Indikasi Tampon Hidung
Indikasi tampon hidung atau nasal tampon adalah perdarahan yang terjadi pada hidung atau epistaksis. Lokasi perdarahan secara anatomis harus diketahui, karena lokasi perdarahan yang berbeda membutuhkan penanganan yang berbeda pula. Secara umum, epistaksis berasal dari dua sumber perdarahan, yaitu anterior dan posterior.
Epistaksis Anterior
Epistaksis anterior merupakan jenis epistaksis yang mendominasi kasus perdarahan hidung, dengan cakupan 90% dari total kasus epistaksis. Epistaksis anterior biasanya self-limiting dan dapat mengalami perbaikan dengan cara konservatif, seperti penekanan langsung pada hidung.
Epistaksis anterior berasal dari sumber perdarahan yang mudah ditemui, yaitu pada pleksus Kiesselbach atau area Little. Pleksus Kiesselbach berada pada bagian anteroinferior septum nasi di mana arteri ethmoidalis anterior, arteri sphenopalatina, arteri palatina mayor, dan cabang septal arteri labialis superior bertemu dan membentuk pleksus pembuluh darah. Bila penekanan pada kartilago septum nasi tidak dapat menghentikan epistaksis, diperlukan tindakan yang lebih invasif, seperti tampon hidung anterior atau kauterisasi.[1,6,13]
Gambar 2. Suplai Pembuluh Darah pada Kavum Nasi. Sumber: Wikimedia Commons, 2015
Epistaksis Posterior
Epistaksis posterior lebih jarang terjadi, sulit diidentifikasi, dan dapat mengancam nyawa (red flag epistaksis). Arteri sphenopalatina dan cabang terminal arteri maxillaris adalah pembuluh darah yang memperdarahi daerah posterior hidung dan menjadi sumber perdarahan pada kasus epistaksis posterior.
Lokasinya yang sulit dijangkau menjadikan upaya kontrol perdarahan dengan penekanan tidak dapat dilakukan, sehingga diperlukan pemasangan tampon hidung posterior.[1,6,13]
Tipe Tampon Hidung untuk Epistaksis Anterior dan Posterior
Beberapa tipe tampon hidung anterior yang dapat digunakan adalah gauze packing, tampon busa terkompresi, dan balon anterior. Sedangkan tipe tampon posterior yang bisa digunakan adalah tampon kateter Foley dan balon posterior.[1,6]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli