Studi menunjukkan manajemen nyeri kronis menggunakan prinsip pain relief ladder dari WHO sama efektifnya dengan pemberian langsung morfin, serta memiliki tingkat efek samping yang lebih rendah. Walau demikian, prinsip WHO ini juga memerlukan modifikasi berupa penyesuaian dengan tingkat nyeri pasien.
Nyeri kronis, termasuk nyeri kanker merupakan masalah yang timbul dan sangat mempengaruhi kualitas hidup. Nyeri kronis pada kanker juga merupakan masalah lintas dimensi yaitu pada dimensi fisik, emosi, sosial dan spiritual. Evaluasi nyeri pada awal diagnosis penting untuk dilakukan agar dapat menentukan tata laksana yang tepat. Numerical rating scale merupakan metode yang paling sering digunakan untuk evaluasi, metode lain adalah visual analog scale.[1]
Penatalaksanaan nyeri kronis harus dibedakan dengan penanganan nyeri akut. Penggunaan prinsip manajemen nyeri dengan anak tangga WHO dapat menjauhkan pasien dari penggunaan opioid yang tidak atau belum perlu serta mengurangi kemungkinan adanya efek samping dari opioid pada nyeri kronis.[2]
Prinsip Pain Relief Ladder dari WHO
Sejak tahun 1980-an WHO merekomendasikan penanganan nyeri kronis, khususnya kanker, adalah secara bertahap seperti menaiki anak tangga. Obat sebaiknya diberikan melalui rute per oral dan bila tidak memungkinkan maka dapat diberikan per rektal atau intravena. Obat diberikan sesuai dengan waktunya dengan atau tanpa timbulnya gejala nyeri.
Analgesik
Pemilihan pemberian obat analgesik diberikan melalui 3 tahap:
-
Tahap 1. Nonopioid, contoh: aspirin, obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS atau NSAID) dan paracetamol. Obat ajuvan dapat diberikan. Bila nyeri masih menetap atau bertambah maka naik ke tahap berikutnya
-
Tahap 2. Opioid lemah untuk nyeri ringan–sedang, contoh: codeine. Obat nonopioid dan/atau ajuvan dapat diberikan. Bila nyeri masih menetap atau bertambah maka naik ke tahap berikutnya. Obat yang umum diberikan di tahap 2 ini adalah codeine atau tramadol, baik yang dikombinasikan dengan paracatemol atau tidak
-
Tahap 3. Opioid untuk nyeri sedang-berat, contoh: morfin, methadone, patch buprenorphine, fentanyl sistem transdermal. Obat nonopioid dan/atau ajuvan dapat diberikan
Terapi Ajuvan
Terapi ajuvan atau terapi tambahan yang dapat diberikan berdasarkan kondisi klinis, antara lain:
- Sebagai tata laksana dari efek samping dari analgesik (contoh: antiemetik dan laksatif)
- Peningkatan efek dari antinyeri (contoh: kortikosteroid pada nyeri kompresi saraf)
-
Sebagai tata laksana dari gangguan psikologis (contoh: obat-obatan sedatif, ansiolitik dan antidepresan, cognitive behavioral therapy dan edukasi)[3]
Terdapat juga terapi alternatif yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut, misalnya akupuntur.
Panduan dari WHO ini masih dianggap sebagai patokan untuk penatalaksanaan nyeri kanker yang digunakan secara luas. Beberapa ahli berpendapat bahwa panduan ini tidak berbasis bukti, tetapi lebih mengarah kepada pendapat ahli dan kurangnya uji klinis acak. Kelemahan untuk tidak dilakukannya uji klinis acak pada hal ini adalah terkait masalah etis karena berhubungan dengan nyeri kanker (yang berhubungan erat dengan kualitas hidup).[4]
Bukti Ilmiah terkait Efektivitas Prinsip Pain Relief Ladder WHO
Pemberian obat analgetik sesuai dengan anak tangga WHO ataupun langsung diberikan morfin pada sebuah studi acak dengan 2 kelompok ditemukan efek penurunan nyeri dan peningkatan kualitas hidup yang tidak berbeda bermakna antar dua kelompok ini. Kejadian efek samping (seperti mual, muntah dan konstipasi) timbul lebih banyak pada kelompok yang langsung mendapatkan morfin. Tingkat kepuasan lebih tinggi pada kelompok yang langsung diberikan morfin, namun tidak berbeda bermakna dengan kelompok yang mengikuti anak tangga WHO.[5]
Modifikasi Prinsip Pain Relief Ladder WHO
Banyak praktisi yang pada kenyataannya tidak mengikuti panduan ini, seperti langsung memberikan opioid (tahap 3). Konsep ini timbul atas pertimbangan pemberian analgesik secara bertahap sering kali tidak cukup dan tidak efisien pada nyeri hebat.[6] Rekomendasi dari European Society for Medical Oncology (ESMO) Clinical Practice Guidelines tahun 2011 tentang nyeri pada kanker adalah pemberian analgesik dimulai sesuai dengan intensitas nyeri saat diagnosis pertama.[7]
Opioid Lemah vs Morfin Dosis Rendah untuk Ladder Tahap 2
Perdebatan timbul pada penggunaan obat pada tahap 2, yaitu opioid lemah. Kurang banyak pembuktian untuk efektivitas dari opioid lemah karena adanya efek pembatas (ceiling effect). Efek pembatas ini timbul saat peningkatan dosis tidak sesuai dengan penurunan intensitas nyeri.[3]
Morfin merupakan analgetik lini pertama pada nyeri kanker sedang–berat dan hal ini direkomendasikan oleh EAPC (European Association for Palliative Care). Banyak persepsi yang kurang tepat dari masyarakat mengenai penggunaan morfin, sehingga berdampak pada kurangnya dosis yang efektif dan efek terapeutik yang tidak tercapai. Efek samping seperti mengantuk, pusing atau gangguan kesadaran ringan dapat terjadi pada awal pemberian terapi morfin dan pada umumnya dapat hilang setelah dosis stabil. Efek samping lain yang dapat terjadi terus menerus adalah konstipasi, sehingga direkomendasikan untuk menggunakan laksatif sebagai profilaksis. Morfin diberikan secara titrasi naik dengan morfin lepas cepat dan setelah didapatkan dosis yang stabil, dilanjutkan dengan pemberian sediaan lepas lambat atau lepas termodifikasi (modified-release preparation).[8]
Sebuah studi oleh Bandieri, et al. (2016) membandingkan opioid lemah dan morfin dosis rendah pada pemberiannya untuk pasien kanker dengan intensitas nyeri dengan median numerical rating scale 5. Dosis morfin yang diberikan adalah dengan titrasi awal hingga 30 mg per hari dengan morfin lepas normal dan dilanjutkan dengan morfin lepas lambat. Penurunan intensitas nyeri sebanyak minimal 20% dari awal lebih banyak tercapai pada kelompok morfin dibandingkan opioid lemah dan hasil ini berbeda bermakna secara statistik. Efek samping yang timbul antara kelompok morfin dan opioid lemah sebanding dan kedua kelompok obat secara umum dapat ditoleransi dengan baik.[9]
Kesimpulan
Nyeri kanker merupakan masalah yang besar dan mempengaruhi kualitas hidup. Sejak 20 tahun lebih panduan tata laksana nyeri dari WHO atau dikenal dengan “WHO Step Ladder” atau anak tangga WHO secara luas sudah digunakan. Hal pertama yang perlu dilakukan dalam tata laksana nyeri adalah evaluasi nyeri, yaitu yang paling sering dengan menggunakan metode numerical rating scale.
Tahapan pada anak tangga WHO ada 3, yaitu nonopioid, opioid untuk nyeri ringan-sedang (atau sering dikenal dengan opioid lemah) dan opioid untuk nyeri sedang-berat. Pemberian obat-obatan tambahan atau ajuvan dapat diberikan sesuai dengan indikasi klinis. Walau demikian, terdapat beberapa modifikasi untuk prinsip WHO ini.
Pertama, tidak semua kasus harus memulai dari anak tangga pertama. Pertimbangan untuk menentukan anak tangga mana yang dipilih harus didasarkan pada hasil evaluasi nyeri pasien.
Kedua, terdapat kontroversi pilihan obat untuk tahap 2, antara opioid lemah dengan morfin dosis rendah. Studi menunjukkan morfin lebih efektif untuk mengatasi nyeri dengan efek samping yang sebanding dengan opioid lemah. Walau demikian, pertimbangan untuk memilih obat tahap 2 ini juga harus didasarkan pada preferensi pasien karena dapat berdampak pada penggunaan yang tidak efektif dan tidak sesuai dosis terapeutik.