Cara memilih antidepresan masih sering menjadi pertanyaan para klinisi, karena ada sangat banyak jenis obat antidepresan di pasaran dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Secara umum, obat antidepresan memiliki target gejala tertentu sehingga pemilihan antidepresan dapat disesuaikan dengan presentasi klinis pasien. Dokter juga bisa memanfaatkan efek samping antidepresan tertentu untuk kebaikan pasien, misalnya penggunaan antidepresan dengan efek sedasi yang dapat membantu pasien depresi dengan gejala insomnia.[1]
Langkah Awal Pemilihan Obat Antidepresan
Sebagai langkah awal dalam pemberian farmakoterapi untuk depresi, pertimbangkan penilaian tingkat keparahan depresi dan tinjau gejala secara teratur, baik secara klinis maupun menggunakan skala penilaian. Dalam memilih obat antidepresan, dokter sebaiknya mempertimbangkan hal berikut:
- Persepsi dari pasien sendiri. Hal ini berkaitan dengan persepsi kemanjuran dan tolerabilitas
- Komorbiditas gangguan kejiwaan jika ada, seperti gangguan obsesif kompulsif dan gangguan cemas
- Antisipasi efek samping yang dapat muncul dan efek paradoks setelah penghentian tiba-tiba
- Potensi interaksi dengan obat lain yang dikonsumsi pasien
- Kemudahan jika harus mengganti ke obat lain. Hal ini karena obat antidepresan awal mungkin tidak menghasilkan remisi penuh, sehingga pasien memerlukan penggantian ke antidepresan yang berbeda
Dalam perkembangannya, dokter dapat mengganti pengobatan lebih awal (misalnya setelah 1-2 minggu) jika efek samping tidak dapat ditoleransi. Pertimbangkan juga penggantian pengobatan jika tidak ada perbaikan sama sekali dalam 3-4 minggu. Jika terdapat perbaikan, lanjutkan terapi dan evaluasi selama 2-3 minggu berikutnya.[2,3]
Perbandingan Efikasi Antara Obat Antidepresan
Sebuah meta-analisis dan tinjauan sistematik terhadap 552 uji klinis dengan total 116.477 partisipan menemukan bahwa semua antidepresan yang termasuk dalam meta-analisis tersebut lebih manjur daripada plasebo pada orang dewasa dengan gangguan depresi mayor. Agomelatine, amitriptyline, escitalopram, mirtazapine, paroxetine, venlafaxine, dan vortioxetine dilaporkan lebih efektif dibandingkan antidepresan lain. Di lain pihak, fluoxetine, fluvoxamine, reboxetine, dan trazodone termasuk obat yang efikasinya rendah.
Dalam hal kenyamanan pasien yang mempengaruhi kepatuhan pengobatan, obat agomelatine, citalopram, escitalopram, fluoxetine, sertraline, dan vortioxetine lebih dapat ditoleransi daripada antidepresan lain. Amitriptyline, clomipramine, duloxetine, fluvoxamine, reboxetine, trazodone, dan venlafaxine adalah antidepresan yang terkait dengan tingkat dropout tertinggi.
Beberapa antidepresan, seperti escitalopram, mirtazapine, paroxetine, agomelatine, dan sertraline memiliki respons yang relatif lebih tinggi dan tingkat dropout yang lebih rendah daripada antidepresan lainnya. Sebaliknya, reboxetine, trazodone, dan fluvoxamine dikaitkan dengan profil efikasi dan kepatuhan pengobatan yang umumnya lebih rendah dibandingkan dengan antidepresan lain, menjadikannya pilihan yang kurang menguntungkan.[4]
Memilih Antidepresan Berbasis Gejala Klinis
Seperti telah disebutkan di atas, antidepresan tertentu memiliki kecenderungan menargetkan gejala tertentu sehingga dokter dapat memilih obat yang akan digunakan berdasarkan presentasi klinis pasien. Secara garis besar, kelompok gejala utama depresi yaitu kecemasan, kelelahan, dan insomnia.
Kecemasan, mudah menangis, dan perilaku gangguan obsesif-kompulsif dianggap berkaitan dengan defisiensi serotonin, sehingga obat golongan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI) seperti fluoxetine dapat dipilih.
Gejala kelelahan diduga berkaitan dengan gangguan pada jalur noradrenergik dan dopaminergik, sehingga serotonin and norepinephrine reuptake inhibitor (SNRI) seperti venlafaxine, atau norepinephrine and dopamine reuptake inhibitors (NDRI) seperti bupropion, dapat dipilih.
