Dalam penatalaksanaan luka kronik, berbagai faktor lokal maupun sistemik harus diperhatikan untuk membantu mencapai penyembuhan yang optimal. Luka kronik adalah luka yang tidak menyembuh sesuai dengan proses fisiologis dan anatomis yang normal, baik dalam hal tahapan maupun waktu penyembuhan. Luka dianggap sebagai kronik jika tidak menunjukkan perkembangan ke arah penyembuhan dalam 30 hari. Contoh luka kronik adalah ulkus diabetikum, ulkus vena, dan ulkus tekan.
Evaluasi Luka
Sebelum menentukan pilihan manajemen luka kronik yang sesuai, perlu dilakukan evaluasi luka. Hal yang perlu dievaluasi adalah mekanisme terjadinya luka, risiko kontaminasi, cedera struktur yang lebih dalam, defisit perfusi, status tetanus, gangguan fungsi, dan banyaknya jaringan yang hilang. Bila luka disebabkan oleh trauma, lakukan pemeriksaan penunjang seperti rontgen dan USG untuk menyingkirkan kemungkinan fraktur dan benda asing.[1,2]
Faktor-faktor seputar kesehatan pasien harus diperhatikan agar tata laksana bersifat holistik. Faktor ini mencakup adanya alergi, komorbiditas (misalnya diabetes), radioterapi, status merokok, nutrisi, dan konsumsi obat (misalnya kortikosteroid).
Compliance pasien penting dipertimbangkan, terutama untuk perawatan luka dengan metode tertentu, misalnya NPWT (negative pressure wound therapy). Penatalaksanaan disesuaikan dengan masalah spesifik setiap pasien.[3]
Misalnya, pasien dengan imobilisasi harus menjalani protokol perubahan posisi berkala atau menggunakan kasur khusus untuk mencegah atau menghambat progresi ulkus tekanan. Pada pasien dengan ulkus diabetikum di kaki, offloading dan kontrol gula darah merupakan aspek kunci terapi. Sementara terapi kompresi merupakan komponen penting pada pasien dengan ulkus vena.[3,4]
Prinsip TIME
Untuk membantu evaluasi dan tata laksana luka dengan pendekatan yang terstruktur, dikembangkanlah prinsip TIME. Awalnya, TIME adalah konsep mempersiapkan luka hingga kondisi optimal sebelum dilakukan penutupan luka dengan rekonstruksi oleh dokter bedah plastik. Pada perkembangannya, TIME dianggap relevan untuk menjadi pedoman perawatan luka secara sekunder.[1,2]
Untuk membantu tim multidisiplin mengevaluasi luka, dikembangkanlah CDST (clinical decision support tool) TIME yang meliputi pendekatan ABCDE sebagai berikut :
Assess: diagnosis pasien dan penilaian luka yang akurat
Bring: libatkan MDT (multidisciplinary team, tim multidisiplin)
Control: kontrol dan tata laksana penyebab sistemik
Decide: putuskan terapi yang sesuai
Evaluate: evaluasi hasil terapi dan tercapainya tujuan perawatan luka[4]
Tissue (Jaringan)
Aspek ini meliputi penilaian dan debridemen jaringan nekrotik, benda asing, materi dressing yang menempel, biofilm atau slough, eksudat, dan debris. Slough adalah jaringan nonviabel yang dapat memiliki warna dan tekstur bervariasi.[1,5]
Warna slough dapat berupa kuning krem, coklat, hingga abu. Tekstur bisa basah berserat atau tebal dan menempel. Unsur-unsur tersebut memberikan pengaruh negatif yang signifikan terhadap penyembuhan luka (kemajuan granulasi, kontraksi, dan epitelialisasi), menjadi potensi fokus infeksi, dan membangkitkan respon inflamasi.[1,5]
Keberadaan jaringan granulasi dan epitelialisasi luka juga turut dinilai. Granulasi dapat berupa jaringan abnormal yang rapuh dan mudah berdarah, dan dapat disertai pocketing atau bridging jaringan.[5]
Perkembangan data ilmiah terkini menunjukan pentingnya melakukan debridemen dan pembersihan luka repetitif. Metode debridemen yang dapat dipilih antara lain :
