Pendahuluan Balanoposthitis
Balanoposthitis adalah peradangan pada kelenjar penis dan preputium. Balanisis adalah peradangan pada glans penis. Bila ada peradangan pada glans penis hingga preputium, keadaan tersebut dikatakan balanoposthitis. Menurut definisi, balanoposthitis tidak dapat terjadi pada pria yang telah sirkumsisi, walaupun balanitis (radang pada penis kelenjar) dapat terjadi.[1]
Patofisiologi balanoposthitis mencakup patofisiologi spesifik dan nonspesifik. Balanoposthitis spesifik tergantung dari penyebabnya, yaitu proses inflamasi, alergi, infeksi, autoimun, atau sekunder akibat trauma dan keganasan. Balanoposthitis nonspesifik sering terjadi akibat proses kelembaban yang terjadi di area genital sebagai akibat dari keringat, urin, atau smegma yang terdapat di preputium.[2]
Diagnosis balanoposthitis ditegakkan berdasarkan gejala seperti gatal dan nyeri pada ujung penis. Gejala diperkuat dengan riwayat sosial, riwayat medis, dan riwayat penggunaan obat dari pasien. Pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh untuk mencari faktor resiko atau bukti adanya balanoposthitis, misalnya kulit preputium yang belum disirkumsisi, ruam kemerahan, reaksi inflamasi, atau temuan-temuan seperti psoriasis, vitiligo, dan kutil kelamin. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menentukan penyebab spesifik dari balanoposthitis seperti pemeriksaan mikrobiologi, virologi, pemeriksaan kalium hidroksida (KOH), hingga biopsi.[3]
Penatalaksanaan balanoposthitis mencakup penatalaksanaan secara umum dan khusus sesuai kondisi yang mendasarinya. Penatalaksanaan secara umum seperti pemberian antibiotik topikal, anti jamur, obat-obatan sistemik (bila memiliki komorbiditas atau infeksi sistemik), menghindari bahan alergen, dan membersihkan area genital dengan water of the sulfates, dan sirkumsisi. Penatalaksanaan secara khusus yaitu mengobati secara spesifik penyebab balanoposthitis. Kondisi penyebab spesifik harus diidentifikasi dan diobati secara agresif.[2]
Balanoposthitis yang berulang pada orang dewasa terutama lanjut usia harus meningkatkan kecurigaan terhadap diabetes yang tidak terdeteksi. Pasien dengan episode berulang harus menjalani skrining glukosa darah untuk diabetes.[5]