Teknik Pemeriksaan Fisik Hidung
Teknik pemeriksaan fisik hidung secara umum terdiri dari inspeksi, palpasi, rhinoskopi, dan tes fungsi penghidu. Pemeriksaan didahului dengan anamnesis mengenai keluhan yang dialami oleh pasien. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan fisik hidung menyeluruh pada kedua sisi hidung dan sinus paranasal.
Persiapan
Sebelum melakukan pemeriksaan fisik hidung, anamnesis mengenai keluhan yang dialami pasien perlu dilakukan. Pemeriksa perlu melakukan penjelasan kepada pasien mengenai tahapan pemeriksaan yang akan dilakukan sebelum melakukan pemeriksaan fisik. Selain itu, pasien perlu mengetahui bahwa pemeriksaan fisik hidung dapat menyebabkan rasa tidak nyaman, tetapi tidak akan memperparah penyakit pasien.[3,6,7]
Peralatan
Alat yang diperlukan pada pemeriksaan fisik hidung, antara lain:
- Lampu kepala
- Spekulum hidung
- Kaca tenggorok[3,6,7]
Posisi Pasien
Pada pemeriksaan fisik hidung pasien dewasa, pasien duduk berhadapan dengan pemeriksa, kaki bersilangan dengan kaki pemeriksa.
Pada pasien anak, pasien duduk di pangkuan orang tua. Satu tangan orang tua diletakan pada kening pasien sembari menahan sisi kepala pasien. Tangan yang lain memeluk pasien dengan menahan tangan dan tubuhnya.[3,6,7]
Pasien duduk dengan posisi badan condong ke depan dan kepala lebih tinggi sedikit dari kepala pemeriksa untuk memudahkan melihat hidung. Atur lampu kepala supaya fokus dan tidak mengganggu pergerakan, kira–kira 20–30 cm di depan dada pemeriksa dengan sudut sekitar 60o.[3,6,7]
Prosedural
Secara umum, prosedur pemeriksaan fisik hidung meliputi inspeksi, palpasi, dan rhinoskopi.[5]
Inspeksi
Pada inspeksi hidung eksternal, hidung seharusnya berbentuk seperti segitiga dan terdiri dari:
- Pangkal hidung yang merupakan bagian superior dari segitiga
- Puncak (apex) hidung yang merupakan sudut terluar dari segitiga serta ala nasi
- Nares atau lubang hidung
- Vestibula yang merupakan bagian melebar yang terletak di dalam nares
- Kolumela yang membagi hidung menjadi dua nares dan bersambungan dengan septum nasi
- Ala atau sayap hidung[5]
Lakukan inspeksi pada permukaan eksternal hidung dari semua sudut. Normalnya, kulit hidung intak dan berwarna serupa dengan wajah. Kemudian, periksa adanya lesi kulit, misalnya yang menandakan karsinoma sel basal maupun trauma.
Selain itu, periksa juga adanya sekret hidung, nasal flaring, bengkak pada pangkal hidung, epistaksis, indentasi, eritema, penebalan hidung, ataupun asimetri.[5]
Inspeksi Septum Nasal
Inspeksi pada septum nasal dilakukan dengan menyinarkan senter secara langsung dari depan pasien, kemudian memeriksa adanya deviasi. Normalnya, septum nasal berwarna merah muda, berada di midline, dan intak.
Lakukan juga tes transiluminasi pada septum nasal untuk mendeteksi adanya perforasi. Sinari septum pada satu sisi dan lihat sisi di sebelahnya. Cahaya yang menembus septum menandakan adanya perforasi. Penyebab perforasi septum mencakup infeksi, sifilis, tuberkulosis, lupus eritematosus sistemik, penggunaan kokain, dan keracunan kromium.[5]
Inspeksi Sinus Paranasal
Sinus paranasal adalah kelenjar yang terletak pada kranium dan berfungsi memproduksi mukus yang melubrikasi hidung. Terdapat 4 sinus paranasal, yaitu :
- Sinus frontalis pada kening bagian bawah, sedikit di atas dan medial dari mata
- Sinus maksilaris yang terletak pada maksila di dekat dinding samping hidung
- Sinus ethmoidalis yang terletak di antara kedua mata
- Sinus sphenoid pada anterior kelenjar pituitari di os sphenoid[5]
Perhatikan tanda–tanda peradangan pada sinus yang menandakan sinusitis, misalnya eritema atau nyeri tekan.[5]
Sekret Nasal
Perhatikan adanya cairan yang keluar dari hidung. Sekret yang bening dapat menandakan rhinitis alergi atau infeksi virus. Sementara itu, sekret yang purulen umumnya menandakan infeksi bakteri. Pada inspeksi juga bisa terlihat adanya epistaksis yang umumnya jinak dan self limited.
