Penatalaksanaan Hepatitis E
Penatalaksanaan hepatitis E bergantung pada status imun pasien (imunokompeten atau imunokompromais) dan sifat penyakit (akut atau kronik). Hingga saat ini belum ada terapi spesifik untuk hepatitis E. Hepatitis E umumnya bersifat akut, self-limited pada pasien imunokompeten, dan sembuh spontan sehingga tidak memerlukan perawatan di rumah sakit. Rawat inap diperlukan pada wanita hamil dan pada pasien hepatitis E akut yang berkembang menjadi hepatitis fulminan.[1,2,8]
Penatalaksanaan Hepatitis E Akut
Penatalaksanaan hepatitis E akut pada pasien imunokompeten lebih bersifat simtomatik dan suportif. Perlu diperhatikan penggunaan obat-obat simtomatik seperti paracetamol harus sesuai indikasi dan dosis yang tepat, mengingat penggunaan obat-obat tersebut dalam dosis melebihi dosis maksimal dan jangka lama dapat berisiko menyebabkan kerusakan hepar.
Terapi suportif antara lain istirahat cukup, asupan nutrisi dan cairan yang cukup, serta menghindari alkohol. Pada pasien hepatitis E akut yang berkembang menjadi gagal hati fulminan diperlukan transplantasi hepar. Penggunaan antivirus seperti ribavirin pada pasien imunokompromais dengan hepatitis akut masih belum diketahui efikasinya.[1,2,8,22]
Penatalaksanaan Hepatitis E Kronik
Hepatitis E hanya dapat berkembang menjadi kronik pada pasien imunokompromais. Hingga saat ini belum ada terapi spesifik untuk hepatitis E kronik. Tata laksana yang dapat diberikan meliputi penggunaan antivirus.[1,2]
Ribavirin
Antivirus ribavirin telah digunakan sebagai monoterapi pasien imunokompromais dengan hepatitis E kronik. Meski begitu, peran ribavirin sebagai monoterapi Hepatitis E kronik ini masih belum jelas dan hanya didukung oleh beberapa case series dan case reports yang terbatas.[7,8]
Berdasarkan studi yang masih terbatas, ribavirin diberikan jika tidak memungkinkan untuk mengurangi atau menurunkan terapi imunosupresan pada pasien imunokompromais, atau jika HVE RNA tetap terdeteksi (persistent) setelah reduksi terapi imunosupresan selama 12 minggu. Pada pasien imunokompromais resipien transplantasi hepar, ribavirin diberikan bersamaan dengan reduksi terapi imunosupresan. Perlu diperhatikan penggunaan ribavirin pada kehamilan karena berefek teratogenik.
Ribavirin diberikan dengan dosis 300-500 mg 2 kali sehari selama 12 minggu. Selama terapi ribavirin, perlu dimonitor efek samping berupa dose-dependent anemia. Pemeriksaan darah lengkap perlu dilakukan pada minggu ke-4, 8, dan 12 selama terapi. Jika terjadi efek samping anemia, dosis ribavirin perlu disesuaikan dengan tingkat keparahan (severity) anemia. Pada anemia berat, mungkin diperlukan terapi eritropoietin dan transfusi darah.[5,7,8]
Target Terapi
Target terapi adalah mengeradikasi HEV RNA dengan indikator pencapaian sustained virologic response (SVR). SVR tercapai jika HEV RNA tidak terdeteksi lagi di serum dan feses pada pemeriksaan PCR. Untuk memonitor keberhasilan terapi, pemeriksaan PCR pada serum dan feses dilakukan setelah 12 minggu terapi ribavirin dan 12 minggu lagi setelah selesai terapi ribavirin (minggu ke-24).
Jika HVE RNA masih positif di minggu ke-12 terapi ribavirin, maka ribavirin dilanjutkan 12 minggu lagi (total 24 minggu terapi ribavirin). Pemeriksaan PCR dilakukan kembali di akhir terapi ribavirin dan 12 minggu lagi setelahnya. Jika HVE RNA masih juga positif setelah 24 minggu terapi ribavirin, maka terapi dinyatakan tidak berhasil. Ribavirin dihentikan dan dilakukan monitor perburukan hepar.
Hingga saat ini belum ada terapi alternatif untuk kasus yang gagal dengan ribavirin. Penggunaan pegylated interferon-alpha dan sofosbuvir pada kasus yang gagal dengan ribavirin hanya didukung oleh data yang terbatas. Terapi pegylated interferon-alpha selama 3-12 bulan dilaporkan dapat mencapai SVR, namun interferon memiliki immunostimulatory effect yang dapat meningkatkan rejeksi atau penolakan terhadap organ transplantasi. Sofosbuvir diteliti dapat menghambat replikasi HEV RNA, namun hal ini baru teruji secara in vitro.[5,7,8]