Beberapa studi mengungkapkan pasien rekurensi COVID-19 dengan hasil uji RT-PCR (Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction) SARS-CoV-2 yang positif, pada proporsi pasien yang telah dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang dari perawatan. Situasi terkini pandemi COVID-19 menunjukkan bahwa terdapat peningkatan jumlah pasien COVID-19 yang dinyatakan sembuh dan memerlukan pemantauan klinis lanjutan.[1-3]
Fenomena ini menjadi tantangan yang serius bagi rumah sakit dan dokter dalam menentukan kriteria pemulangan pasien secara aman, dengan tingkat risiko penyebaran setelah pemulangan yang minimal. Hasil RT-PCR SARS-CoV-2 yang kembali positif pada pasien yang telah dinyatakan sembuh berpotensi menimbulkan perawatan berulang di rumah sakit, peningkatan beban biaya kesehatan, serta dampak terhadap kualitas hidup pasien. Artikel ini akan membahas bukti mutakhir mengenai tingkat kejadian pasien yang memiliki hasil RT-PCR SARS-CoV-2 positif setelah dinyatakan sembuh dari COVID-19, faktor risiko rekurensi COVID-19, karakteristik klinis pasien yang mengalami rekurensi COVID-19, serta implikasi klinis dari rekurensi COVID-19.
Tingkat Kejadian Hasil PCR Kembali Positif pada Pasien Sembuh dari COVID-19
Tingkat kejadian hasil RNA kembali positif pada pasien yang telah dinyatakan sembuh dari COVID-19 bervariasi antara 7,6−100%. Variasi tingkat kejadian yang lebar tersebut sangat dipengaruhi oleh jumlah dan karakteristik partisipan yang dilibatkan dalam penelitian, serta kriteria diagnosis dalam menentukan rekurensi hasil RNA SARS-CoV-2 positif. Temuan hasil RNA SARS-CoV-2 yang kembali positif pada pasien yang telah dinyatakan sembuh atau dipulangkan dari rumah sakit pasca perawatan COVID-19 pada awalnya diketahui berdasarkan adanya laporan kasus atau serial kasus dari sejumlah pusat penanganan COVID-19 di Tiongkok. Namun, fenomena ini semakin banyak dipelajari untuk mengetahui penyebab, faktor risiko, dan karakteristik klinis pasien yang berpotensi mengalami rekurensi COVID-19.[1,3,5,6]
Pasien Sembuh dari COVID-19 dengan Gejala Ringan dan Sedang
Lan Lan et al mengungkapkan tentang adanya pasien yang menunjukkan hasil RT-PCR SARS-CoV-2 kembali positif setelah dianggap memenuhi kriteria pemulangan pasien, atau penghentian karantina COVID-19. Dalam pengamatan mereka, Lan Lan menerapkan kriteria bebas gejala, perbaikan gambaran radiologis, dan hasil RT-PCR negatif sebanyak 2 kali berturut-turut sebagai kriteria pemulangan pasien. Seluruh hasil RT-PCR pasien (n=4) yang telah dipulangkan tersebut kembali positif (100%) antara 5−13 hari pasca pemulangan, yang mengisyaratkan bahwa para pasien masih berpotensi menjadi pembawa virus. Selama masa pemantauan pasca pemulangan, seluruh pasien yang kembali memiliki hasil RT-PCR SARS-CoV-2 positif tersebut tidak menunjukkan gejala baru maupun perubahan gambaran radiologis berdasarkan CT-Scan. Penelusuran kontak dalam keluarga juga tidak menunjukkan adanya kontak antara pasien dengan orang bergejala selama masa pemantauan pasca rawat inap, serta tidak ada anggota keluarga yang terbukti mengalami infeksi SARS-CoV-2.[2]
Penelitian Lan Lan tersebut di atas memiliki sejumlah keterbatasan, seperti jumlah sampel yang kecil serta karakteristik pasien yang didominasi dengan manifestasi gejala yang ringan atau sedang. Hasil penelitian ini perlu ditafsirkan secara hati-hati khususnya pada populasi dengan manifestasi klinis COVID-19 yang berat. Selain itu, seluruh partisipan dalam penelitian tersebut merupakan tenaga medis profesional, yang mungkin memiliki pemahaman dan kepatuhan yang lebih baik dibandingkan masyarakat awam terkait prinsip isolasi mandiri serta pencegahan dan pengendalian infeksi. Dengan demikian, penelitian kohort longitudinal lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih besar, dengan karakteristik klinis lebih bervariasi, serta melibatkan pasien yang merupakan masyarakat awam, diperlukan untuk menentukan tingkat kejadian hasil RNA SARS-CoV-2 kembali positif pada pasien yang telah dinyatakan sembuh dari COVID-19.[2]
