Beberapa klinisi mempercayai bahwa pemberian kortikosteroid pada infeksi dengue tahap awal akan mencegah perkembangan menjadi penyakit yang lebih berat, dan pemberian pada pasien dengue dengan syok akan meningkatkan kesintasan. Meski demikian, tindakan ini tidak didasarkan pada basis bukti adekuat.[1]
Dengue merupakan penyakit demam akut mosquito-borne, yang disebabkan oleh flavivirus dengan empat serotipe berbeda yaitu DENV-1 sampai 4. Infeksi dengue bisa berupa demam dengue, demam berdarah dengue (DBD), dan bentuk paling parah yakni dengue shock syndrome (DSS). Patomekanisme infeksi dengue melibatkan disregulasi respon imun, sehingga pemberian kortikosteroid sebagai modulator sistem imun diduga bisa bermanfaat.[2,3]
Teori Mengenai Manfaat dan Mekanisme Aksi Kortikosteroid dalam Infeksi Dengue
Patogenesis infeksi dengue dipercaya berkaitan dengan mekanisme imunologi. Sitokin proinflamasi yang dihasilkan pada infeksi dengue berhubungan dengan gangguan hemodinamik dan koagulasi yang akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas vaskular, kebocoran plasma, dan pada akhirnya syok hipovolemik.
Penggunaan kortikosteroid dipercaya dapat memodulasi sistem imun, sehingga mencegah kerusakan terkait reaksi imunologi pada infeksi dengue, termasuk dengue shock syndrome (DSS), karditis, asites, gangguan ginjal dan hepar, ensefalitis, dan perdarahan. Pemberian kortikosteroid dilaporkan mampu mencegah maturasi dan diferensiasi sel dendritik, mensupresi sel T dan sel B, dan menginhibisi gen proangiogenik, yang pada akhirnya akan mengurangi keparahan infeksi dengue.[2-4]
Belum Cukup Bukti Untuk Mendukung Penggunaan Kortikosteroid pada Infeksi Dengue
Tinjauan sistematik Cochrane menilai efektivitas kortikosteroid dalam pengobatan demam dengue, baik pada tahap awal infeksi maupun pada pasien dengan syok terkait dengue. Sebanyak 8 uji klinis acak terkontrol dengan 948 peserta dianalisis.
Tinjauan ini menunjukkan bahwa tidak ada cukup bukti untuk mendukung manfaat kortikosteroid dalam mencegah kematian, perkembangan syok, atau komplikasi berat seperti perdarahan hebat, trombositopenia berat, atau kebutuhan perawatan intensif. Bukti yang tersedia memiliki kualitas rendah hingga sangat rendah, dengan keterbatasan metodologi dan data yang tidak memadai untuk menarik kesimpulan yang pasti.[1]
Adakah Bukti Efikasi Kortikosteroid Pada Berbagai Tahap Infeksi Dengue?
Sebuah tinjauan oleh Bandara et al mencoba menganalisis manfaat pemberian kortikosteroid dalam berbagai tahap infeksi dengue. Dalam analisisnya, Bandara et al membagi infeksi dengue dalam 3 tahap yaitu:
Preliminary stage atau tahap awal infeksi dengue merupakan periode sejak onset gejala dengue muncul hingga sebelum memasuki tahap kebocoran plasma.
- Tahap intermediata dengue merupakan periode fase kritis dimana sudah terjadi kebocoran plasma, hingga waktu sebelum memasuki tahap berat atau late stage(dengue shock syndrome / DSS).
- Tahap lanjut infeksi dengue merupakan tahap yang sudah memasuki syok atau dikenal dengan DSS.[3]
Preliminary Stage:
Dalam tinjauan ini, beberapa studi menunjukkan bahwa penggunaan prednisolone oral pada preliminary stage tidak memberi manfaat klinis yang signifikan dalam mencegah komplikasi dengue atau mengurangi kebocoran plasma. Namun, satu studi dengan dosis tunggal methylprednisolone intravena (IV) menunjukkan potensi manfaat dalam mengurangi risiko syok hingga 43%. Sementara itu, tidak ditemukan efek signifikan terhadap pemanjangan viremia atau peningkatan trombosit setelah pemberian dexamethasone.[3]
Tahap Intermediata:
Pada infeksi dengue tahap intermediata, tinjauan ini menunjukkan bahwa pemberian hydrocortisone IV dapat mempercepat pemulihan pasien dengan DBD derajat I dan II. Salah satu studi dengan regimen hydrocortisone IV 50 mg 4 kali sehari selama 3 hari menunjukkan bahwa 92% pasien membaik dalam 72 jam. Meski demikian, tidak ada bukti dari uji klinis yang cukup besar untuk mendukung penggunaan rutin kortikosteroid dalam fase ini.[3]
Tahap Lanjut:
Pada infeksi dengue tahap lanjut, tinjauan ini mengevaluasi sebuah studi observasional retrospektif yang menemukan manfaat pemberian methylprednisolone 1 gram dosis tunggal pada pasien dewasa yang didiagnosis DSS. Pemulihan dalam aspek hematologis, lama rawat inap, maupun morbiditas dilaporkan mengalami perbaikan signifikan pada grup yang diberikan kortikosteroid.
Meski demikian, penelitian lain yang ditinjau tidak menemukan manfaat signifikan terhadap mortalitas atau komplikasi pada pasien DSS yang mendapat methylprednisolone atau hydrocortisone dosis tinggi. Oleh karena itu, meski ada indikasi potensial manfaat Pemberian kortikosteroid pada infeksi dengue tahap lanjut, bukti yang ada belum cukup kuat untuk merekomendasikan penggunaannya secara rutin.[3]
Penggunaan Kortikosteroid pada Infeksi Dengue Menurut Pedoman Klinis
Pedoman klinis penatalaksanaan infeksi dengue yang dipublikasikan oleh WHO tidak merekomendasikan penggunaan kortikosteroid secara rutin karena masih kurangnya basis bukti. Pedoman WHO tetap bertumpu pada terapi cairan dan terapi suportif untuk penatalaksanaan infeksi dengue. Kortikosteroid bisa dipertimbangkan pada kasus di mana pasien mengalami ensefalopati, yang mana pemberian bertujuan untuk menurunkan tekanan intrakranial.[5,6]
Senada dengan WHO, pedoman penanganan infeksi dengue oleh CDC juga tidak merekomendasikan penggunaan rutin kortikosteroid. Menurut CDC, kortikosteroid tidak memberikan manfaat yang jelas dan malah membawa potensi harm bagi pasien. Pemberian steroid dapat dipertimbangkan pada kasus di mana terjadi autoimmune-related complication, seperti hemophagocytic lymphohistiocytosis dan immune thrombocytopenia purpura.[7]
Kesimpulan
Tidak ada basis bukti adekuat yang mendukung manfaat pemberian kortikosteroid pada pasien dengan demam dengue. Kebanyakan studi yang menunjukkan manfaat penggunaan kortikosteroid pada infeksi dengue adalah studi lama, dengan jumlah sampel terbatas, dan memiliki risiko bias tinggi. Pedoman klinis yang ada juga tidak mendukung penggunaan rutin kortikosteroid, kecuali pada kondisi tertentu seperti adanya komplikasi ensefalopati dan immune thrombocytopenia purpura.
Direvisi oleh: dr. Bedry Qintha