Pendahuluan Uji Tuberkulin
Uji tuberkulin, disebut juga tes Mantoux atau Tuberculin Skin Test (TST), adalah pemeriksaan yang bermanfaat dalam evaluasi infeksi tuberkulosis. Uji tuberkulin masih digunakan terutama di negara dengan kasus tuberkulosis tinggi, seperti Indonesia, untuk mendeteksi infeksi tuberkulosis pada anak, infeksi tuberkulosis laten, dan tuberkulosis ekstra paru.[1]
Uji tuberkulin mengukur respon reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap injeksi intradermal purified protein derivative (PPD). PPD adalah campuran mentah dari beberapa antigen Mycobacterium di antaranya M. tuberculosis, M. bovis, dan Mycobacteria non-tuberculosis (NTM). Oleh sebab ini, hasil positif uji tuberkulin memiliki spesifisitas yang rendah dan tidak dapat membedakan antara infeksi tuberkulosis, vaksinasi BCG, atau paparan terhadap NTM. Tes ini juga memiliki sensitivitas rendah pada pasien imunosupresi, seperti pasien HIV.
Kelemahan operasional dari uji tuberkulin meliputi perlunya kunjungan lebih dari 2 kali ke fasilitas kesehatan. Interval antar kunjungan adalah 72 jam. Hal ini juga menyebabkan adanya waktu tunggu antara injeksi awal PPD ke pembacaan hasil. Selain itu, kelemahan operasional lain adalah variabilitas interpretasi hasil uji tuberkulin antar pembaca.[1,2]
Indikasi dilakukan uji tuberkulin adalah untuk menegakkan diagnosis tuberkulosis dan sebagai alat skrining pada populasi risiko tinggi. Di Indonesia, uji tuberkulin dilakukan sebagai salah satu kriteria dalam skoring diagnosis tuberkulosis pada anak.[1-3]
Uji tuberkulin dilakukan dengan injeksi intrakutan PPD. Pembacaan dilakukan dengan cara mengukur indurasi yang timbul akibat reaksi tubuh terhadap antigen yang terdapat dalam larutan PPD.[1,2]