Teknik Terapi Pasangan
Teknik dalam terapi pasangan atau couple therapy ada banyak, yakni terapi individu, terapi bersama, cognitive-behavioral couple therapy (CBCT), dan emotion-focused couple therapy (EFCT). Tipe yang paling banyak dipakai adalah terapi bersama.[1,2]
Persiapan Pasien
Terdapat beberapa hal yang perlu disiapkan sebelum menjalani terapi pasangan. Pasien perlu memberikan persetujuan untuk berpartisipasi dalam terapi, dan kemudian diberikan kontrak terapi awal terhadap kedua pasangan. Kontrak terapi yang disampaikan meliputi waktu pertemuan, frekuensi dan panjang sesi, biaya, kesepakatan ketika salah satu pasangan tidak datang, dan kesepakatan tentang sesi individu dalam terapi.[1,2,6]
Apabila tidak ada kontraindikasi dan terapis menilai bahwa pasangan mampu dipertemukan secara langsung, maka terapi yang disarankan adalah terapi bersama (conjoint couple therapy). Penting agar kedua pasangan hadir bersama dalam sesi dan memberikan pandangan masing-masing.[1,2,7]
Prosedural
Terapi pasangan membutuhkan sesi berulang untuk mencapai tujuan yang sudah disepakati. Setiap sesi umumnya berlangsung selama 1 jam, namun waktu lebih lama terkadang diperlukan untuk mendapatkan informasi yang lebih. Proses dalam melakukan terapi pasangan diperkirakan antara 3-12 bulan.[1,2,8]
Pada sesi pertama, klinisi melakukan pengumpulan data dan membuat kontrak terapi. Pasangan sebaiknya datang berdua dalam sesi ini, kecuali terdapat permintaan khusus untuk hadir sendiri-sendiri. Beberapa hal yang akan dievaluasi dalam sesi pertama adalah masalah utama dalam relasi, pola komunikasi, gaya pemecahan masalah, peraturan dalam keluarga, kontrol impuls antar pasangan, dan kepercayaan atau kebiasaan tertentu dalam keluarga.[1,2,6]
Kontrak terapi yang disepakati meliputi waktu pertemuan, frekuensi dan lama setiap sesi, serta peraturan dalam sesi, misalnya pemecahan masalah ketika salah satu pasangan memutuskan tidak hadir. Pasangan perlu membuat persetujuan tertulis sebelum memulai terapi.[1,2,8]
Pada akhir dalam setiap sesi, klinisi akan membuat rangkuman dari apa yang sudah dibahas berdasarkan urgensi. Klinisi dapat memberikan pekerjaan rumah untuk mendiskusikan lebih dalam topik yang sudah dibahas dalam sesi, misalnya berlatih menceritakan kesehariannya kepada pasangan selama 5-10 menit. Pasangan juga dianjurkan untuk membuat catatan kecil untuk mengingat ulang apa yang sudah dipelajari.[1,2,7]
Terapi Individu
Terapi individu dilakukan ketika salah satu pasangan merasa malu dalam menceritakan salah satu aspek dalam diri apabila pasangannya hadir, misalnya masalah orientasi seksual. Fokus terapeutik dari terapi individu adalah menyelesaikan konflik psikodinamik yang belum selesai dan resistensi terhadap conjoint.
Terapi individu untuk masalah perkawinan dapat direkomendasikan jika salah satu pasangan sangat resisten terhadap psikoterapi, ada pertimbangan untuk bercerai, atau ketika salah satu pasangan memiliki gejala psikologis yang berat dan membutuhkan terapi terlebih dahulu.[1,2,7,9]
Terapi Bersama (Conjoint)
Terapi pasangan bersama atau conjoint adalah terapi dimana kedua pasangan berada dalam sesi yang sama. Terapi ini adalah jenis terapi pasangan yang paling umum digunakan. Keuntungan dari terapi bersama adalah terapi ini memfokuskan upaya terapeutik secara langsung dengan melakukan observasi pada interaksi pasangan dan persepsi pasangan terhadap masalah tersebut.
Terapi bersama memungkinkan terapis untuk mengenali pola relasi pasangan dan mekanisme koping yang menyebabkan disfungsi pada pasangan. Terapis dapat mengamati pola interaksi perkawinan, kontradiksi antara komunikasi baik yang terungkap maupun terselubung, dan adanya paksaan pada salah satu pasangan.
Keterbatasan penggunaan terapi pasangan conjoint adalah adanya perbedaan mendasar antar pasangan, misalnya perbedaan prinsip yang tidak dapat diselesaikan atau tujuan terapeutik yang berbeda. Kadang-kadang, terapi conjoint dapat digunakan secara destruktif oleh pasangan untuk tujuan saling menyalahkan dan merebutkan hak milik. Pada kondisi ini pasangan sebaiknya diarahkan pada terapi individu lebih dulu.[1,2,7,9]
Terapi Kelompok
Terapi kelompok melibatkan beberapa pasangan, biasanya sekitar 3 atau 4 pasangan terlibat. Setiap pasangan akan diberi kesempatan untuk mengenal pasangan lain dan berbagi permasalahan mereka. Hal ini dapat memberi wawasan baru dan mengembangkan empati antar pasangan. Terapi kelompok berpasangan sebaiknya tidak dilakukan jika salah satu pasangan tidak memiliki kapasitas ego yang baik dan ada ancaman yang dilakukan salah satu pasangan dalam kelompok.
Terdapat beberapa model dari terapi pasangan. Dua pendekatan yang sering digunakan adalah Cognitive Behavioral Couple Therapy (CBCT) dan Emotionally Focused Couple Therapy (EFCT).[1,4,10]
Cognitive Behavioral Couple Therapy:
CBCT berfokus pada interaksi kognisi, perilaku, dan respon emosi antar pasangan untuk membantu meningkatkan komunikasi dan kemampuan memecahkan masalah. Tujuan CBCT adalah untuk membantu pasangan memperbaiki struktur dari kognisi yang mungkin menyebabkan masalah relasi, misalnya ekspektasi yang tidak masuk akal dan asumsi yang tidak rasional.
CBCT berawal dari pandangan bahwa gangguan kognisi menyebabkan respon emosi maladaptif dan kemudian perilaku yang menyertai. Pada CBCT, klinisi mendampingi pasangan untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi gangguan kognisi yang terjadi. Kognisi yang keliru, misalnya asumsi yang tidak rasional, dipandang sebagai penyebab dari emosi negatif dan merusak relasi berpasangan.
Target akhir dari CBCT adalah meningkatkan komunikasi pasangan agar mereka dapat menyampaikan pikiran secara nyaman satu sama lain dan mengekspresikan emosi tanpa khawatir akan mendapatkan tanggapan negatif dari pasangan. Untuk mencapai hal itu, pasangan belajar untuk mengekspresikan pandangan dan isi pikir menggunakan aturan bicara dan mendengar secara bergiliran.[1,4,10]
Emotionally Focused Couple Therapy (EFCT):
EFCT adalah terapi dengan pendekatan sistemik terhadap pasangan berdasarkan teori kelekatan. Berdasarkan teori kelekatan, kesepian dan hendaya dalam relasi adalah faktor risiko terhadap gangguan mental seperti depresi, kecemasan, adiksi, dan post traumatic stress disorder. Akar dari hal ini adalah ikatan emosional yang rapuh antar pasangan.
Pada EFCT, pasangan dibimbing untuk saling menciptakan rasa aman dalam membangun relasi, dengan cara meningkatkan pengalaman emosional dan kepercayaan antar pasangan. Pasangan diantar untuk menemukan dan memproses ulang pengalaman emosional baik yang sudah terjadi maupun yang baru.
EFCT terdiri dari tiga tahap. Pada tahap pertama atau de-eskalasi, terapis mengidentifikasi pola interaksi pasangan dan mengenali pola negatif dimana pasangan mengkritik atau menyerang satu sama lain. Pola interaksi ini dipandang sebagai hambatan dalam membangun ikatan emosional. Tujuan tahap pertama adalah membuat pasangan menyadari bahwa interaksi yang tidak sehat menyebabkan ketidaknyamanan hubungan kedua pasangan serta menyebabkan tekanan emosional.
Pada tahap kedua atau restrukturisasi interaksi, klinisi mencoba memberikan wawasan tentang pengalaman emosional baru dengan memfasilitasi cara interaksi baru. Melalui cara ini, pasangan belajar bagaimana menanggapi orang lain dengan cara yang baik secara emosional dan saling mendukung. Alih-alih menyalahkan atau menarik diri, mereka belajar untuk menjadi lebih responsif terhadap yang lain, meningkatkan kesadaran tentang kebutuhan rasa aman, dan ikatan emosional antar pasangan.
Pada tahap ketiga atau konsolidasi, pasangan belajar cara-cara baru untuk memecahkan masalah dengan solusi yang baru dan respon emosional yang baik.[1,4,10,11]
Follow up
Follow up dari sesi pertama terapi pasangan tergantung dari jenis terapi pasangan yang dilakukan dan kesepakatan pada pertemuan pertama. Umumnya terapi pasangan dapat dilakukan hingga 20 sesi mingguan hingga tujuan terapi tercapai.
Pada akhir dari sesi, klinisi akan memberikan rangkuman mengenai hal yang sudah dibahas dan kemajuan dalam setiap sesi. Pekerjaan rumah mungkin diberikan untuk membantu pasangan dalam membangun relasi dan komunikasi yang sehat.
Terminasi dari terapi pasangan adalah ketika tujuan terapi sudah tercapai, pasangan merasa tidak membutuhkan bantuan klinisi lagi, atau terjadi komplikasi yang tidak dapat diselesaikan baik oleh klinisi maupun oleh pasangan. Terminasi tidak berarti pasangan berhenti mendapatkan terapi. Apabila ada masalah atau tujuan baru, maka terapi dapat dimulai kembali.[1,4,10,11]