Penatalaksanaan Sindrom Serotonin
Prinsip penatalaksanaan sindrom serotonin adalah mengidentifikasi dan menghentikan obat serotonergik yang digunakan, memberikan terapi suportif, dan monitoring untuk mencegah terjadinya komplikasi. Medikamentosa untuk sindrom serotonin adalah pemberian sedatif dengan benzodiazepine dan antagonis serotonin sebagai antidotum.[1,2,8]
Selain itu, penatalaksanaan juga termasuk menilai kebutuhan pemberian agen penyebab sindrom serotonin kembali setelah resolusi gejala. Aplikasi dari prinsip tersebut akan bergantung pada tingkat keparahan gejala:
- Ringan: menghentikan obat penyebab, terapi suportif, dan sedasi dengan benzodiazepine
- Sedang: terapi lebih agresif untuk instabilitas otonom dan terkadang diperlukan antagonis serotonin
- Berat: pasien hipertermia >41,1℃ umumnya dalam kondisi kritis dan memerlukan paralisis neuromuskular dan intubasi[1,2,8]
Terapi Suportif
Terapi suportif sangat penting dalam tata laksana sindrom serotonin. Terapi suportif mencakup pemberian oksigen untuk menjaga saturasi di atas 94% dan kristaloid intravena untuk mengatasi deplesi cairan dan hipertermia.
Pasien hipertermia dengan suhu melebihi 41,1℃ memerlukan sedasi, paralisis, dan intubasi segera. Untuk mengatasi hipertermia, dapat dilakukan pendinginan tubuh secara aktif, seperti pemberian ice pack, selimut pendingin, atau pemberian infus dengan suhu dingin. Hipertermia pada pasien sindrom serotonin disebabkan oleh adanya peningkatan aktivitas otot, sehingga penggunaan antipiretik seperti paracetamol dinilai tidak efektif.[1,2,15,16]
Sedasi dengan Benzodiazepine
Efek sedasi dibutuhkan untuk mengatasi agitasi dan hipertermia pada pasien. Golongan benzodiazepine merupakan pilihan utama untuk memberikan efek sedasi pada pasien dengan sindrom serotonin. Pilihan obat yang dapat digunakan adalah diazepam, lorazepam, atau midazolam.[1,2,8]
Lorazepam intravena dapat diberikan dalam dosis 2‒4 mg untuk dewasa atau 0,02‒0,04 mg/kg/dosis pada anak. Diazepam intravena dapat diberikan dalam dosis 5‒10 mg. Pemberian dapat diulangi setiap 10 menit tergantung respons pasien.[15]
Agitasi pada pasien sebaiknya tidak ditangani dengan pengekangan fisik maupun pemberian antipsikotik. Pengekangan fisik dapat menyebabkan pasien melakukan kontraksi otot isometrik yang meningkatkan risiko terjadinya asidosis laktat dan memperparah hipertermia. Pemberian antipsikotik perlu dihindari karena memiliki efek antikolinergik yang dapat menurunkan produksi keringat dan menghambat pengeluaran panas dari tubuh.[1,2,15,16]
Antidotum Cyproheptadine
Jika benzodiazepine dan terapi suportif tidak adekuat dalam mengatasi agitasi dan abnormalitas tanda vital, cyproheptadine menjadi pilihan antidotum lini pertama pada sindrom serotonin. Pemberian cyproheptadine dimulai dengan loading dose 12 mg per oral, dilanjutkan dengan dosis 2 mg tiap 2 jam hingga didapatkan perbaikan gejala. Kemudian, dosis pemberian dapat diganti dengan dosis 8 mg tiap 6 jam.
Pada kasus ringan hingga sedang, cyproheptadine terbukti dapat mengurangi gejala yang ada, tetapi manfaatnya pada kasus berat masih belum terbukti. Cyproheptadine memiliki efek sedasi yang dapat bermanfaat untuk pasien. Perlu diwaspadai bahwa efek samping lainnya adalah terjadinya hipotensi, tetapi kondisi ini biasanya dapat membaik dengan pemberian cairan intravena.
Cyproheptadine adalah antagonis reseptor histamin-1 yang juga memiliki efek antagonis reseptor 5-HT1A, 5-HT2A, 5-HT2B, 5-HT2C, 5-HT3, 5-HT6, 5-HT7.[1,2,15,16]
Instabilitas Otonom
Pasien dengan manifestasi berat seringkali memiliki perubahan cepat dan besar dalam tekanan darah dan frekuensi nadi. Oleh karenanya, manajemen instabilitas otonom menjadi tantangan tersendiri. Pasien dengan takikardia dan hipertensi berat sebaiknya ditata laksana dengan obat kerja pendek, seperti esmolol atau nitroprusside.
Obat yang Tidak Direkomendasikan
Terdapat berbagai obat dan antidotum lain yang telah dipertimbangkan dalam tata laksana sindrom serotonin, namun efeknya umumnya negatif atau netral. Agen antipsikotik dengan aktivitas antagonis 5-HT2A, seperti olanzapine dan chlorpromazine, tidak direkomendasikan karena dapat memperburuk hipertermia.
Sementara itu, propranolol, bromocriptine, atau dantrolene tidak direkomendasikan karena dapat menyebabkan hipotensi memanjang atau eksaserbasi sindrom serotonin. Berdasarkan studi pada hewan coba, dantrolene juga telah dilaporkan tidak memiliki efek.[15,16]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini