Teknik Transplantasi Hati
Teknik dalam transplantasi hati atau transplantasi hepar mencakup pemilihan donor, persiapan dan pencocokan donor dengan resipien, pengambilan hati dari donor dan pemindahannya pada resipien.
Pemilihan Donor
Penentuan dan mendapatkan donor untuk suatu operasi transplantasi hati bukanlah suatu yang mudah. Terdapat pertimbangan jenis donor, data dan syarat donor, serta bermacam faktor donor yang dapat mempengaruhi keberhasilan proses transplantasi.
Jenis Donor
Pada negara barat, donor banyak berasal dari seorang yang sudah meninggal. Donor ideal adalah seorang berusia muda sehat yang mengalami cedera fatal pada otak oleh karena trauma, perdarahan otak atau anoksia.[10]
Hati juga dapat berasal dari donor hidup. Donor perlu menjalani evaluasi medis dan psikososial sebelum menjalani proses ini. Pada saat ini operasi transplantasi hati di Indonesia masih hanya dilakukan dengan donor hidup karena tidak ada organisasi yang mengurus.[3,9]
Terdapat Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 38 tahun 2016 tentang penyelenggaraan transplantasi organ. Hukum Indonesia mengakui donor hidup maupun mati (cadaveric) dalam transplantasi organ.[11]
Setiap calon pendonor dan calon resipien harus terdaftar di Komite Transplantasi Nasional, dan pendonor haruslah seorang yang tidak dibayar oleh imbalan apapun. Donor hidup keluarga dapat memberikan organnya secara langsung tanpa mendaftarkan dirinya ke Komite Transplantasi Nasional.[11]
Data dan syarat donor
Selain mengambil data riwayat medis lengkap calon donor dan pemeriksaan fisik, terdapat juga beberapa pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan:
- Tipe darah ABO
- Pemeriksaan darah lengkap
- Kimia darah
- PT/ PTT
- HBsAg, antiHCV, antiHIV
- VDRL/ RPR
- AntiCMV[9]
Organ dari donor brain dead hingga usia 60 tahun dapat diterima apabila mencukupi kriteria ini:
- Stabil secara hemodinamik
- Oksigenasi baik
- Tidak memiliki infeksi bakteri atau jamur
- Tidak ada trauma abdomen
- Tidak ada masalah fungsi hati
- Tidak ada infeksi hepatitis B, hepatitis C, dan HIV[1]
Terdapat beberapa faktor yang dapat menentukan prognosis dalam proses transplantasi:
Faktor Donor
Faktor donor yang dapat memberikan prognosis buruk adalah sebagai berikut:
- Usia donor yang lebih tua, terutama diatas 50 tahun
- Jenis kelamin perempuan
- Donor dapat memiliki steatosis pada hatinya
- Donor dengan hipernatremia (biasa dari terapi edema otak)
- Hemodinamik tidak stabil
Faktor Teknis
Prognosis buruk juga dapat disebabkan oleh faktor teknis sebagai berikut:
- Waktu iskemia dingin sebelum transplantasi >18-20 jam
- Inkompatibilitas ABO[10]
Persiapan Pasien
Sebelum melakukan transplantasi hati terdapat banyak pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan. Jalur pemeriksaan pada pasien calon transplantasi hati adalah demikian:
- Menentukan etiologi penyakit hati
- Diagnosis ESLD (end-stage liver disease) perlu ditegakkan
- Kontraindikasi absolut dan relatif perlu disingkirkan
- Melihat keparahan ESLD dan menentukkan skor Child-Pugh, MELD(model for end-stage liver disease) dan PELD (Pediatric End-Stage Liver Disease)[2]
Penentuan pasien mana yang akan dilakukan transplantasi biasa mencakup spesialis dalam berbagai macam bidang dalam suatu komite medik. Konsultasi yang dibutuhkan termasuk:
- Klirens kardiopulmoner
- Psikiatri dan konsultasi social worker
- Klirens finansial
- Dokter spesialis penyakit dalam, gastroenterolog, nefrolog, ahli penyakit menular, dokter bedah, dokter gigi, dan dokter spesialis lain sesuai kondisi pasien[2]
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan pada pasien calon transplantasi hati adalah:
- Kelompok darah dan faktor Rhesus
- HLA matching
- Fungsi hati, protein total, albumin
- Hepatitis (A, B, C)
- Serologi: sitomegalovirus (CMV), herpes simplex virus (HSV), Epstein-Barr virus (EBV), HIV
- Marker tumor
Alfa fetoprotein, kolinesterase
- Analisa gas darah arteri[2,12]
Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan termasuk:
- Rontgen (terutama Rontgen toraks)
- USG duplex
- Angiografi/MRA
- CT abdomen
- Pemeriksaan jantung: ekokardiogram, EKG, angiografi koroner[2]
Pencocokan donor dan resipien
Selain pemeriksaan-pemeriksaan yang secara khusus mempersiapkan dan mengarah pada calon pasien untuk dilakukan transplantasi, banyak faktor lain yang dapat menentukkan kesuksesan transplantasi. Donor dan resipien perlu dicocokkan secara tepat sehingga transplantasi dapat berhasil melalui tiga metode berikut:
Tabel 5. Pencocokan Donor dan Resipien
Pencocokan ukuran graft | Pencocokan serologi viral | Pencocokan imunologi |
Ukuran graft hati donor yang diberikan kepada resipien sebaiknya mirip, tidak kebesaran atau kekecilan.
