Penulisan rencana manajemen asma (written asthma management plan) adalah salah satu upaya edukasi pada penderita asma. Hal ini perlu dilakukan guna membantu dokter dan pasien asma untuk memahami tujuan pengobatan dan mencegah kekambuhan.
Sering kali, pengidap asma memerlukan pengobatan yang menahun untuk mencapai kualitas hidup optimal, mencegah kekambuhan, dan mengontrol gejala. Dalam perjalanan penyakitnya, pasien asma sering mengalami episode kekambuhan atau eksaserbasi yang dapat terjadi dalam beberapa hari hingga minggu. Episode eksaserbasi biasanya didahului oleh berbagai gejala awal yang bila di intervensi dini akan mencegah episode yang lebih buruk.[1]
Medikamentosa yang dipakai saat eksaserbasi adalah beta-agonis dan kortikosteroid inhalasi, seperti budesonide. Waktu pemberian terapi dan regimen yang tepat dapat mencegah episode eksaserbasi yang lebih berat dan menurunkan kebutuhan rawat inap.[1]
Oleh karena itu, diperlukan edukasi yang memadai pada penderita asma agar dapat mengenali gejala kekambuhan lebih awal dan cara menanganinya, yang dituangkan dalam bentuk tulisan atau written action plan. Catatan ini diberikan oleh dokter kepada pasien agar pasien mengerti kapan saat yang tepat untuk meningkatkan dosis pengobatan atau mengenali episode kekambuhan sejak dini.[1]
Upaya Written Action Plan
Istilah written action plan digunakan oleh Gibson dan Powell pada tahun 2003 sebagai metode bagi para dokter untuk memberikan catatan atau langkah yang harus dilakukan oleh pengidap asma dalam menghadapi episode kekambuhan berdasarkan tingkat keparahan asma yang diderita.[1]
Implementasi written action plan dengan baik memiliki berbagai keuntungan, yaitu meningkatnya kualitas hidup dan berkurangnya beban finansial pada pengidap asma oleh karena berkurangnya episode eksaserbasi.[1] Penggunaan metode sudah banyak dianjurkan oleh organisasi kesehatan di berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Inggris Raya, dan Australia.[2-4]
Kekurangan Written Action Plan
Walaupun demikian, penelitian mengenai written action plan yang telah dilakukan masih terbatas, sehingga masih diperlukan studi lebih lanjut yang mengkaji efektivitas written action plan.[5] Suatu tinjauan sistematik yang dilakukan Gatheral et al melaporkan bahwa hingga saat ini, belum terlihat manfaat atau efek samping yang jelas dari written action plan. Mengingat studi yang dilakukan hingga saat ini masih terbatas dengan kualitas yang kurang baik, perlu penelitian lebih lanjut untuk mengonfirmasinya.[8]
Selain itu, Ring et al dalam studi wawancara pada dokter, perawat, dan pasien asma yang kontrol di fasilitas kesehatan tingkat pertama melaporkan bahwa bila tidak dilakukan pemantauan secara berkala, maka written action plan dapat menjadi bumerang baik bagi pasien maupun bagi tenaga kesehatan.[6]
Bila dilaksanakan dengan baik, maka written action plan dapat memiliki berbagai manfaat klinis selain tujuan utamanya, yaitu menurunkan eksaserbasi. Patel et al menilai manfaat yang dapat dicapai dengan menerapkan written action plan ini. Manfaat yang dihasilkan adalah meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan dan memotivasi pasien untuk berdiskusi dengan tenaga kesehatan, terutama pada populasi wanita.[7]
Gibson dan Powell merekomendasikan written action plan seyogyanya memiliki beberapa komponen, yaitu didasarkan oleh peak expiratory flow terbaik penderita, dan memiliki 2-4 komponen check-point untuk menentukan tata laksana yang harus dilakukan oleh pasien berdasarkan kondisi klinis saat itu.[1]
Komponen Written Action Plan
Hingga saat ini, didapatkan berbagai versi written action plan yang telah disesuaikan oleh masing-masing negara yang telah mengadopsinya.
Secara umum, Gibson dan Powell melaporkan bahwa komponen written action plan harus memiliki berbagai unsur yaitu:
- Kapan dosis dan frekuensi terapi harus ditingkatkan
- Bagaimana meningkatkan intensitas terapi
- Berapa lama terapi tersebut ditingkatkan
- Kapan penderita harus mencari pertolongan medis[1]
National Asthma Council of Australia dalam pedoman written asthma action plan menyatakan bahwa written action plan harus sesuai dengan regimen terapi yang diberikan, tingkat keparahan asma, budaya, bahasa, pendidikan, dan kemampuan pengidap asma dalam melakukan pertolongan pertama pada dirinya sendiri.[3]
Selain itu, National Asthma Council juga menegaskan bahwa written action plan harus mencakup informasi mengenai kapan rencana tersebut dibuat, nama dokter pembuat catatan, informasi nomor fasilitas kesehatan yang dapat dihubungi pada keadaan darurat, serta kapan dan bagaimana peningkatan intensitas terapi perlu dilakukan. Instruksi pemberian obat juga harus dituliskan dengan jelas.[3]
The Asthma UK and British Council menegaskan bahwa written action plan sebaiknya dievaluasi 1 bulan sekali dengan poin yang mencakup informasi mengenai obat yang harus diminum secara rutin, edukasi mengenai tanda eksaserbasi, dan bagaimana melakukan pertolongan pertama terhadap eksaserbasi. Written action plan juga dianjurkan agar disimpan dalam gawai agar dapat diakses kapan saja.[4]
Implementasi Written Action Plan
Implementasi written action plan dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dalam bentuk kartu rencana pengobatan dengan penggunaan warna sebagai check-point hingga leaflet digital. Diperlukan kerja sama yang baik antara tenaga kesehatan dan pasien agar written action plan yang telah dibuat dapat berfungsi optimal. Written action plan merupakan metode yang dianjurkan hingga saat ini.[1]
Seiring dengan perkembangan zaman, tidak menutup kemungkinan penggunaan aplikasi digital written action plan dapat menjadi evolusi dari written action plan yang sudah ada saat ini. Namun, untuk mengembangkan aplikasi tersebut, diperlukan kerja sama dari berbagai pemangku kebijakan dan pembaharuan dari written action plan sesuai dengan keadaan saat ini agar dapat tercapai algoritma pengobatan yang optimal.[9]
Global Initiative for Asthma (GINA) tahun 2021 telah menyebutkan bahwa sebagai bagian dari pengelolaan asma mandiri, semua pasien harus diberikan rencana tindakan asma tertulis secara personal, dan disesuaikan dengan kondisi kesehatan masing-masing. Rencana tertulis ini akan memungkinkan pasien untuk mengenali dan memberikan tindakan jika kondisi asma memburuk.[10]
Kesimpulan
Asma merupakan suatu penyakit kronis obstruksi saluran napas yang sering dijumpai yang bersifat kambuhan dan episodik. Oleh karena sifatnya sebagai penyakit kronis, diperlukan edukasi pada pengidap asma agar dapat mengenali tanda eksaserbasi lebih awal sehingga tata laksana awal secara mandiri dilakukan untuk mencegah serangan yang lebih berat atau sebagai pertolongan pertama untuk menurunkan komplikasi terkait asma.
Salah satu cara untuk memberikan edukasi pada pengidap asma adalah dengan memberikan written action plan atau catatan tata laksana dari dokter kepada pengidap asma yang berisi informasi mengenai tata laksana umum pengidap asma, bagaimana dan kapan menaikkan intensitas maupun frekuensi tatalaksana, berapa lama peningkatan terapi tersebut diberikan, dan kapan pengidap asma harus mencari pertolongan medis.
Perencanaan tersebut harus disesuaikan dengan latar belakang pengidap asma dan disesuaikan dengan peak expiratory flow maksimal pengidap asma. Hingga saat ini, metode written action plan yang telah dilakukan adalah dengan menggunakan kartu, catatan, maupun leaflet dan tidak menutup kemungkinan dapat berbasis aplikasi di masa mendatang. Oleh karena itu, pastikan selalu setiap pasien asma memiliki rencana terapi seperti written asthma management plan.
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini