Pendahuluan Pap Smear
Pap smear adalah suatu tindakan medis yang dilakukan untuk mendeteksi kanker serviks. Indikasi dilakukannya Pap smear adalah untuk skrining lesi maligna dan premaligna serviks. Pemeriksaan yang juga disebut dengan tes Papanicolau ini dikembangkan pada tahun 1940-an oleh Georgios Papanicolaou.[1]
Konsensus yang membahas tentang interval Pap smear sangat terbatas dan biasanya penerapannya berbeda-beda tiap negara. The American Cancer Society (ACS) dan U.S Preventive Services Task Force (USPSTF) merekomendasikan agar wanita berusia 21-65 tahun melakukan skrining dengan Pap smear setiap 3 tahun sekali untuk mendeteksi kanker serviks.[2,3]
Sedangkan untuk wanita usia di bawah 21 tahun, wanita usia 65 tahun ke atas yang memiliki riwayat skrining kanker serviks secara rutin selama 10 tahun terakhir dengan hasil yang normal, dan wanita yang sudah pernah melakukan prosedur histerektomi total tidak direkomendasikan untuk dilakukan skrining Pap smear.[1,2]
Teknik Pap smear dimulai dengan mengambil contoh sel pada zona transformasi serviks dengan menggunakan spatula, endocervical brush, dan cervical broom. Setelah itu, contoh sel akan dikirim ke laboratorium dan dilihat dibawah mikroskop untuk menentukan apakah terdapat perubahan abnormal dari sel-sel vagina dan serviks.[3]
Komplikasi dari prosedur Pap smear dapat berupa rasa tidak nyaman saat prosedur pemeriksaan berlangsung, perdarahan minor berupa bercak-bercak darah, dan infeksi. Namun, komplikasi tersebut biasanya jarang terjadi.[4]
Pasien yang telah selesai melakukan pemeriksaan Pap smear perlu mendapat edukasi mengenai kapan dan bagaimana pasien akan menerima hasil pemeriksaan, kemungkinan hasil yang dapat terjadi, dan waktu untuk follow-up. Anjurkan pula agar pasien merekomendasikan pemeriksaan Pap smear pada keluarga dan orang-orang terdekat.[5]