Jika pasien mengalami cedera otak traumatik disertai dengan raccoon eyes dan sekret nasal, curigai adanya fraktur basis cranii.[5]
Palpasi
Palpasi dilakukan pada tulang dan tulang rawan hidung. Palpasi dilakukan dengan menggunakan jari–jari telunjuk mulai dari pangkal hidung sampai apeks untuk mengetahui ada atau tidaknya nyeri, massa tumor, atau tanda–tanda krepitasi.
Jika ala nasi penderita terasa sangat sakit pada saat kita melakukan palpasi, curigai adanya furunkel vestibulum nasi.[3,6,7]
Rhinoskopi Anterior
Pemeriksaan rhinoskopi anterior dilakukan dengan menggunakan spekulum hidung. Area yang perlu dinilai mencakup vestibulum nasi, konka inferior, septum hidung, nasofaring, meatus tengah, meatus superior, dan reses sphenoethmoidal. Pemeriksa juga perlu menilai adanya massa seperti polip, pus dari meatus tengah sampai ke reses sphenoethmoidal, atau septum deviasi.
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior dapat pula dinilai fenomena palatum molle yaitu pergerakan palatum molle pada saat pasien diminta untuk mengucapkan huruf “ i “. Pada waktu melakukan penilaian fenomena palatum molle usahakan agar arah pandang mata sejajar dengan dasar rongga hidung bagian belakang.[9–11]
Pandangan mata tertuju pada daerah nasofaring sambil mengamati turun naiknya palatum molle pada saat pasien mengucapkan huruf “ i ”. Fenomena palatum molle akan negatif bila terdapat massa di dalam rongga nasofaring yang menghalangi pergerakan palatum molle, atau terdapat kelumpuhan otot–otot levator dan tensor veli palatini.[9,10]
Bila rongga hidung sulit diamati oleh adanya edema mukosa dapat digunakan tampon kapas efedrin yang dicampur dengan lidocaine yang dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk mengurangi edema mukosa.[9–11]
Rhinoskopi Posterior
Pemeriksaan rhinoskopi posterior dilakukan dengan menggunakan kaca khusus untuk menilai koana posterior dan nasofaring. Pada pasien dapat diberi xylocaine 4% dan efedrin 3% untuk memudahkan dalam melakukan pemeriksaan.
Untuk pemeriksaan ini dipakai kaca tenggorok no. 2–4. Kaca ini dipanaskan dulu dengan lampu spiritus atau dengan merendamnya di air panas supaya kaca tidak menjadi kabur oleh napas pasien.[9–11]
Lidah pasien ditekan dengan spatula lidah, pasien bernapas melalui mulut, kemudian kaca tenggorok dimasukkan ke belakang uvula dengan arah kaca ke atas. Setelah itu pasien diminta bernapas melalui hidung. Perlu diperhatikan kaca tidak boleh menyentuh dinding posterior faring supaya pasien tidak terangsang untuk muntah.
Sinar lampu kepala diarahkan ke kaca tenggorok dan diperhatikan:
- Septum nasi bagian belakang
- Nares posterior
- Sekret di dinding belakang faring (post nasal drip)
- Dengan memutar kaca lebih ke lateral, akan tampak konka superior, konka media dan konka inferior
- Evaluasi nasofaring, perhatikan muara tuba, torus tubarius, dan adanya massa di fossa Rosenmuller[9–11]
Tes Fungsi Penghidu
Alcohol sniff test (AST) dapat dilakukan sebagai skrining untuk menilai fungsi hidung sebagai organ penghidu. Penderita diminta untuk menutup kedua mata, selanjutnya kapas yang telah diberi alkohol didekatkan perlahan–lahan ke hidung penderita, dimulai 20–30 cm dari mid sternum.
Hasil pemeriksaan dapat dikategorikan sebagai normosmik jika pasien dapat menghidu dari jarak >10 cm dan hiposmik jika dapat menghidu hanya pada jarak 0–10 cm. Pasien dianggap anosmik jika tidak dapat menghidu sama sekali.[9,10]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli