Pemilihan obat antihipertensi perlu diperhatikan pemberiannya pada hipertensi selama kehamilan dan preeklampsia. Hal ini dikarenakan tidak semua obat antihipertensi dapat diberikan selama proses kehamilan. Tidak semua obat antihipertensi aman digunakan oleh ibu hamil dengan hipertensi oleh karena efek buruk untuk janin dan efek samping yang tidak diinginkan.
Melalui pemberian terapi antihipertensi yang tepat, diharapkan dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas maternal pada kehamilan. Hipertensi merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas tersering pada kehamilan. Hipertensi pada kehamilan ditandai dengan peningkatan sistolik ≥140 mmHg dan diastolik ≥90 mmHg.[1–3]
Hipertensi diperkirakan terjadi pada sekitar 6–8% kehamilan. Angka mortalitas akibat hipertensi mencapai 14% dan meningkat menjadi 15% di negara berkembang dengan sosial ekonomi yang rendah. Di Indonesia, menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), diperkirakan hipertensi terjadi pada 6,3% kehamilan. Beberapa faktor risiko yang memengaruhi diantaranya lingkar lengan atas >30 cm, usia >35 tahun, status gizi, dan pendidikan rendah.[1–3]
Klasifikasi Hipertensi pada Kehamilan
Berdasarkan National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP) dan American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), hipertensi dibagi menjadi 4 kategori, yaitu:
Hipertensi kronis, yaitu hipertensi yang terjadi pada usia kehamilan di bawah 20 minggu atau menetap sampai lebih dari 12 minggu post partum
- Hipertensi gestasional, yaitu hipertensi yang terjadi pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu tanpa disertai proteinuria atau gejala preeclampsia
Preeclampsia, yaitu hipertensi yang terjadi pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu disertai proteinuria atau hipertensi yang terjadi pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu disertai dengan kegagalan organ dan dapat disertai atau tidak disertai dengan proteinuria
Eklampsia, yaitu preeclampsia yang disertai dengan kejang[2,4]
Penatalaksanaan hipertensi pada kehamilan penting untuk luaran maternal dan janin yang lebih baik. Penelitian Garovic, et al. tahun 2010 menemukan bahwa terdapat peningkatan risiko gangguan kardiovaskular dan risiko stroke pada riwayat hipertensi pada kehamilan.
Hal ini dikarenakan pada usia 40 tahun, pasien yang memiliki riwayat hipertensi pada kehamilan memiliki risiko mengalami hipertensi kembali lebih awal daripada mereka yang tidak. Melalui pemberian terapi antihipertensi pada kehamilan yang tepat, diharapkan risiko ini dapat diminimalisir.[5,6]
Penelitian meta analisis oleh Webster et al, menilai dampak pemberian antihipertensi terhadap janin dan ibu hamil dengan hipertensi kronis. Pada studi, ditemukan pemberian obat antihipertensi menurunkan insidens hipertensi berat akibat komplikasi dari hipertensi kronik dibandingkan dengan plasebo maupun tanpa antihipertensi.
Akan tetapi, tidak ada perbedaan bermakna pada luaran perinatal yang bermakna secara statistik. Analisis stillbirth maupun kematian neonatus tidak berbeda secara signifikan antara ibu yang diberikan antihipertensi maupun tidak.[7]
Obat Antihipertensi yang Disarankan untuk Ibu Hamil
Terdapat beberapa obat antihipertensi yang disarankan untuk ibu hamil. Menurut NHBPEP, pilihan obat tersebut diantaranya metildopa, labetalol, golongan beta bloker (selain atenolol), nifedipine slow release, dan golongan diuretik. Sementara obat golongan angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACEI) dan angiotensin II receptor blockers (ARB) dikontraindikasikan pada ibu hamil.[2,16,17]
Pilihan Obat Antihipertensi Pada Hipertensi Kronik pada Ibu Hamil
Obat antihipertensi yang menjadi lini pertama pada hipertensi kronik adalah metildopa. Selain itu, terdapat antihipertensi lain yang direkomendasikan, seperti labetalol, nifedipine, hidralazine, dan golongan diuretik.
Metildopa:
Metildopa bekerja sebagai alfa-2-adrenergik agonis receptor. Obat ini bekerja dengan cara menurunkan aliran simpatis sentral, menurunkan resistensi vaskular sistemik tanpa menurunkan cardiac output.
Metildopa memiliki efek samping berupa lelah, depresi, dan gangguan tidur, sehingga penggunaan obat ini tidak disarankan pada wanita hamil yang memiliki riwayat depresi atau kecenderungan untuk menjadi depresi.[2,4,16,17]
Labetalol:
Labetalol merupakan golongan beta bloker nonselektif yang bekerja menghambat α-1-receptor di vaskular. Tidak ditemukan efek teratogenik pada janin, tetapi penggunaan obat ini dikaitkan dengan bradikardi pada janin dan risiko hipoglikemia neonatus.[2,8,16,17]
Nifedipine:
Nifedipine slow release sering digunakan sebagai lini kedua antihipertensi pada kehamilan. Nifedipine memberikan efek vasodilator arterial. Beberapa efek samping yang dapat ditimbul diantaranya takikardi, palpitasi, edema perifer, nyeri kepala, dan kemerahan pada wajah.[2,8,16,17]
Hidralazine:
Hidralazine merupakan obat antihipertensi yang biasanya diberikan pada derajat keparahan yang berat. Obat ini berfungsi merelaksasi otot polos arteriolar. Beberapa efek samping yang dapat timbul diantaranya nyeri kepala, mual, dan palpitasi.[2,8,16,17]
Golongan Diuretik:
Pilihan obat lainnya yang dapat diberikan adalah golongan diuretik. Masih terjadi pro dan kontra mengenai penggunaan diuretik pada ibu hamil. Pilihan obat yang dapat diberikan yaitu tiazid. Akan tetapi, obat ini memiliki efek samping malformasi janin.[4,16,17]
Rekomendasi ACOG untuk Pemberian Antihipertensi pada Ibu Hamil
Sesuai dengan rekomendasi ACOG, metildopa dan labetalol merupakan obat antihipertensi lini pertama pada hipertensi dalam kehamilan. Akan tetapi, hanya metildopa yang masuk kategori B dalam daftar obat FDA, sehingga menjadi satu–satunya obat antihipertensi yang aman pada kehamilan. Sementara labetalol masuk dalam dalam kategori C.
Selain metildopa, tiazid juga merupakan obat antihipertensi yang masuk kategori B, tetapi penggunaan tiazid tidak direkomendasikan karena memiliki efek samping malformasi janin. Selain labetalol, obat antihipertensi lain juga masuk kategori C dalam daftar obat FDA, diantaranya nifedipin dan verapamil. Sementara hidralazin masuk dalam kategori D.[2,4]
Pemberian Obat Antihipertensi berdasarkan Derajat Keparahan
Sesuai dengan NHBPEP, hipertensi dibagi menjadi dua derajat dalam penatalaksanaannya, yaitu:
- Hipertensi derajat ringan-sedang, yaitu hipertensi yang ditandai dengan tekanan sistolik diantara 140–159 mmHg dan diastolik diantara 90–109 mmHg
- Hipertensi berat, yaitu hipertensi yang ditandai dengan nilai sistolik ≥160 mmHg dan diastolik ≥110 mmHg[4,16]
Pada wanita dengan hipertensi kronis, pemberian obat antihipertensi disesuaikan dengan pengobatan sebelumnya dan obat–obatan dapat dilanjutkan sesuai kondisi pasien saat ini, kecuali obat antihipertensi golongan ARB dan ACEi.
Obat golongan ACEi dan ARB dihentikan, karena memiliki efek samping yang berbahaya bagi ibu dan janin. Berdasarkan FDA, ACEi dan ARB masuk dalam kategori C pada trimester pertama, dan kategori D pada trimester 2 dan 3.[4,9,10]
Pilihan Antihipertensi Pada Hipertensi Derajat Ringan–Sedang
Hingga saat ini, belum ada konsensus yang menunjukkan jenis obat–obatan antihipertensi yang wajib digunakan pada derajat ringan-sedang. Control of Hypertension in Pregnancy Study (CHIPS) tahun 2015 melakukan penelitian dengan membandingkan pemberian obat antihipertensi pada derajat ringan–sedang dengan plasebo.
Melalui penelitian CHIPS, didapatkan bahwa pemberian obat antihipertensi pada derajat ringan–sedang mampu menurunkan risiko perkembangan penyakit menjadi hipertensi derajat berat. Akan tetapi, hal ini masih perlu diteliti lebih lanjut terutama terkait dengan efek samping yang dapat ditimbulkan apabila terapi dilakukan pada derajat ringan–sedang.[4,9]
Anjuran NHBPEP adalah menunggu pemberian obat antihipertensi pada ibu dengan riwayat hipertensi kronis. Pemberian obat antihipertensi diberikan pada tekanan darah sistolik >150–160 mmHg atau diastolik 100–110 mmHg, atau dengan ada tanda–tanda pembesaran jantung kiri (LVH) atau gangguan ginjal. Target tekanan darah pada ibu hamil dengan hipertensi kronis adalah <140/90 mmHg. Pada preeklampsia, obat antihipertensi dapat ditunda kecuali tekanan diastolik persisten di atas 105–110 mmHg.[11,19]
Hal ini sedikit berbeda dengan pedoman ACOG yang menyarankan pemberian antihipertensi ketika tekanan darah ≥160/110 mmHg, kecuali terdapat komorbid dan gangguan fungsi ginjal.
Senada dengan ACOG, American Heart Association (AHA) merekomendasikan pemberian antihipertensi tidak dilakukan secara agresif dan diberikan pada pasien dengan hipertensi kronik yang memiliki diastolik >100 mmHg atau dengan penyakit penyerta seperti diabetes melitus dan gangguan ginjal.[4,5,12]
Beberapa pilihan obat yang dapat diberikan pada hipertensi ringan–sedang diantaranya metildopa, labetalol, dan nifedipin kerja lama. Terapi lini pertama pada kasus ini adalah metildopa. Pemberian metildopa dalam jangka waktu lama terbukti aman, sehingga obat ini direkomendasikan sebagai terapi pada hipertensi kronis.
Terdapat penelitian yang membandingkan antara pemberian labetalol dan metildopa. Melalui penelitian ini didapatkan hasil yang sama baik antara pemberian kedua obat, sehingga labetalol dapat dijadikan sebagai terapi lini kedua pada hipertensi ringan–sedang.[4,9,20]
Terdapat penelitian lain yang membandingkan antara pemberian nifedipin dan labetalol pada kehamilan meliputi efek antihipertensi dan efek samping yang mungkin terjadi. Dari penelitian ini didapatkan hasil labetalol lebih aman, lebih cepat kerja obatnya, dan memiliki efek samping bagi ibu dan janin lebih sedikit dibandingkan dengan nifedipin.[13,20]
Pilihan Antihipertensi pada Hipertensi Derajat Berat
Pada hipertensi berat, nifedipin kerja pendek, labetalol, hidralazine dan metildopa dapat diberikan. Penelitian menemukan bahwa pemberian nifedipin oral atau sublingual memiliki efek samping yang hampir sama dengan pemberian hidralazine.
Hidralazine intravena dahulu kala merupakan obat lini pertama pada hipertensi berat. Hidralazine berfungsi menurunkan tekanan darah secara cepat dan dianggap lebih aman dibandingkan dengan pemberian labetalol secara intravena.[4,8,18]
Akan tetapi, karena efek samping hidralazine cukup membahayakan bagi ibu dan janin, pemberian obat ini harus dengan observasi ketat guna melihat kemungkinan efek samping berupa impending eklampsia, sindrom HELLPS (hemolysis, elevated liver enzyme levels, and low platelet levels), maupun gawat janin.[4,8,18]
Aspek Keamanan Obat Antihipertensi pada Janin
Sesuai dengan Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), tujuan pemberian terapi antihipertensi adalah menurunkan angka mortalitas dan morbiditas maternal.
Studi CHIPS tahun 2015 menemukan bahwa pengobatan antihipertensi tidak terbukti dapat mengurangi insiden gangguan pertumbuhan janin, solusio plasenta, superimposed preeklampsia atau memperbaiki luaran perinatal.
Pemberian antihipertensi meningkatkan kemungkinan terjadinya gangguan pertumbuhan janin sebanding dengan penurunan tekanan arteri rata–rata. Hal ini dikarenakan pemberian terapi antihipertensi memiliki efek negatif pada perfusi uteroplasenta.[12,14,15]
Guna mengurangi efek samping pada janin, AHA merekomendasikan pemberian antihipertensi pada usia kehamilan diatas trimester pertama. Hal ini dilakukan agar gangguan perfusi uteroplasenta tidak terjadi terlalu lama sehingga dapat mengurangi risiko efek samping pada janin.[5]
Kesimpulan
Hipertensi pada kehamilan ditandai dengan peningkatan sistolik ≥140 mmHg dan diastolik ≥90 mmHg. Keadaan ini perlu menjadi perhatian karena merupakan penyakit dengan penyebab tersering kematian pada ibu disamping infeksi dan perdarahan.
Berdasarkan studi meta analisis, pemberian obat antihipertensi pada ibu dengan hipertensi kronik menguntungkan bagi ibu hamil. Pemberian obat antihipertensi terbukti menurunkan komplikasi hipertensi kronis menjadi severe hypertension, walaupun pemberian obat ini tidak memengaruhi luaran perinatal.
Saat ini, terdapat beberapa pilihan terapi hipertensi pada kehamilan yang dapat dipilih, diantaranya metildopa, nifedipin, labetalol, hidralazine, dan golongan diuretik. Sementara untuk golongan ACEI dan ARB tidak boleh diberikan karena memiliki efek samping yang membahayakan ibu dan janin.
Selain itu, terapi antihipertensi dibagi berdasarkan derajat hipertensi yang dialami yaitu derajat ringan–sedang dan berat. Pada hipertensi ringan–sedang, pemberian antihipertensi yang dapat diberikan yaitu metildopa, labetalol, dan nifedipin kerja pendek. Sementara pada hipertensi berat, obat antihipertensi biasanya diberikan melalui intravena. Terdapat dua obat yang sering digunakan pada kasus ini, yaitu hidralazine dan labetalol.
Saat ini, masih ada perbedaan rekomendasi antara National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP) dengan American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) dan American Heart Association (AHA). Maka dari itu, masih dibutuhkan penelitian lebih besar untuk memahami lebih lanjut mengenai derajat hipertensi, efektivitas dan keamanan obat antihipertensi dan luaran pada ibu dan janin.
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli