecurigaan ruptur bola mata, sindrom kompartemen orbita, perdarahan retrobulbar, dan trauma penetrasi.[1,2,4]
Selain itu, pasien yang memiliki kelainan darah seperti anemia sel sabit lebih berisiko mengalami perdarahan atau hifema ulang dan hipertensi okuli. Hal ini dikarenakan sel sabit akan lebih sulit lepas dari trabecular meshwork sehingga mengganggu aliran aqueous humour. Pasien ini mungkin memerlukan intervensi pada tekanan intraokular (TIO) yang lebih rendah, sehingga termasuk red flags untuk hifema traumatis.[1,2,4]
Anamnesis
Anamnesis pada hifema traumatis diawali dengan identifikasi kegawatdaruratan dan red flags hifema. Anamnesis meliputi tipe cedera mata (tumpul atau penetrasi), ada atau tidaknya penurunan penglihatan, fotofobia, dan nyeri pada mata akibat trauma dan peningkatan TIO, serta ada tidaknya mual muntah.[2,3]
Keluhan gangguan penglihatan perlu dibedakan apakah karena hifema yang dialami atau karena kondisi klinis seperti ablatio retina. Gangguan penglihatan karena hifema biasanya bertambah di posisi supine karena darah menutupi aksis visual. Pada pasien dengan fraktur orbita, keluhan penglihatan ganda (diplopia) bisa terjadi karena restriksi gerakan otot ekstraokular.[2,3]
Keluhan mual dan muntah penting untuk ditanyakan karena adanya mual dan muntah dapat memperburuk klinis dengan memperparah perdarahan dan peningkatan TIO. Mekanisme terjadinya trauma perlu ditanyakan, termasuk adanya keterlibatan benda tertentu pada trauma mata.[2,3]
Riwayat koagulopati dan kelainan darah seperti anemia sel sabit perlu ditanyakan. Pada anamnesis, skrining gangguan koagulasi dapat dilakukan dengan menggunakan scoring HEMSTOP (Hematoma, hEmorrhage, Menorrhagia, Surgery, Tooth extraction, Obstetrics, Parents). Hal ini membantu menentukan perlu tidaknya pemeriksaan fungsi koagulasi.[2,13]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diawali dengan identifikasi gangguan hemodinamik dari tanda-tanda vital dan cedera, baik yang mengancam nyawa maupun penglihatan. Identifikasi benda asing, trauma penetrasi, dan tanda sindrom kompartemen orbita penting dilakukan pada awal pasien datang.
Identifikasi Kegawatdaruratan
Pada pemeriksaan fisik mata, identifikasi ada atau tidaknya kelainan posisi bola mata (seperti proptosis), relative afferent pupillary defect (RAPD) pada pemeriksaan pupil, dan penurunan ketajaman visus. Ketiga hal ini merupakan tanda sindrom kompartemen orbita yang mengancam penglihatan.[2]
Pemeriksaan TIO perlu dilakukan karena hipertensi okuli dapat menyertai hifema traumatis dan memerlukan penanganan segera. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan palpasi manual maupun tonometri. Peningkatan TIO dicurigai bila nilai TIO >21 mmHg. Peningkatan TIO ini dapat baru terjadi 6–18 jam sampai 6 hari posttrauma, sehingga pemantauan gejala klinis dan TIO perlu dilakukan.[1-3]
Pemeriksaan Fisik setelah Kegawatdaruratan Disingkirkan
Setelah kegawatdaruratan disingkirkan, pemeriksaan dilanjutkan dengan lebih detail pada palpebra, apparatus lakrimal, dan kornea untuk melihat adanya lesi. Pada kamera okuli anterior (KOA), dapat dilakukan identifikasi eritrosit atau akumulasi darah dengan slit lamp atau lup.[2]
Pemeriksaan lapang pandang dilakukan untuk mengeksklusi kemungkinan ekstensi trauma ke posterior, seperti perdarahan intravitreus dan ablatio retina. Pemeriksaan gerakan bola mata juga perlu dilakukan untuk mengeksklusi kondisi klinis lain yang dapat menyertai seperti fraktur orbita.[2]
Gonioskopi dilakukan untuk melihat angle recession. Kondisi ini sering kali menyertai trauma tumpul, di mana ada pemisahan antara otot dengan arah serat sirkuler dan arah serat longitudinal milik badan siliar. Gambaran gonioskopi pada kondisi ini adalah pelebaran sudut iris dan kornea disertai perubahan posisi tempat insersi iris ke posterior dan tereksposnya pita badan siliar.[8]
Grading Hifema
Penilaian derajat hifema sampai saat ini masih menggunakan grading oleh Edward dan Layden tahun 1973 yang terdiri dari mikrohifema sampai hifema derajat 4. Grading hifema meliputi:
- Mikrohifema atau hifema mikroskopis: ada eritrosit pada KOA tetapi tidak ada akumulasi darah
- Hifema derajat 1: ada akumulasi darah atau bekuan darah pada ≤⅓ KOA
- Hifema derajat 2: ada akumulasi darah atau bekuan darah pada >⅓ sampai ½ KOA
- Hifema derajat 3: ada akumulasi darah atau bekuan darah pada >½ sampai ¾ KOA
- Hifema derajat 4 atau hifema total: ada akumulasi darah atau bekuan darah pada >¾ KOA[2,5,6,12]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk hifema traumatis adalah komplikasi operasi glaucoma filtering, uveitis glaucoma hyphema syndrome, anemia sel sabit dengan manifestasi okular, dan keratitis yang disebabkan oleh virus herpes zoster.[2,14]
Komplikasi Operasi Glaucoma Filtering
Hifema dapat terjadi sebagai komplikasi tindakan glaucoma filtering, seperti pada trabekulektomi. Pada kondisi ini, pasien memiliki riwayat glaukoma yang ditata laksana dengan tindakan yang melibatkan glaukoma filtering, misalnya trabekulektomi.[15]
Hifema umumnya muncul pada saat operasi atau dalam 2–3 hari postoperasi. Berbeda dengan hifema traumatis, kondisi ini harus disertai dengan riwayat postoperasi dengan teknik glaucoma filtering.[15]
Uveitis Glaucoma Hyphema Syndrome
Uveitis glaucoma hyphema syndrome adalah komplikasi tindakan implantasi lensa intraokular (IOL) dalam operasi katarak. Kondisi ini ditandai dengan inflamasi kronis pada uvea yang sangat nyeri, peningkatan TIO, dan hifema. Berbeda dengan hifema traumatis, kondisi ini disertai riwayat operasi katarak, di mana terdapat trauma mekanik pada iris atau badan siliar atau IOL yang malposisi atau subluksasi.[16]
Anemia Sel Sabit dengan Manifestasi Okular
Pasien dengan anemia sel sabit dapat memiliki manifestasi okular berupa hifema spontan. Pada kondisi ini, tidak adanya riwayat trauma orbita maupun adneksa dapat membedakan pasien anemia sel sabit dengan hifema traumatis.[2]
Keratitis Akibat Infeksi Virus Herpes Zoster
Pada keratitis akibat infeksi virus herpes zoster, hifema juga dapat ditemukan. Kondisi ini biasanya disertai dengan manifestasi keratitis, seperti nyeri, lesi kulit berupa vesikel berkelompok sesuai dermatom, injeksi siliar, dan hipopion. Hifema bisa muncul sebagai gejala penyerta, yang dibedakan dengan hifema traumatis berdasarkan tidak adanya riwayat trauma pada mata maupun adneksa.[14]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang umumnya dilakukan bukan untuk menegakkan diagnosis hifema traumatis, tetapi untuk evaluasi kondisi klinis yang menyertai. Contoh kondisi klinis yang menyertai hifema traumatis adalah trauma penetrasi, adanya benda asing intraokular, fraktur orbita, dan keterlibatan segmen posterior.[2]
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi seperti CT scan kepala dan USG orbita dapat dilakukan untuk menyingkirkan kecurigaan kondisi klinis yang menyertai dan memengaruhi outcome visual. Pemeriksaan CT scan kepala dapat dipertimbangkan pada kecurigaan adanya benda asing intraorbita dan trauma penetrasi, serta visualisasi trauma seperti fraktur orbita.[2]
Pemeriksaan USG orbita baru dapat dilakukan apabila kecurigaan ruptur orbita sudah disingkirkan, karena tekanan probe dapat memperparah keluarnya vitreous humour dan aqueous humour. USG orbita dilakukan pada kondisi di mana ada kecurigaan kelainan segmen posterior bola mata, seperti ablatio retina, perdarahan intravitreal, dislokasi lensa, dan benda asing intraokular.[2]
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada hifema traumatis dilakukan terutama bila terdapat kecurigaan koagulopati dan anemia sel sabit. Pada kecurigaan koagulopati, misalnya dari skrining dengan skoring HEMSTOP, pemeriksaan fungsi koagulasi dapat dilakukan.
Pasien dengan gangguan koagulasi dan anemia sel sabit berisiko mengalami peningkatan TIO, hifema berulang, dan kemungkinan memerlukan intervensi pada TIO yang lebih rendah.[2,4,13]