Terdapat kasus-kasus dimana hati yang besar dapat dibagi menjadi dua dan diberikan kepada pasien anak dan dewasa | Donor dengan infeksi virus sitomegalovirus, hepatitis B, dan C sebaiknya tidak digunakan
Apabila kedua donor dan resipien memiliki hasil serologi virus yang positif, ditakuti timbulnya mutasi baru dan resistensi terhadap pengobatan virus tersebut | Donor dan resipien sebaiknya memiliki kelompok ABO darah yang sama. Pasien dengan kelompok darah A, B, atau AB yang mendapatkan graft dengan kelompok darah O sering kali mengalami hemolisis melalui sindroma passenger lymphocyte
HLA matching tidak selalu dilakukan pada kasus transplantasi hati dari donor yang sudah meninggal karena prosesnya mencakup 4-5 jam sehingga dapat memperpanjang waktu iskemia dingin. Walau HLA yang sesuai menunjukkan prognosis yang lebih baik, hingga saat ini masih tidak ada rekomendasi khusus mengenai pencocokan HLA secara rutin |
Sumber: Reddy, 2013.[12]
Jenis Operasi
Jenis operasi transplantasi hati dibedakan menjadi transplantasi standar dan parsial.
- Transplantasi standar: seluruh bagian hati donor yang sudah meninggal diberikan pada resipien
- Transplantasi graft parsial: Transplantasi sebagian hati donor, umumnya pada transplantasi donor hidup ke resipien anak yang tidak bisa menerima semua bagian hati dewasa[6]
Transplantasi graft parsial meliputi:
- Transplantasi hati auxiliary: Pada pasien gagal hati akut dapat dilakukan transplantasi parsial dan hanya membuang satu lobus dari hati penderita. Pada saat pasien sudah sembuh, graft tersebut dapat diambil kembali sehingga pasien tidak perlu mengkonsumsi obat imunosupresan seumur hidup.
- Transplantasi hati split: Terkadang graft yang berukuran besar dapat dibagi menjadi dua, terutama untuk pasien anak[6]
Prosedural
Tindakan operasi dengan sendirinya dilakukan oleh dokter bedah digestif. Tindakan terdiri dari proses pengambilan organ dari donor, transportasi organ ke resipien, dan operasi memasukkan graft pada resipien tersebut.[2]
Operasi Donor
Proses pengambilan organ dari donor adalah sebagai berikut:
- Donor yang brain dead tidak membutuhkan anestesi, namun dokter anestesi dapat tetap memasukkan beberapa obat sebagai bagian dari protokol
- Pada saat pengambilan organ donor, tujuan terapi adalah untuk mempertahankan stabilitas fisiologis (oksigenasi, perfusi) sehingga organ terdapat pada kondisi terbaik saat dikeluarkan
- Donor biasa diletakkan pada posisi supine dan insisi dilakukan dari notch suprasternal hingga ke pubis sehingga pengambilan seluruh organ abdomen dan toraks dapat dilakukan dengan mudah
- Diseksi hati diawali dengan memotong ligamen-ligamen yang mengikatnya
- Kantong empedu dikosongkan dan dicuci
- Arteri, vena, dan ligamen akan diclamp dan dipotong secara sistematis hingga hati dapat dikeluarkan seluruhnya dari donor
- Pada donor yang tidak stabil secara hemodinamik, pengambilan organ akan dilakukan dengan cara rapid flush yaitu pengambilan organ secara cepat pada suatu bloodless field di mana arteri dan vena di atas dan di bawah organ sudah diclamp dan disambungkan dengan kanula
- Pada proses pengambilan organ, donor juga diberikan infus heparin sebanyak 20,000-30,000 unit sehingga tidak terjadi penggumpalan darah
- Organ yang diambil juga secara khusus “diinfus” dengan cairan solusi University of Wisconsin (UW) dingin dan juga dicuci dan disimpan dalam cairan tersebut saat melakukan transportasi organ[2]
Operasi pada Resipien
Organ yang telah ditransportasi dari donor kemudian ditransplantasi pada resipien dengan prosedur sebagai berikut:
- Setelah resipien sudah dibius, dan diletakkan secara supine, insisi dilakukan pada subkostal bilateral dengan ekstensi midline (insisi Mercedes-Benz)
- Operasi diawali dengan pengeluaran hati yang sudah rusak dari resipien
- Saat dilakukan operasi, perlu juga dilakukan bypass venovenous. Saat kapan dilakukan bypass tergantung dari derajat hipertensi portal, riwayat operasi pasien sebelumnya, dan jumlah perdarahan saat operasi. Keputusan ditentukan oleh dokter bedah yang bertindak
- Sering kali terdapat variasi dari anatomi donor dan resipien. Tujuan utama rekonstruksi vaskuler adalah untuk memberikan satu jalur pemasukan darah sehingga hanya satu anastomosis yang perlu dibentuk
Terdapat juga kasus transplantasi hati parsial:
- Hati dewasa seringkali terlalu besar untuk ditransplantasikan kepada anak. Pada kasus-kasus ini graft dapat dibagi (split graft) pada 2 pasien atau graft tersebut juga dapat direseksi menjadi lebih kecil dengan sisanya dibuang
- Kasus transplantasi dari donor hidup dapat dinilai lebih baik pada resipien dibanding donor yang sudah meninggal karena operasi bersifat elektif, donor juga adalah seorang yang sehat “seutuhnya,” dan juga waktu iskemia organ lebih pendek. Hal ini biasanya dilakukan dimana donor adalah seorang dewasa dan resipien adalah anak, namun hingga saat ini juga semakin banyak kasus dimana donor dan resipien keduanya adalah orang dewasa[2,12]
Follow up
Follow up pada pasien dapat dibagi menjadi follow up jangka pendek (setelah operasi), dan follow up jangka panjang.
Mayoritas dari semua pasien transplantasi hati dirawat di ICU dengan waktu berkisar antara sekitar 1-2 hari hingga beberapa minggu. Secara garis besar, pemantauan yang perlu dilakukan pada pasien adalah pemantauan komplikasi, pemeriksaan laboratorium, fungsi organ hasil transplantasi, serta pemantauan nutrisi dan terapi imunosupresan.
Follow up Jangka Pendek
15-20% pasien transplantasi hati akan menjalani operasi ulang akibat komplikasi, di antaranya yang tersering adalah perdarahan, komplikasi vaskuler dan bilier, serta sepsis intra abdomen.
Pemantauan Laboratorium:
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada pasien pascaoperasi transplantasi hati adalah pemeriksaan INR, laktat, darah lengkap, analisa gas darah, elektrolit, glukosa, nitrogen darah, kreatinin, fungsi hati. Pemeriksaan ini dilakukan setiap 6 jam pada 2 hari pertama.
Pemantauan Fungsi Organ Hasil Transplantasi:
Graft hasil transplantasi perlu dinilai fungsinya dengan pemeriksaan berikut:
- Pemeriksaan fungsi hati serta bilirubin dapat tidak sesuai dengan fungsi hati sesungguhnya pada 2 hari pertama setelah transplantasi. INR dapat lebih menggambarkan kondisi yang sesungguhnya
- USG biasa dilakukan untuk melihat arteri, vena, serta kelainan lain yang dapat menyebabkan komplikasi
Pemantauan Nutrisi:
Pasien transplantasi memerlukan protein dosis tinggi sebanyak 1.5-2 g per kg berat badan tubuh. Hindari pemberian nutrisi secara parenteral bila memungkinkan.[1,13,14]
Follow up Jangka Panjang
Pasien perlu rutin kontrol ke dokter setelah keluar dari rumah sakit. Terdapat beberapa komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi termasuk rejeksi kronis, pemantauan penyakit graft versus host serta komplikasinya, dan pemantauan kanker.
Rejeksi Kronis:
Rejeksi kronis dapat terjadi dan hanya dapat terlihat pada waktu sekitar 6 bulan dari transplantasi. Patogenesis kejadian ini masih belum begitu jelas.
Pemantauan Terapi Imunosupresan:
Pasien juga memerlukan terapi imunosupresan sehingga tidak terjadi penyakit graft versus host. Penggunaan obat-obat ini dapat menyebabkan bermacam efek samping yang perlu dimonitor pada saat pasien kontrol. Efek samping yang dapat disebabkan oleh obat-obatan imunosupresan termasuk gagal ginjal, hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, obesitas, osteopenia, dan keluhan neurologis.
Pemantauan Kanker:
Kanker dapat terjadi pada pasien transplantasi dan dapat disebabkan oleh bermacam faktor termasuk terapi imunusupresi, jenis transplantasi, serta penyakit yang menyebabkan transplantasi. Populasi yang telah menjalani transplantasi hati memiliki risiko lebih untuk terkena kanker.[14,15]
Direvisi oleh: dr.Hudiyati Agustini