Pasien Sembuh dari COVID-19 dengan Gejala Berat dan Kritis
Sementara itu, Chen et al melakukan sebuah studi untuk mempelajari perjalanan klinis dan faktor risiko pada pasien yang mengalami hasil RT-PCR SARS-CoV-2 positif setelah memenuhi kriteria pemulangan dari rumah sakit. Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif dan merekrut 1087 pasien COVID-19 yang terkonfirmasi berdasarkan RT-PCR di sebuah rumah sakit di Hubei. Dari 1087 partisipan tersebut, proporsi kasus COVID-19 dengan derajat keparahan biasa, berat, dan kritis masing-masing sebesar 83%, 13%, dan 4%. Dari 1067 pasien yang memenuhi kriteria pemulangan, sebanyak 7,6% pasien menunjukkan hasil RT-PCR kembali positif selama periode isolasi pasca pemulangan. Pasien yang mengalami rekurensi hasil RT-PCR positif pasca pemulangan memiliki median usia 62 tahun dan didominasi oleh jenis kelamin wanita. Stratifikasi keparahan penyakit COVID-19 pada pasien yang mengalami rekurensi hasil RT-PCR positif menunjukkan bahwa 84% pasien memiliki derajat keparahan biasa, 15% dengan derajat keparahan berat, dan 1% dengan derajat keparahan kritis.[7]
Analisis lanjutan yang dilakukan oleh Chen et al mengungkapkan adanya dinamika yang unik antara onset COVID-19 dan waktu kejadian rekurensi pada pasien yang mengalami hasil RT-PCR kembali positif pasca pemulangan dari rumah sakit. Peneliti menemukan bahwa median durasi antara hari pemulangan hingga rekurensi adalah 9 hari, median durasi sejak onset penyakit sampai pasien dinyatakan positif COVID-19 berdasarkan RT-PCR adalah 11 hari, durasi antara onset penyakit hingga onset RNA dinyatakan negatif dua kali adalah 33 hari, dan durasi antara onset penyakit hingga rekurensi mencapai 50 hari. Data tersebut menunjukkan bahwa terdapat risiko pasien akan mengalami rekurensi hingga 2 bulan sejak onset penyakit kendati pasien telah dinyatakan sembuh berdasarkan hasil RT-PCR negatif dua kali. Selain itu, pasien yang berisiko mengalami rekurensi hasil RT-PCR kembali positif setelah dinyatakan negatif berpotensi memperpanjang masa isolasi mandiri hingga 90 hari, atau bahkan menyebabkan pasien mengalami perawatan ulang.[7]
Hasil penelitian Chen et al di atas memberikan informasi yang lebih luas terkait kejadian rekurensi hasil RT-PCR SARS-CoV-2 positif pada pasien yang telah dinyatakan negatif, tetapi dengan beberapa keterbatasan. Pertama, penelitian dilakukan pada sebuah rumah sakit di Tiongkok sehingga demografi pasien mungkin kurang representatif bagi populasi umum, khususnya populasi negara lain. Bias seleksi terkait pemilihan sampel secara konsekutif dan faktor-faktor risiko yang teridentifikasi tentu dapat mempengaruhi luaran klinis yang diamati. Kedua, pengambilan spesimen RT-PCR berulang yang dilakukan selama penelitian hanya menggunakan spesimen swab tenggorok. Hal ini berpotensi menyebabkan adanya hasil negatif palsu, khususnya pada pasien yang masih mungkin mengalami bersihan virus pada organ lain, seperti pada pasien COVID-19 dengan gejala gastrointestinal. Oleh sebab itu, kohort prospektif yang dilakukan pada lebih dari satu fasilitas kesehatan dengan protokol pengambilan sampel RT-PCR pada lebih dari satu sistem organ diperlukan untuk memberikan gambaran mengenai hubungan karakteristik klinis, faktor risiko, dan temuan pemeriksaan mikrobiologi terhadap kejadian rekurensi COVID-19.[7]
Faktor Risiko Rekurensi COVID-19
Penelitian yang mempelajari faktor risiko rekurensi COVID-19 masih sangat terbatas. Desain penelitian yang ideal untuk mengungkap faktor risiko rekurensi COVID-19 adalah sebuah kohort prospektif, multisenter, yang melibatkan partisipan dengan karakteristik klinis COVID-19 dari tingkat keparahan yang beragam, serta demografi yang bervariasi. Selain itu, data klinis yang mencakup anamnesis, pemeriksaan fisis, dan radiologis yang relevan untuk COVID-19, serta informasi terkait tempat tinggal, pekerjaan, dan daftar kontak erat sangat penting untuk menjadi dasar penentuan individu yang berisiko terhadap transmisi COVID-19. Kemudian, kontak erat yang terdaftar juga perlu menjalani pemeriksaan RT-PCR SARS-CoV-2 untuk menentukan apakah individu tersebut terbukti terinfeksi SARS-CoV-2. Data tersebut dapat menjadi informasi yang penting dalam menentukan sumber rekurensi COVID-19 pada individu yang telah dinyatakan negatif.[7,8]
Hitung Limfosit, Kadar IL-6 Serum, dan Gambaran CT-Scan Paru
Chen et al meneliti faktor risiko pada pasien yang mengalami hasil RT-PCR SARS-CoV-2 positif setelah memenuhi kriteria pemulangan dari rumah sakit. Pada tahap analisis univariat, mereka menemukan bahwa peningkatan hitung limfosit dan kadar IL-6 serum, gambaran konsolidasi dan infiltrasi bilateral pada CT-Scan paru berpotensi sebagai faktor risiko rekurensi RT-PCR positif pada pasien dengan hasil RT-PCR dua kali negatif. Kemudian, analisis multivariat menunjukkan bahwa peningkatan hitung limfosit >1.1 x 108 /L, kadar IL-6 >10 pg/mL, dan gambaran konsolidasi pada CT-Scan toraks merupakan prediktor risiko independen terhadap rekurensi hasil RT-PCR positif. Secara khusus, pasien yang mengalami peningkatan hitung limfosit, kadar IL-6, dan konsolidasi pada CT-Scan toraks memiliki risiko rekurensi sebesar 2, 3, dan 1,6 kali lipat lebih besar dibandingkan pasien yang tidak memiliki faktor risiko tersebut.[7]
Karantina Mandiri di Rumah
Wang et al melakukan penelitian kohort retrospektif terhadap 131 pasien di Wuhan untuk mempelajari perjalanan klinis, risiko transmisi, dan perbaikan tata laksana pasien COVID-19 pasca pemulangan dari rumah sakit. Pada penelitian tersebut, data demografi dan karakteristik klinis partisipan dikumpulkan secara retrospektif berdasarkan informasi dari rekam medis. Kemudian, data pasca pemulangan terkait luaran klinis, lokasi isolasi mandiri, dan riwayat kontak erat pasien dikumpulkan dan ditindaklanjuti setiap minggu selama 4 minggu. Para peneliti menemukan bahwa 87% pasien melakukan karantina mandiri di rumah selama 2 minggu sejak kepulangan dari rumah sakit. Sebanyak 52% pasien kembali tinggal bersama keluarga dengan jumlah kontak erat mencapai 167 orang. Delapan pasien (6,1%) mengalami rekurensi RT-PCR SARS-CoV-2 positif pasca pemulangan dari rumah sakit. Pada akhir periode pemantauan selama 4 minggu, tidak ditemukan kasus yang dicurigai atau terkonfirmasi COVID-19 pada kontak erat.[8]
Walaupun demikian, studi Wang et al masih memiliki sejumlah keterbatasan. Pertama, penelitian tersebut belum mampu mengungkap risiko transmisi dari pasien yang telah dipulangkan pasca perawatan COVID-19, karena tidak dilakukan pemeriksaan RT-PCR pada individu kontak erat untuk mengkonfirmasi adanya transmisi dari pasien pasca pemulangan. Kedua, pemeriksaan RT-PCR yang dilakukan terhadap partisipan selama perawatan dan pasca pemulangan dari rumah sakit hanya mendeteksi 2 regio (ORF1b dan N) dari genom SARS-CoV-2 yang terdapat dalam sampel. Di satu sisi, identifikasi 2 regio atau lebih dari genom SARS-CoV-2 merupakan standar yang sesuai dengan pedoman WHO mengenai uji laboratorium pada pasien yang dicurigai terinfeksi SARS-CoV-2. Namun, isolasi virus tetap menjadi teknik pemeriksaan yang ideal dalam menentukan reinfeksi pada partisipan yang kembali mengalami hasil RT-PCR positif. Hal ini tidak mampu dilakukan atas pertimbangan isolasi virus bukan merupakan metode yang lazim digunakan dalam standar pelayanan diagnostik COVID-19, dan saat ini penggunaannya masih terbatas pada lingkup penelitian.[8]
Kemungkinan Hasil Positif Palsu
Sementara itu, sisi lain dari interpretasi hasil RT-PCR positif yang jarang dibahas adalah terkait adanya kemungkinan hasil positif palsu. Hasil positif palsu mungkin terjadi akibat perbedaan sensitivitas antar reagen RT-PCR SARS-CoV-2 berbeda yang menargetkan gen yang spesifik. Faktor lain yang berperan dalam perbedaan sensitivitas antar reagen yang digunakan mencakup kondisi reagen, sistem reaksi, dan adanya kontaminasi pada sampel. Akibatnya, sensitivitas deteksi RNA virus SARS-CoV-2 menggunakan teknik RT-PCR hanya memiliki sensitivitas antara 30−60%.[9]
Penelitian mengenai potensi tingkat hasil RT-PCR SARS-CoV-2 yang menunjukkan positif palsu masih sangat terbatas. Pujadas et al menemukan bahwa kesesuaian antara alat uji RNA komersial terhadap protokol modifikasi CDC mencapai 95,8%. Tingkat diskordans sebesar 4,2% sangat mungkin disebabkan oleh adanya perbedaan sekuens primer antara kedua alat maupun keterbatasan kemampuan deteksi setiap alat yang berbeda. Hal ini mengisyaratkan bahwa terdapat potensi ketidaksesuaian hasil yang mungkin dianggap positif oleh suatu alat uji RNA komersial sedangkan dianggap inkonklusif oleh uji protokol modifikasi CDC. Dengan belum adanya suatu protokol RT-PCR yang dianggap sebagai baku emas dalam penegakan diagnosis infeksi SARS-CoV-2, ketidaksesuaian antar protokol ini perlu dipertimbangkan sebagai salah satu penyebab hasil positif palsu pada pasien yang mengalami rekurensi RT-PCR SARS-CoV-2 positif setelah sebelumnya dianggap negatif.[10
Karakteristik Klinis Pasien yang Mengalami Rekurensi COVID-19
Bukti ilmiah yang mempelajari karakteristik klinis khas bagi pasien yang berpotensi mengalami rekurensi COVID-19 masih terbatas. Penelitian Chen et al mengungkap bahwa di antara pasien yang mengalami rekurensi RNA SARS-CoV-2 positif (81/1087; 7,6%) setelah kepulangan dari rumah sakit, faktor usia dan penyakit komorbid bukan merupakan karakteristik klinis yang signifikan terhadap rekurensi.[7]
Sementara itu, An et al mempelajari parameter klinis pasien yang mengalami rekurensi RNA SARS-CoV-2 kembali positif pasca pemulangan dari rumah sakit, dan menemukan bahwa rekurensi terjadi pada 38 dari 262 pasien (14,5%). Analisis retrospektif berdasarkan rekam medis pasien menunjukkan bahwa karakteristik usia <14 tahun dan derajat keparahan penyakit COVID-19 ringan-sedang menjadi gambaran dominan pasien yang mengalami rekurensi. Pasien yang mengalami rekurensi RNA SARS-CoV-2 positif juga memiliki gambaran remisi CT Scan toraks yang lebih lama dan interval waktu konversi RNA dari positif menjadi negatif yang lebih pendek dibandingkan pasien yang nonrekurensi. Pemantauan lanjutan terhadap pasien yang mengalami rekurensi RNA SARS-CoV-2 positif pasca pemulangan mengisyaratkan bahwa kelompok pasien ini tidak menunjukkan gejala klinis maupun progresivitas penyakit sebagaimana ditunjukkan oleh gambaran CT Scan toraks yang membaik dan kadar sitokin pro-inflamasi yang menurun.[11]
Dibandingkan penelitian Chen et al, data An et al menyiratkan bahwa usia muda dan derajat keparahan penyakit ringan-sedang mungkin berkaitan dengan probabilitas rekurensi RNA SARS-CoV-2 positif pasca pemulangan dari rumah sakit. Namun, kedua penelitian ini dibatasi oleh metodologi yang bersifat retrospektif, lokasi penelitian tidak bersifat multisenter, dan potensi bias seleksi berdasarkan cara pengumpulan sampel secara konsekutif yang dapat mempengaruhi luaran yang diteliti atau tingkat rekurensi.[7,11]
Terlepas dari segala kekurangan dalam kedua penelitian di atas, penelitian lebih lanjut untuk mempelajari karakteristik klinis yang dapat memprediksi risiko rekurensi hasil RNA SARS-CoV-2 perlu dilakukan. Petunjuk tentang adanya peran sistem imun yang dapat menekan tetapi tidak cukup kuat untuk eradikasi sempurna SARS-CoV-2 berdasarkan penelitian Chen et al mengungkapkan perlunya identifikasi faktor-faktor imunologis yang dapat berhubungan dengan tingkat rekurensi. Selain itu, keterkaitan antara data klinis saat pertama kali pasien dirawat dan ketika dipulangkan, data demografi dan sosial pasien, dan sekuens hasil RT-PCR RNA dapat pula dihubungkan dengan parameter imunologis sehingga didapatkan gambaran hubungan antara pejamu (pasien), agen (virus SARS-CoV-2), terhadap tingkat rekurensi RNA SARS-CoV-2 positif pasca pemulangan. [7,11]
Implikasi Klinis Rekurensi RNA SARS-CoV-2 Pasca Pemulangan
Rekurensi RNA SARS-CoV-2 pasca pemulangan dapat berdampak terhadap biaya kesehatan akibat perawatan COVID-19 dan kondisi psikis pasien. Ketika seorang pasien dinyatakan mengalami rekurensi RNA SARS-CoV-2 positif setelah dianggap negatif, Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) umumnya akan menganjurkan pemeriksaan lanjutan berupa asesmen ulang, pemeriksaan radiologi konvensional maupun lanjut, serta pemeriksaan laboratorium kembali terhadap pasien. Evaluasi ulang dengan komponen pemeriksaan klinis tersebut tentu menimbulkan beban biaya kesehatan yang besar, khususnya pada pasien yang tidak memiliki jaminan pembiayaan atau asuransi. Selain itu, pasien dengan rekurensi RNA SARS-CoV-2 positif yang memenuhi kriteria untuk rawat inap akan meningkatkan tingkat readmisi yang kemudian dapat berdampak terhadap eligibilitas klaim pembayaran terhadap penanggung biaya. Jika episode readmisi tidak dianggap memenuhi syarat untuk klaim, maka biaya kesehatan yang ditimbulkan akibat hasil RNA SARS-CoV-2 kembali positif tersebut akan memberikan dampak ekonomi yang signifikan terhadap pasien.[8,11]
Di sisi lain, sejumlah pasien memiliki kemampuan penyesuaian yang berbeda-beda terhadap lingkungan perawatan di rumah sakit maupun saat karantina mandiri pada era pandemi COVID-19. Stigma masyarakat terhadap individu dengan hasil RT-PCR positif yang masih kuat serta perasaan terisolasi akibat karantina mandiri dan rawat inap dapat menimbulkan beban mental pada pasien yang berisiko. Oleh sebab itu, identifikasi dan tata laksana faktor risiko stres dan depresi menjadi penting, khususnya bagi pasien yang kembali mengalami rekurensi RT-PCR kembali positif pasca pemulangan.[12-14]
Kesimpulan
Tingkat rekurensi hasil RNA SARS-CoV-2 kembali positif pada pasien yang telah dinyatakan sembuh dari COVID-19 sangat bervariasi, dan diduga dipengaruhi oleh faktor demografi dan karakteristik klinis pasien COVID-19. Bukti yang ada masih sangat kurang terkait faktor risiko yang dapat dianggap signifikan terhadap probabilitas rekurensi hasil RNA SARS-COV-2 pasca pemulangan atau karantina mandiri. Beberapa faktor risiko yang mungkin berperan dalam kejadian rekurensi RNA SARS-CoV-2 positif antara lain kadar sitokin IL-6, jumlah hitung limfosit, dan gambaran konsolidasi pada CT Scan toraks. Namun, hal ini perlu dibuktikan lebih lanjut dalam penelitian prospektif, multisenter, yang melibatkan partisipan dengan beragam usia serta derajat keparahan penyakit.
Di sisi lain, perbedaan kesesuaian hasil RT-PCR berdasarkan metodologi pemeriksaan yang menggunakan protokol yang berbeda-beda juga dapat berdampak pada interpretasi hasil RT-PCR positif. Belum adanya suatu protokol RT-PCR yang dianggap sebagai baku emas identifikasi RNA SARS-CoV-2 berpotensi menimbulkan kesulitan para dokter untuk menentukan hasil yang benar positif dari hasil yang positif palsu. Akibatnya, perbedaan interpretasi hasil positif antar metodologi RT-PCR yang berbeda dapat mengisyaratkan adanya kemungkinan hasil positif palsu yang kelak akan berdampak terhadap biaya kesehatan dan kondisi psikis pasien. Perlu diingat bahwa hasil RT-PCR bukan penentu pasien dinyatakan sembuh COVID-19, dan dapat kembali beraktivitas di masyarakat.