Pasien dengan insomnia dapat memanfaatkan antidepresan dengan efek sedasi, misalnya trazodone.[1,6]
Tabel 1. Gejala dan Pilihan Awal Obat Antidepresan
Gejala | Preferensi obat antidepresan |
Cemas | SSRI (Selective serotonin reuptake inhibitors) Moclobemide |
Berat badan berkurang, penurunan nafsu makan | Mirtazapine Mianserin |
Gangguan tidur, insomnia | Agomelatine Mirtazapine Mianserin TCA (Tricyclic antidepressant) |
Disfungsi seksual | Agomelatine |
Blunting, anhedonia, demotivasi | SSRI Serotonin noradrenaline reuptake inhibitors Agomelatine Monoamine oxidase inhibitors Reboxetine |
Melankolia, depresi berat | Serotonin noradrenaline reuptake inhibitors TCA Vortioxetine Monoamine oxidase inhibitors |
Nyeri | Duloxetine TCA |
Gangguan kognitif | Vortioxetine |
Sumber: dr. Damba, 2022.[1,6]
Pertimbangkan Pemilihan Antidepresan Berdasarkan Obat Lain yang Dikonsumsi Pasien
Pada sejumlah orang, depresi bukan satu-satunya kondisi medis yang dialami. Dokter perlu mempertimbangkan obat lain yang juga dikonsumsi pasien untuk meminimalkan efek yang tidak diinginkan. Sebagai contoh, terdapat peningkatan risiko sindrom serotonin jika SSRI dikonsumsi dengan tramadol, St John's wort, atau inhibitor monoamine oksidase (MAOIs). Selain itu, penggunaan SSRI dengan obat antikoagulan, seperti warfarin, dapat meningkatkan risiko perdarahan.[1]
Tabel 2. Saran Penggunaan Antidepresan Jika Bersamaan dengan Penggunaan Obat Lain
Jenis Obat | Antidepresan Rekomendasi |
Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) | Sedapat mungkin tidak memakai SSRI. Bila terpaksa, dapat diberikan obat gastro-protektif secara bersamaan, seperti omeprazole. Dapat dipertimbangkan pemakaian mirtazapine, moclobemide atau trazodone. |
Warfarin atau heparin | Tidak disarankan memakai SSRI. Mirtazapine dapat dipertimbangkan. |
Teofilin atau metadone | Dapat dipertimbangkan pemakaian citalopram atau sertraline. |
Clozapine | Dapat dipertimbangkan pemakaian citalopram atau sertraline. |
‘Triptan’ obat untuk migraine | Tidak disarankan memakai SSRI. Mirtazapine atau trazodone dapat digunakan. |
Aspirin | Jika tidak ada alternatif obat lain, SSRI dapat digunakan namun dengan catatan ditambahkan obat gastroprotektif. Dapat dipertimbangkan memakai trazodone jika aspirin digunakan sebagai single agent. Mirtazapine adalah alternatif lainnya. |
MAOI, seperti selegiline atau rasagiline | Tidak disarankan memakai SSRI. Mirtazapine atau trazodone dapat digunakan. |
Flecainide atau propafenone | Sertraline diutamakan. Mirtazapine atau moclobemide dapat juga digunakan. |
Sumber: dr. Damba, 2022.[1]
Pemilihan Antidepresan pada Orang Usia Lanjut
Pada pasien usia lanjut, SSRI umumnya merupakan pilihan lini pertama karena memberikan manfaat yang cukup besar, termasuk kemungkinan efek samping yang lebih sedikit. SSRI juga lebih aman dalam hal risiko overdosis, titrasi dosis yang lebih sedikit, pemberian sekali sehari, dan kepatuhan pasien yang lebih besar.
Fluoxetine tidak dipertimbangkan sebagai lini pertama pada kelompok pasien ini, karena durasi kerjanya yang lebih lama, risiko akumulasi dan interaksi obat yang berlipat ganda. Hal lain yang penting dipertimbangkan adalah potensi efek samping seperti sedasi dan risiko jatuh.
Antidepresan trisiklik (TCA), seperti amitriptyline, kurang cocok pada populasi pasien ini karena efek samping antimuskarinik.[2,5,6]
Pertimbangkan Perubahan Fisiologis Terkait Usia
Karena perubahan sensitivitas farmakodinamik dan farmakokinetik, orang dewasa yang lebih tua biasanya membutuhkan waktu lebih lama untuk merespons antidepresan, dan lebih sensitif terhadap efek sampingnya. Oleh karena itu, pengobatan minimal 6 minggu harus diberikan sebelum menganggap pengobatan tidak efektif.
