Patofisiologi Trauma Akustik Akut
Patofisiologi trauma akustik akut melibatkan gangguan pada telinga dalam yang menyebabkan tuli sensorineural. Trauma akustik akut juga dapat menyebabkan acoustic shock injury (cedera syok akustik). Apabila trauma akustik akut dibarengi dengan cedera ledakan atau aural blast injury, juga dapat terjadi kerusakan pada membran timpani yang berujung pada tuli konduktif.
Patofisiologi Cedera Ledakan
Jika terjadi ledakan, terdapat cedera suara dan cedera akibat ledakan itu sendiri pada telinga. Membran timpani merupakan organ yang paling sensitif terhadap cedera ledakan.
Ledakan dapat menyebabkan perforasi membran timpani dengan tingkat kerusakan ditentukan oleh proksimitas pasien terhadap sumber ledakan. Selain membran timpani, rangkaian osikel juga dapat mengalami kerusakan berupa fraktur osikel atau disartikulasi rangkaian. Kerusakan tersebut akan menyebabkan tuli konduktif.
Perforasi membran timpani dan cedera telinga tengah yang ringan dapat sembuh sendiri. Tetapi, dapat tersisa jaringan parut yang membuat rangkaian osikel lebih kaku dan gangguan pendengaran menetap.
Apabila cedera ledakan lebih berat, fraktur os temporal dapat ditemukan. Fraktur tersebut dapat menyebabkan laserasi pada kanalis akustikus dan sepanjang membran timpani, menyebabkan otorea atau hemotimpani. Orientasi fraktur juga dapat menyebabkan kebocoran cairan serebrospinal. Pada fraktur os temporal, nervus fasial juga rentan mengalami cedera.[3]
Patofisiologi Cedera Syok Akustik
Apabila lokasi sumber suara cukup dekat, dapat terjadi syok akustik. Syok akustik dapat menyebabkan respon otot telinga telinga yang berlebihan yang berujung pada disfungsi atau cedera otot dan inflamasi. Proses inflamasi tersebut dapat meluas ke membran timpani dan mukosa telinga tengah.
Disfungsi otot menyebabkan refleks akustik yang berlebihan, aktif bahkan pada paparan suara dengan intensitas lebih rendah atau bahkan pada suara yang tidak diantisipasi akibat refleks kaget (startle reflex). Kontraksi berlebihan tersebut menyebabkan rasa tegang pada telinga dan mengganggu susunan rangkaian osikel.
Inflamasi pada telinga tengah dapat memperparah tinitus yang terjadi akibat cedera suara pada telinga dalam. Selain itu, inflamasi menyebabkan hiperaktivitas nervus trigeminal yang menginervasi mukosa telinga tengah dan membran timpani. Inflamasi dan aktivitas nervus trigeminus menyebabkan otalgia.
Pada beberapa kasus yang lebih jarang, hiperaktivitas nervus trigeminus dapat mengaktivasi refleks trigeminal-autonom. Manifestasi yang ditimbulkan dapat berupa sefalgia, nyeri leher, rhinorrhea, dan kongesti nasal.[5]
Patofisiologi Cedera Suara
Kerusakan pada trauma akustik akut bervariasi, mulai dari distorsi sel rambut stereosilia, rupturnya membran Reissner, hingga terlepasnya organ Corti yang berujung pada degenerasi dan jaringan parut. Selain itu, koneksi sinaps antara sel rambut dengan ganglion spiral juga dapat terganggu.[1,4]
Kerusakan akibat paparan suara terjadi terutama pada sel sensori yang berfungsi merespon terhadap suara frekuensi tinggi, terutama 4 kHz. Untuk itu, tuli pada frekuensi ini merupakan tanda pertama dari gangguan pendengaran akibat suara. Apabila derajat penurunan pendengaran bertambah, frekuensi lain juga ikut terganggu.[1]
Secara umum noise induced hearing loss (NIHL) memiliki prinsip equal energy yang menyatakan jumlah energi yang sama akan menimbulkan tingkat kerusakan yang sama pula. Kerusakan koklea pada pasien dengan paparan terhadap suara intensitas tinggi dalam periode yang singkat, akan setara dengan pasien yang terpapar suara intensitas lebih rendah untuk periode yang lebih panjang.[2]
Kerusakan Mekanik
Kerusakan mekanik bisa timbul apabila terdapat paparan terhadap suara di atas 130dB. Paparan tersebut menyebabkan disasosiasi organ Corti dari membran basal, terganggunya hubungan antar sel, dan tercampurnya cairan endolimfe dan perilimfe.[2]
Dekompensasi Metabolik
Beberapa menit setelah paparan terhadap suara penyebab trauma, terjadi dekompensasi metabolik berupa bengkaknya nuklei dan mitokondria, serta vesikulasi dan vakuolisasi sitoplasma, sehingga terlihat edema pada stria vaskularis yang dapat menetap hingga beberapa hari.
Pada dekompensasi metabolik juga terjadi kerusakan pada stereosilia, terutama pada bagian akar. Dengan hilangnya stereosilia, sel rambut akan mati, yang berujung pada degenerasi Wallerian dan hilangnya serabut saraf auditori primer.[2,4]
Dekompensasi metabolik terjadi akibat pembentukan radikal bebas atau reactive oxygen species (ROS) dan eksitotoksisitas glutamat. ROS mulai terdeteksi segera setelah paparan suara dan bertahan hingga 7-10 hari, menyebar dari bagian basal organ Corti.
Glutamat merupakan neurotransmitter eksitatori yang bekerja pada sinapsis antara sel rambut dalam dan nervus kranialis VIII. Tingginya kadar glutamat memicu eksitositoksisitas glutamat, yaitu proses stimulasi berlebihan pada sel post sinaps dan pembesaran badan sel dan dendrit.[2]
Respon Sistemik
Pada tingkat sistemik, paparan suara berlebihan menginduksi stres fisiologi dan psikologi melalui aksis hipotalamus-pituitari-adrenal yang memodulasi sensitivitas sistem auditori. Pada tikus percobaan yang tidak memiliki reseptor corticotropin-releasing factor pada koklea, didapatkan kegagalan homeostasis dan perlindungan terhadap trauma suara.[2]
Temporary Threshold Shift
Pada Temporary Threshold Shift (TTS), perbaikan pendengaran akan terjadi dalam 24-48 jam setelah awitan. Meskipun demikian, bukti pada hewan percobaan menunjukkan pasien TTS memiliki risiko penurunan pendengaran lebih dini dengan progresivitas lebih cepat saat tua.[2]
Perbaikan pada TTS diduga disebabkan oleh proses reversibel dari terlepasnya sel rambut luar stereosilia dari membran tektorial atau model peningkatan central gain. Model central gain merupakan peningkatan amplifikasi neuron pada sistem auditori pusat sebagai kompensasi dari rusaknya input sensori dari koklea. Adanya kompensasi tersebut merupakan salah satu mekanisme yang diduga menyebabkan hiperakusis dan tinitus.[2,6]
Perlu diketahui, meskipun ambang batas pada pemeriksaan audiometri nada murni kembali normal pada TTS, terdapat kerusakan pada ribbon synapses yang biasa disebut dengan sinaptopati. Ribbon synapses merupakan sinapsis unik pertemuan antara sel rambut telinga dengan neuron.[2,7]
Sinaptopati terjadi pada fase akut trauma di mana terdapat kerusakan koneksi antara sel rambut dalam dan neuron aferen. Eksitotoksisitas glutamat diperkirakan sebagai penyebab dari sinaptopati, yang merusak terminal post sinapsis. Fenomena ini disebut juga sebagai noise-induced hidden hearing loss, karena tidak ditemukan adanya perubahan ambang batas pada audiometri nada murni. Kelainan akibat sinaptopati dapat terdeteksi melalui speech recognition test (SRT).[2]
Permanent Threshold Shift
Karakteristik Permanent Threshold Shift (PTS) adalah hilangnya sel rambut terutama pada basal turn atau putaran luar dari koklea. Hal ini berujung pada degenerasi nervus auditori. Perlu diingat bahwa, sama seperti sel sensori mamalia lainnya, sel rambut tersebut tidak dapat beregenerasi.[2]