Penatalaksanaan Empiema
Penatalaksanaan utama untuk empiema adalah pemberian antibiotik. Selain itu, pasien biasanya memerlukan drainase pleura dan mungkin memerlukan terapi fibrinolitik atau bedah. Penatalaksanaan disesuaikan lagi dengan kondisi masing-masing pasien.[6]
Pemberian Antibiotik
Antibiotik untuk mengobati organisme anaerob biasanya dipilih secara empiris. Pilihan terapi empiris untuk organisme anaerob meliputi clindamycin, β-lactam dengan inhibitor β-lactamase (amoxicillin clavulanate, ampicillin sulbactam, atau piperacillin tazobactam) dan carbapenem (imipenem, meropenem, ertapenem).[1-3]
Bila ada kemungkinan atau terbukti ada organisme aerob dari spesimen darah atau cairan pleura, berikan kombinasi cephalosporin generasi kedua atau ketiga dengan metronidazole, atau aminopenicillin parenteral dengan inhibitor β-lactamase (seperti ampicillin sulbactam atau piperacillin tazobactam).[1-3]
The American Association for Thoracic Surgery (AATS) merekomendasikan agar kasus community-acquired empiema diberikan golongan cephalosporin generasi kedua atau ketiga (misal ceftriaxone) dengan metronidazole secara parenteral, atau aminopenicillin dengan β-lactamase inhibitor (seperti ampicillin sulbactam). Untuk hospital-acquired empiema, sertakan antibiotik yang aktif melawan methicillin-resistant Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa, seperti vancomycin, cefepime, metronidazole.[6]
Selain pemberian antibiotik, efusi parapneumonia atau empiema mungkin memerlukan prosedur drainase. Keputusan tentang tipe efusi parapnemonia yang mana yang perlu drainase tergantung pada tipe atau stadium efusi parapneumonia.[1-3]
Efusi Parapneumonia Tidak Berkomplikasi
Efusi parapneumonia yang tidak berkomplikasi (stadium 1 atau 2 konsensus American College of Chest Physicians atau ACCP) umumnya bisa membaik dengan pemberian antibiotik sehingga jarang membutuhkan drainase. Rontgen toraks serial atau USG dapat dilakukan untuk menilai perbaikan.[3]
Efusi Parapneumonia Berkomplikasi
Efusi berkomplikasi (stadium 3 konsensus ACCP) memiliki variasi respons terhadap antibiotik. Kasus kadang cukup diberikan antibiotik tetapi kadang juga perlu dikombinasi dengan drainase cairan. Jika drainase gagal, dilakukan video-assisted thoracoscopic (VATS) untuk debridemen dan drainase.[3]
Empiema
Empiema toraks (stadium 4 konsensus ACCP) berarti bahwa ada pus di rongga pleura yang memerlukan drainase selain antibiotik. Konsultasi bedah toraks diperlukan karena banyak pasien akan memerlukan torakoskopik atau debridemen dan drainase.[1-3]
Drainase dan Terapi Fibrinolitik Intrapleura
The American Association for Thoracic Surgery (AATS) menganjurkan torakosentesis agar disertai dengan pemasangan tube drainase pada kasus empiema. Torakosentesis saja tanpa pemasangan tube drainase tidak dianjurkan pada pasien empiema. Hal ini dikarenakan drainase pleura yang ongoing dinilai penting sebagai syarat terapi yang adekuat pada kasus empiema.[6]
Thoracostomy tube atau chest tube bisa digunakan untuk satu daerah empiema atau banyak daerah (multiloculated empiema). Semakin besar diameter chest tube, semakin nyeri prosedurnya dan semakin berisiko. Pembersihan cairan empiema disarankan 30 mL/6 jam sampai cairan bening. Chest tube dilepas apabila empiema menutup dan produksi <50 mL/hari.[1-3,7]
Selain chest tube, bisa juga dilakukan terapi agen fibrinolitik intrapleura seperti enzim deoksiribonuklease (DNase). Saat ini juga terdapat kombinasi tPA (tissue plasminogen activator) dan DNase yang bisa menurunkan opasitas pleura secara radiografis. Selain itu, bisa dilakukan VATS serta dekortikasi bila terdapat adhesi.[3]
Pembedahan
Bila pasien membutuhkan pembedahan, dokter bedah toraks akan menentukan apakah tindakan dilakukan secara terbuka atau secara video-assisted thoracoscopic (VATS). Potensi manfaat VATS bila dibandingkan pembedahan terbuka adalah kontrol nyeri pascaoperasi yang lebih baik, durasi rawat yang lebih singkat, kehilangan darah lebih sedikit, komplikasi respirasi lebih rendah, dan reduksi komplikasi pascaoperasi.[6]
Namun, kekurangan VATS adalah pemanjangan waktu operasi, peningkatan biaya, dan adanya kemungkinan membutuhkan terapi atau prosedur tambahan.[6]