Umumnya dosis awal dan keseluruhan yang lebih rendah diperlukan pada lansia. Selain itu, pertimbangkan potensi polifarmasi karena banyak lansia mengonsumsi setidaknya 4 atau lebih jenis obat. Hal ini mengarah ke potensi yang signifikan untuk interaksi obat-obat dan obat-penyakit.[5,6]
Pemilihan Antidepresan pada Anak dan Remaja
Anak atau remaja tidak boleh diberikan obat antidepresan kecuali dikombinasikan dengan psikoterapi. Pada individu di bawah usia 18 tahun peresepan obat antidepresan sebaiknya hanya dilakukan oleh Psikiater Konsultan Anak dan Remaja.
Secara umum, fluoxetine merupakan pilihan SSRI lini pertama. Pada populasi pasien ini, fluoxetine dilaporkan sebagai satu-satunya antidepresan yang menunjukkan manfaat lebih besar daripada risiko.
Sertraline dan citalopram dapat digunakan sebagai agen lini kedua. Penggunaan kedua obat ini harus berhati-hati dan di bawah pengawasan ketat.
Penggunaan paroxetine, venlafaxine, TCA, dan St John's wort untuk pengobatan depresi pada kelompok usia ini tidak direkomendasikan.[2,7]
Perhatian Khusus
Penting untuk dicatat bahwa perilaku yang berhubungan dengan bunuh diri dan agresivitas lebih sering diamati dalam uji klinis di antara anak-anak dan remaja yang diobati dengan antidepresan dibandingkan dengan mereka yang diobati dengan plasebo. Seorang anak atau remaja yang diberi resep antidepresan harus dipantau secara ketat oleh dokter atau psikolog klinis untuk memonitor munculnya perilaku bunuh diri, menyakiti diri sendiri, dan agresivitas, terutama pada awal pengobatan.[2,7]
Pemilihan Antidepresan pada Ibu Hamil
Sekitar 10% wanita hamil mengalami depresi pada suatu waktu selama kehamilan, maka penting untuk memastikan bahwa kesehatan mental ibu hamil mendapat perawatan optimal. Antidepresan dapat digunakan saat kehamilan, namun risiko dan manfaat penggunaan harus dipertimbangkan berdasarkan kasus per kasus. Inisiasi obat antidepresan pada kehamilan hanya boleh dilakukan oleh psikiater.
Antidepresan perlu dipertimbangkan untuk perempuan dengan depresi selama kehamilan jika memiliki riwayat depresi berat dan kondisinya menurun, atau gejalanya tidak respon dengan psikoterapi.
Pilihan Antidepresan dan Risiko Selama Kehamilan
Risiko teratogenisitas terendah yang diketahui selama kehamilan adalah dengan TCA, seperti amitriptyline dan imipramine. Namun, obat tersebut lebih mungkin menyebabkan kematian jika dikonsumsi secara overdosis dibandingkan dengan SSRI.
SSRI dengan risiko teratogenik terendah yang diketahui selama kehamilan adalah fluoxetine. Salah satu studi menyebutkan sertraline menghasilkan paparan bayi rendah. Namun, jika pasien akan diberi resep SSRI lain, lebih bijaksana untuk melanjutkan SSRI yang sama untuk menghindari risiko kekambuhan.
Risiko retardasi pertumbuhan intrauterin lebih besar pada depresi berat yang tidak diobati dibandingkan dengan obat-obatan seperti fluoxetine. Oleh karena itu, disarankan untuk melanjutkan obat antidepresan pada depresi berat.
Paroxetine telah secara khusus dikaitkan dengan malformasi jantung, terutama setelah dosis tinggi (> 25mg/hari) dan pada paparan trimester pertama.
Sindrom penarikan obat (withdrawal) atau toksisitas dapat terjadi pada neonatus dengan paparan antidepresan apapun selama kehamilan, khususnya paroxetine dan venlafaxine.[5,8]
Pemilihan Antidepresan pada Ibu Menyusui
Banyak kasus depresi postpartum telah dimulai sebelum kelahiran. Dalam memilih antidepresan pada ibu menyusui, hal yang sangat penting dipertimbangkan adalah rasio manfaat untuk ibu dan risiko paparan obat pada bayi.
Tingkat terendah dalam ASI dicatat dengan imipramine, nortriptyline, dan sertraline. Tingkat tertinggi dalam ASI dicatat dengan citalopram dan fluoxetine.[5,8]
Kesimpulan
Setelah memutuskan bahwa pasien perlu menggunakan obat antidepresan, pilihan obat tergantung pada tingkat keparahan dan pola gejala episode depresi. Perlu diperhatikan keseimbangan antara kemanjuran dan tolerabilitas, juga pertimbangan mengenai keselamatan pasien, interaksi obat, dan preferensi pasien. Pada beberapa kasus tertentu, seperti kelompok usia anak dan remaja, lansia, maupun ibu baru melahirkan maka pemilihan antidepresan membutuhkan perhatian ekstra.