- Autolitik : Melembabkan jaringan nekrotik untuk didegradasi oleh enzim tubuh. Contoh: dressing oklusif atau semioklusif (hidrokoloid), hidrogel, saline hipertonik, dan sebagian antiseptik (perak atau produk berbasis iodine)
- Enzimatik : Menggunakan enzim eksogen untuk membantu kerja enzim endogen luka. Terapi ini bersifat spesifik tetapi bekerja dengan lambat, dan membutuhkan penggantian balutan yang cukup sering. Enzim yang digunakan adalah kolagenase atau papain
- Mekanik : Menggunakan irigasi tekanan tinggi atau dressing basah ke kering (dengan aplikasi kassa lembab pada luka untuk kemudian diangkat ketika sudah mengering). Bersifat nonspesifik, tetapi lebih cepat. Dapat menimbulkan nyeri dan merusak jaringan sehat
- Biologis : Mikrodebridemen selektif dengan menggunakan belatung atau larva yang steril. Spesimen yang dapat digunakan adalah Lucilia sericata, Phaenicia sericata, dan Lucilia cuprina
- Surgikal (bedah) : Merupakan metode debridemen secara tajam dengan scalpel dan gunting oleh dokter bedah yang berkompeten. Metode ini bersifat nonselektif serta berisiko menimbulkan perdarahan, kerusakan jaringan, dan nyeri
- Kimiawi : Debridemen menggunakan antiseptik seperti octenidine, perak, povidone iodine, chlorhexidine, dan PHMB (polyhexamethylene biguanide). Agen-agen ini dapat menimbulkan nyeri dan memiliki efek toksik terhadap jaringan sehat, tetapi dapat efektif bila digunakan untuk waktu singkat[1,5]
Pembersihan luka harus dilakukan secara berkala. Tidak ada rekomendasi yang mendukung larutan atau teknik irigasi tertentu. Larutan yang digunakan disarankan bersifat netral, misalnya cairan salin normal. Larutan toksik dan iritatif seperti hidrogen peroksida tidak disarankan. Air keran tertentu dapat digunakan untuk irigasi luka dan mengurangi infeksi, dengan keamanan sebanding air steril atau salin, tetapi harus hati-hati bila digunakan pada pasien immunocompromised.[1,2]
NPWT (negative pressure wound therapy) adalah penggunaan tekanan negatif pada luka yang ditutup dengan busa atau kassa. NPWT membantu drainase luka, mengurangi edema dan bioburden mikroorganisme, serta meningkatkan perfusi luka dan pembentukan granulasi, kontraksi, dan epitelialisasi. NPWT juga dapat melepaskan slough dan jaringan nekrotik sehingga membantu proses debridement.[1]
Infeksi dan Inflamasi
Inflamasi adalah respon fisiologis terhadap luka dan merupakan bagian dari tahapan penyembuhan luka. Namun proses inflamasi yang berlebih dapat menimbulkan efek buruk bagi pasien. Luka yang tidak melewati fase inflamasi menunjukkan aktivitas MMP (matrix metalloproteinase) dan elastase yang meningkat.
Degradasi berkepanjangan terhadap matriks ekstraseluler dan penekanan faktor pertumbuhan akan menghambat penyembuhan luka. Keberadaan biofilm juga menghalangi downregulation respon imun. Penanganan inflamasi akan membantu penyembuhan jaringan serta mengurangi eksudat dan bioburden. [1]
Evaluasi penting dilakukan untuk mengenali penyebab luka, adanya infeksi (dan inflamasi noninfeksius berkepanjangan), serta perlunya antiseptik topikal dan atau antibiotika sistemik. Inflamasi noninfeksi dapat disebabkan oleh penyakit autoimun (misal lupus eritematosus sistemik, rheumatoid arthritis, vaskulitis, skleroderma) atau kondisi inflamasi lain (misal pyoderma gangrenosum pada pasien inflammatory bowel disease). [1]
Pengenalan infeksi penting terutama pada pasien dengan kondisi umum buruk atau immunocompromised. Bila keseimbangan bakteri dapat ditangani secara topikal, antibiotika sistemik tidak diperlukan. [5]
Bioburden :
Bioburden mikroba pada luka dapat berupa kontaminasi, kolonisasi, kolonisasi kritis, serta infeksi lokal dan sistemik.
- Kontaminasi : bakteri tidak berkembang biak dan menyebabkan masalah klinis
- Kolonisasi : bakteri berkembang biak, tetapi tidak merusak jaringan
- Kolonisasi kritis atau infeksi lokal : bakteri berkembang biak hingga mengganggu penyembuhan luka dan merusak jaringan. Kemungkinan besar terdapat biofilm pada dasar luka
- Infeksi menyebar : bakteri menyebar dan menimbulkan masalah pada jaringan sehat sekitar luka (selulitis, limfangitis, eritema)
- Infeksi sistemik : bakteri menyebar dan menimbulkan infeksi di seluruh tubuh (respon inflamasi sistemik, sepsis, hingga disfungsi organ) [1]
Biofilm :
Biofilm adalah komunitas mikroba kompleks yang terdiri dari bakteria di dalam matriks protektif gula dan protein (glikokaliks). Biofilm melindungi mikroorganisme yang berada di dalamnya, meningkatkan ketahanan terhadap sistem imunitas tubuh, antimikroba, dan stres lingkungan.
Biofilm merupakan faktor pendukung signifikan terhadap proses inflamasi persisten pada luka kronik. Biofilm yang sudah matur dapat melepaskan fragmen biofilm dan mikrokoloni yang dapat menyebarkan proses infeksi.
Keberadaan biofilm tidak dapat dideteksi secara klinis maupun laboratorium, bahkan dengan pemeriksaan mikrobiologi klinis standar. Indikator klinis yang paling memungkinkan hanyalah progresi penyembuhan luka dengan berkurangnya eksudat dan slough.[1]
Tata laksana terhadap biofilm mencakup debridemen agresif berulang, antibiotika sistemik dosis tinggi durasi panjang bila diperlukan, dan kombinasi agen antibakterial untuk mencegah pembentukan ulang biofilm.
Debridemen tajam merupakan metode terbaik untuk membuang biofilm. Bakteri dapat membentuk kembali biofilm 3 hari setelah debridemen, sehingga perlu dilakukan rutin untuk mengurangi potensi rekurensi.[1,4]
Antimikroba :
Antimikroba terdiri dari disinfektan, antiseptik, dan antibiotika. Sensitivitas mikroba harus didiagnosis dengan biopsi jaringan atau kultur apus untuk menentukan terapi antimikroba yang sesuai. Dengan meningkatnya resistensi terhadap antibiotika, antiseptik topikal adalah metode yang lebih dipilih untuk mengontrol bioburden luka.
Agen topikal spektrum luas yang dapat digunakan antara lain perak, iodine, dan PHMB (polyhexamethylene biguanide). Pemberian dilanjutkan selama 2 minggu kemudian dievaluasi ulang. Antibiotika topikal tidak direkomendasikan.[1]
Moisture
Berbeda dengan luka kronik, cairan luka akut kaya akan leukosit dan nutrient. Luka kronik memiliki kadar protease, sitokin proinflamasi, dan MMP yang tinggi.[1,4,5]
Hal ini menyebabkan aktivitas proteolisis yang tinggi sehingga merusak dasar luka, penurunan TIMP (tissue inhibitor MMP), mengganggu kerja faktor pertumbuhan, mendegradasi matriks ekstraseluler, merusak integritas kulit sekitar luka, memperpanjang proses inflamasi, menurunkan pH luka, dan menghambat penyembuhan luka.[1,4,5]
Pembentukan eksudat yang berlebih atau insufisien memberikan pengaruh buruk terhadap penyembuhan luka. Kelembaban yang sesuai dibutuhkan untuk kerja faktor pertumbuhan, sitokin, dan migrasi sel. Kelembaban meningkatkan laju epitelialisasi hingga dua kali lipat.[1,3]
Eksudat berlebih akan merusak kulit sekitar luka dan meningkatkan risiko infeksi, sementara eksudat yang terlalu sedikit menghambat aktivitas sel dan berujung pada pembentukan eschar. Luka yang kering dan dehidrasi akan menimbulkan nyeri dan gatal.
Keropeng kering juga menghambat penyembuhan luka karena epitel tidak dapat bermigrasi melalui jaringan kering. Keropeng juga menyebabkan hasil estetik suboptimal.
Pembentukan biofilm diasosiasikan dengan manajemen eksudat yang buruk, karena eksudat merupakan sumber nutrisi potensial bagi biofilm. [1,3,5]
Karakteristik volume dan viskositas eksudat harus dievaluasi untuk memilih dressing yang tepat. Eksudat dapat bersifat :
Serous : jernih tanpa darah, pus, debris
Sanguinous : berdarah
Serosanguinous : darah bercampur cairan jernih
- Purulen : pus berwarna kehijauan atau kekuningan, lengket, kental, berbau[5]
Eksudat berlebih diatasi dengan dressing absorptif atau NPWT (negative pressure wound therapy). Sementara luka yang kering ditangani dengan dressing yang meningkatkan kelembaban.[1-3]
Dressing yang ideal harus dapat mempertahankan kelembaban yang sesuai, mencegah maserasi atau desikasi dasar luka, mencegah kontaminasi, membatasi pertumbuhan bakteri, tidak bulky, tidak nyeri ketika diganti, nyaman dikenakan, menghilangkan bau, tidak perlu sering diganti, mudah dipasang dan dilepaskan, serta memiliki harga terjangkau.[1-3]
Edge of Wound (Tepi Luka)
Penilaian tepi luka (kemajuan epitelisasi), adanya undermining tepi luka, dan kondisi kulit sekitar luka menandakan efikasi perawatan luka serta kemajuan kontraksi dan epitelialisasi. Majunya epitelialisasi adalah tanda penyembuhan luka yang paling jelas. Setelah 2-4 minggu, area luka seharusnya berkurang 20-40%. Tepi luka yang menebal (hiperkeratosis dan callus) akan memperlambat kontraksi dan epitelialisasi luka. [1,3,5]
Modalitas terbaru yang bertujuan meningkatkan kemajuan penyembuhan luka antara lain EMT (terapi elektromagnetik), laser, ultrasound, terapi oksigen sistemik, dan NPWT.[1]
Aspek Lain
Intervensi bedah mungkin dibutuhkan untuk menghilangkan jaringan nekrotik, penilaian struktur yang lebih dalam, dan rekonstruksi penutupan defek. Tindakan bedah diindikasikan bila penyembuhan luka lambat, terdapat komplikasi infeksi rekuren, atau penampilan estetik tidak optimal. Debridemen dapat dilakukan di ruangan rawat bila intervensi luka tidak menimbulkan nyeri atau pasien memiliki komorbiditas multipel sehingga berisiko tinggi bila dilakukan anestesi umum.[3]
Masalah psikososial juga merupakan isu yang umum terjadi pada pasien dengan luka kronik. Stres dan kegelisahan sering dialami oleh pasien luka kronik, biasanya disebabkan oleh nyeri (terutama saat penggantian balutan), penampilan luka, bau tidak sedap, dan durasi penyembuhan yang lama.[1,4]
Pasien dilibatkan dalam manajemen luka dengan edukasi dan pengambilan keputusan terapi. Terapi nonfarmakologis dapat digunakan untuk membantu meringankan nyeri, misalnya terapi perilaku kognitif, hipnosis, akupuntur, distraksi, dan meditasi.[1,4]
Kesimpulan
Luka kronik misalnya ulkus diabetikum, ulkus vena, dan ulkus tekan, memerlukan tata laksana yang holistik. Pemilihan tata laksana haruslah spesifik terhadap masalah klinis masing-masing pasien.
Sebelum menentukan pilihan tata laksana yang sesuai, perlu dilakukan evaluasi luka termasuk mekanisme terjadinya luka, risiko kontaminasi, cedera struktur yang lebih dalam, defisit perfusi, status tetanus, gangguan fungsi, dan banyaknya jaringan yang hilang. Bila terjadi trauma, dapat dilakukan rontgen dan USG. Compliance pasien juga perlu dipertimbangkan,
Prinsip TIME dapat digunakan untuk membantu evaluasi dan tata laksana luka. Prinsip TIME terdiri dari tissue, infection and inflammation, moisture, dan edge of wound. Selain itu, aspek estetik, kenyamanan pasien, dan masalah psikososial juga harus dipertimbangkan.