Edukasi dan Promosi Kesehatan Rabies
Edukasi dan promosi kesehatan terkait pencegahan pra dan pasca pajanan rabies sangat penting dalam keberhasilan manajemen. Hal ini karena rabies yang terlanjur bergejala umumnya berakhir pada kematian. Oleh karena itu, langkah pencegahan adalah langkah vital dalam menurunkan angka kejadian dan fatalitas kasus.[2]
Edukasi Pasien
Kegiatan edukasi dan promosi kesehatan di masyarakat bertujuan untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat mengenai faktor risiko, serta langkah yang dapat diambil untuk mengurangi paparan virus rabies. Kegiatan ini meliputi sosialisasi kepada masyarakat tentang gambaran rabies, penularan infeksi, penanganan pertama luka dan kewaspadaan faktor risiko.[5]
Masyarakat perlu diberikan edukasi mengenai cara penanganan pertama luka jika terpapar hewan yang diduga rabies dan segera ke fasilitas kesehatan terdekat untuk evaluasi dan penanganan lebih lanjut.[2,4]
Kewaspadaan faktor risiko antara lain menghindari kontak dengan hewan liar, menghindari daerah endemi rabies, memelihara hewan peliharaan dengan pengawasan dan kendali yang baik, memberikan vaksin anti rabies pada hewan peliharaan secara berkala, dan melaporkan hewan dengan ciri-ciri rabies kepada Pusat Kesehatan Hewan.[2,6,7]
Kewaspadaan Terhadap Hewan yang Menularkan Rabies
Di Indonesia, hewan yang paling banyak menularkan rabies adalah anjing. Sampaikan mengenai ciri-ciri anjing yang mengidap rabies:
- Perubahan perilaku hewan: tidak mengenal pemiliknya, tak menuruti perintah pemiliknya
- Mudah terkejut
- Mudah berontak bila ada provokasi
- Bersembunyi di kolong tempat tidur, meja, atau kursi karena takut sinar/cahaya
- Gelisah
- Mengunyah benda-benda di sekitarnya
- Berjalan mondar mandir bila di kandang
- Beringas/terlalu agresif, menyerang terhadap obyek yang bergerak
- Terjadi kelumpuhan tenggorokan (masalah menelan), kelumpuhan kaki belakang
- Hipersalivasi[6]
Ciri-ciri hewan liar yang mengidap rabies yaitu nampak sakit, memiliki masalah menelan, hipersalivasi, terlalu agresif atau tiba-tiba menjadi jinak, nampak tidak bergerak, dan kelelawar yang tergeletak di tanah.[3]
Pentingnya Profilaksis Pasca Pajanan
Pada pasien yang sudah terpapar, edukasi mengenai tingkat fatalitas rabies. Tekankan pentingnya profilaksis pasca pajanan. Sampaikan bahwa pasien harus menyelesaikan regimen profilaksis untuk mencegah fatalitas akibat infeksi rabies.[1-5]
Upaya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Upaya pencegahan dan pengendalian rabies pada manusia meliputi pengendalian dan vaksinasi hewan yang berpotensi rabies, edukasi masyarakat yang berisiko terpapar, dan meningkatkan akses untuk mendapatkan penanganan kesehatan yang tepat. Upaya ini melibatkan koordinasi dari berbagai sektor, baik rabies center, Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan), Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, serta pemerintah pusat dan daerah. Tujuan dari koordinasi ini adalah untuk pelacakan hewan terduga rabies dan pemeriksaan sampel dari hewan tersebut, serta membantu memberikan informasi mengenai pola epidemiologi di daerah tersebut untuk kemudian dilakukan program pengendalian rabies.[3,7]
Pengendalian rabies pada hewan di Indonesia dilakukan dengan melakukan vaksinasi terhadap 70% populasi anjing, kucing, dan kera yang ada dalam jarak minimum 10 km di sekitar lokasi kasus rabies. Hewan yang mati karena rabies sebaiknya dibakar atau dikubur minimal sedalam 1 meter. Semua hewan yang sakit atau mati harus ditangani dengan tangan tertutup sarung tangan.[4,6]
Penanganan pasien rabies di fasilitas kesehatan tetap perlu memperhatikan kewaspadaan standar, seperti menggunakan gloves, goggle, dan masker, terutama jika melakukan intubasi atau suction.[3,5]
Profilaksis Pra Pajanan (pre-exposure prophylaxis/PrEP)
PrEP adalah vaksin yang diberikan pada individu yang berisiko terpapar rabies. Profilaksis pra pajanan diberikan berdasarkan kategori risiko berikut:
- Kategori I (risiko tertinggi), yaitu pekerja laboratorium yang memeriksa virus rabies. Pada kategori risiko ini, direkomendasikan pemberian VAR sebanyak 2 dosis, yaitu pada hari ke-0 dan 7, kemudian dilakukan evaluasi titer antibodi serum (RFFIT) setiap 6 bulan
- Kategori II, yaitu individu yang memiliki aktivitas sehari-hari kontak dengan kelelawar. Pada kategori risiko ini, direkomendasikan pemberian VAR sebanyak 2 dosis, yaitu pada hari ke-0 dan 7, kemudian dilakukan evaluasi titer antibodi serum (RFFIT) setiap 2 tahun
- Kategori III, yaitu individu yang dikarenakan pekerjaan atau aktivitasnya sering berinteraksi dalam lebih dari 3 tahun ke depan dengan mamalia yang berpotensi rabies, termasuk individu yang bepergian ke daerah endemi rabies. Pada kategori risiko ini, direkomendasikan pemberian VAR sebanyak 2 dosis, yaitu pada hari ke-0 dan 7, kemudian evaluasi titer antibodi serum (RFFIT) setiap tahun selama 3 tahun, atau ditambah 1 dosis booster di antara minggu ke 3 sampai 3 tahun
- Kategori IV, yaitu individu yang dikarenakan pekerjaan atau aktivitasnya sering berinteraksi dalam ≤3 tahun ke depan dengan mamalia yang berpotensi rabies. Pada kategori risiko ini, direkomendasikan pemberian VAR sebanyak 2 dosis, yaitu pada hari ke-0 dan 7, dan tidak perlu dilakukan monitor titer antibodi serum
- Kategori V (risiko terendah), yaitu populasi umum. Tidak ada rekomendasi PrEP pada kategori risiko ini[2,3,5]
Penulisan pertama oleh: dr. Sunita