Psikofarmaka dapat menyebabkan efek iatrogenik. Adapun efek iatrogenik dari penggunaan psikofarmaka yang perlu diperhatikan adalah tardive dyskinesia (TDK), berbagai kelainan neurologi, disregulasi glukosa, gangguan jantung, dan gangguan metabolik. Hal ini dapat terjadi akibat toksisitas langsung, interaksi obat, intoksikasi, maupun gejala putus zat. Efek ini selanjutnya juga dapat mempengaruhi kepatuhan pengobatan, potensi menuju kesembuhan, dan kualitas hidup pasien.[1-6]
Konsep Iatrogenesis, Komorbiditas Iatrogenik, dan Kaskade Iatrogenesis terkait Psikofarmaka
Efek samping dan risiko terkait intervensi medis, termasuk penggunaan psikofarmaka, disebut dengan iatrogenesis. Pada bidang psikiatri, beberapa iatrogenesis yang dikhawatirkan terkait penggunaan psikofarmaka mencakup tardive dyskinesia dan disregulasi glukosa yang telah dihubungkan dengan penggunaan obat antipsikotika; serta gangguan metabolik dan jantung yang telah dikaitkan dengan penggunaan antidepresan.
Selain dari itu, hampir seluruh obat golongan antidepresan juga berpotensi menimbulkan efek samping disfungsi seksual. Antidepresan serotonergik, seperti golongan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) dan selective serotonin-norepinephrine reuptake Inhibitors (SNRI) dilaporkan berisiko menimbulkan efek samping disfungsi seksual yang lebih tinggi jika dibandingkan antidepresan golongan lain.[1,7]
Konsep Komorbiditas Iatrogenik dan Kaitannya dengan Psikofarmaka
Komorbiditas iatrogenik dapat diartikan sebagai perubahan tidak menguntungkan dalam perjalanan, karakteristik, dan respons terhadap pengobatan penyakit yang mungkin terkait dengan terapi yang diberikan sebelumnya. Kondisi ini dapat bermanifestasi selama pengobatan atau setelah penghentian pengobatan. Perubahan yang timbul dapat persisten atau berlangsung singkat, misalnya pada kasus putus zat.[1]
Contoh komorbiditas iatrogenik adalah timbulnya mania atau bentuk lain dari perilaku berlebihan yang terkait dengan penggunaan obat antidepresan pada pasien depresi unipolar. Hal ini bisa saja timbul akibat kondisi bipolar yang tidak diketahui sebelumnya, namun juga bisa disebabkan oleh pemberian antidepresan itu sendiri. Bukti ilmiah yang tersedia telah mengindikasikan bahwa obat antidepresan meningkatkan risiko timbulnya aktivasi gairah berlebihan pada pasien dengan gangguan cemas dan depresi dibandingkan plasebo.[1,8]
Konsep Kaskade Iatrogenesis dan Kaitannya dengan Psikofarmaka
Kaskade iatrogenesis diartikan sebagai serangkaian efek samping yang dipicu oleh intervensi medis yang awalnya mungkin dianggap tidak bermakna. Contoh dari kaskade iatrogenesis pada bidang psikiatri adalah kesalahpahaman terhadap gejala putus obat yang dikira sebagai munculnya tanda relaps. Pada kondisi ini, tenaga medis bisa saja memutuskan untuk memberi pasien modifikasi dosis atau jenis obat. Hal ini nantinya berisiko menyebabkan toksisitas ataupun refrakter terhadap terapi. Dalam kasus depresi misalnya, efek yang dapat ditimbulkan akan mencakup penurunan kemungkinan remisi, peningkatan risiko kekambuhan, dan intoleransi terhadap terapi.[1]
Contoh lain adalah pemberian psikofarmaka tanpa indikasi yang didasarkan pada bukti ilmiah adekuat, misalnya penggunaan paroxetine pada pasien yang memiliki gejala depresi ringan atau yang sebetulnya dapat didiagnosis dengan gangguan penyesuaian. Pemberian paroxetine pada gangguan penyesuaian belum didukung bukti ilmiah adekuat, sehingga peresepan obat yang tidak perlu ini dapat meningkatkan risiko ketergantungan, timbulnya episode depresi mayor, gejala putus obat jika terapi dihentikan, serta gangguan persisten setelah terapi dihentikan seperti fluktuasi mood dan kecemasan.[1,9,10]
Beberapa Potensi Efek Iatrogenik Psikofarmaka
Tidak bisa dipungkiri, penemuan psikofarmaka membawa kemajuan pesat dalam bidang psikiatri modern dan telah dijadikan alat terapi unggulan untuk berbagai kasus gangguan jiwa. Meski demikian, penggunaan psikofarmaka masih terkendala dalam hal mencari jalan tengah untuk mendapat efikasi terbaik dan risiko keamanan yang seminimal mungkin. Di bawah ini akan dijabarkan berbagai potensi efek iatrogenik psikofarmaka yang perlu diwaspadai.
Tardive Dyskinesia (TDK)
Tardive dyskinesia (TDK) merupakan efek iatrogenik yang dapat terjadi pada penggunaan antipsikotika. Mempertimbangkan pemberian antipsikotika atipikal dengan efek samping TDK yang rendah, seperti aripiprazole, quetiapin, dan clozapine, dianggap sebagai salah satu pilihan pendekatan terapi yang dapat meningkatkan kualitas hidup, mencegah deteriorasi neurologi, dan mencegah deteriorasi fungsi.[1,7,11]
Aripiprazole sendiri dianggap memiliki potensi TDK terkecil karena mekanisme kerjanya yang merupakan agonis dopamine D2 parsial. Namun, terdapat teori serta laporan kasus yang menyebutkan bahwa paparan jangka panjang aripiprazole berpotensi mengakibatkan hipersensitivitas yang ireversibel.[7,11]
Hiperprolaktinemia
Hiperprolaktinemia dapat dijumpai akibat pemberian antipsikotika, utamanya risperidone, paliperidone, dan amisulpride. Hiperprolaktinemia dilaporkan lebih jarang terjadi pada penggunaan olanzapine, aripiprazole, quetiapin dan clozapine.
Hiperprolaktinemia akibat psikofarmaka dapat menyebabkan konsekuensi fisik seperti osteopenia, osteoporosis, peningkatan risiko kejadian kardiovaskular, dan penurunan fungsi seksual. Efek samping ini telah dilaporkan menyebabkan penurunan kepatuhan pengobatan pada pasien, yang selanjutnya akan meningkatkan risiko relaps multipel, bunuh diri, disabilitas, dan penurunan respon terapi.[7,12]
Sindrom Neuroleptik Maligna
Sindrom neuroleptik maligna adalah reaksi yang bersifat mengancam nyawa, berhubungan dengan penggunaan antipsikotika ataupun obat lain yang memblokade dopamin di sistem saraf pusat. Sindrom ini ditandai dengan demam, instabilitas autonomik, gejala ekstrapiramidal, dan perubahan status mental.
Sindrom neuroleptik maligna dikaitkan utamanya dengan penggunaan antipsikotika tipikal, namun telah terdapat laporan terjadinya sindrom ini pada penggunaan antipsikotika atipikal yang memiliki afinitas dopamin lebih rendah. Awitan gejala umumnya timbul dalam 24 jam hingga 1 bulan setelah inisiasi terapi. Gejala dapat membaik dengan penghentian terapi, namun telah dikaitkan dengan angka mortalitas yang mencapai 10-20% apabila tidak ditangani.[13]
Peningkatan Berat Badan
Peningkatan berat badan dan efek metabolik merupakan salah satu efek samping antipsikotika atipikal yang paling banyak dikeluhkan. Risiko tertinggi dilaporkan pada penggunaan clozapine dan olanzapine, sementara risiko terendah dilaporkan pada penggunaan aripiprazole, lurasidone, dan ziprasidone. Pada golongan antipsikotika tipikal, chlorpromazine dilaporkan memiliki risiko tertinggi; sedangkan fluphenazine, haloperidol, dan pimozide dilaporkan memiliki risko terendah.[13]
Disregulasi Glukosa
Obat antipsikotika atipikal telah dihubungkan dengan disregulasi glukosa, terlepas dari ada atau tidaknya peningkatan berat badan. Disregulasi glukosa ini lebih banyak ditemukan pada pasien yang mengonsumsi polifarmaka dan dapat menyebabkan ketoasidosis diabetik. Ketoasidosis diabetik juga telah dilaporkan akibat penggunaan antipsikotika tipikal dan lithium.[13]
Gangguan Kardiovaskular
Kardiotoksisitas terkait psikofarmaka dapat timbul dalam bentuk miokarditis akut ataupun kardiomiopati kronik. Meskipun kejadiannya termasuk jarang, kardiotoksisitas seringkali dilaporkan berkaitan dengan penggunaan clozapine, dengan insidensi diperkirakan berkisar antara 0,7-1,2%.
Selain itu, antidepresan trisiklik telah diketahui dapat menyebabkan peningkatan frekuensi nadi dan menyebabkan aritmia yang fatal jika digunakan dalam dosis berlebih.
Psikofarmaka juga telah dikaitkan dengan pelebaran kompleks QRS dan pemanjangan interval QT. Beberapa contoh psikofarmaka yang berpotensi menimbulkan efek ini adalah citalopram, amitriptyline, imipramine, desipramine, ziprasidone, iloperidone, risperidone, dan haloperidol.[13]
Gangguan Hormon Tiroid
Lithium diduga dapat menginhibisi sintesis dan pelepasan hormon tiroid, menyebabkan hipotiroid. Risiko akan meningkat pada pasien wanita yang berusia > 50 tahun, serta pada mereka yang memiliki riwayat keluarga dengan gangguan tiroid.
Lithium juga diduga dapat menyebabkan hipertiroid, walaupun kejadiannya sangat jarang. Mekanisme yang diduga berperan adalah efek toksik langsung terhadap kelenjar tiroid ataupun induksi autoimunitas.[13]
Gangguan Gastrointestinal
Gejala gastrointestinal, termasuk nyeri perut, mual, muntah, sembelit, dan diare, adalah efek gastrointestinal yang paling banyak dilaporkan pada penggunaan psikofarmaka. Efek ini paling banyak dilaporkan terkait penggunaan antidepresan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI).
Selain itu, penggunaan psikofarmaka juga telah dikaitkan dengan efek berupa pankreatitis. Pankreatitis adalah konsekuensi serius namun jarang dari penggunaan obat psikiatri. Asam valproat dilaporkan sebagai modalitas yang paling sering terlibat, namun antipsikotika atipikal juga telah dikaitkan dengan pankreatitis.
Sejumlah obat psikotropika juga berkaitan dengan disfungsi hepar, mulai dari kelainan pada tes laboratorium hingga cedera hepatoseluler berat. Asam valproat dilaporkan dapat menyebabkan disfungsi hepar dalam 6 bulan pertama pengobatan. Sementara obat antipsikotika umumnya dapat menyebabkan peningkatan enzim hati yang ringan dan transien.[13]
Sindrom Serotonin
Sindrom serotonin adalah reaksi yang berpotensi mengancam jiwa yang disebabkan oleh aktivitas berlebihan reseptor serotonin pascasinaps. Sindrom ini ditandai dengan perubahan status mental, eksitasi autonom, dan kelainan neuromuskular. Sindrom ini dapat disebabkan oleh penggunaan berbagai psikofarmaka, termasuk selective serotonin reuptake inhibitors (fluoxetine, paroxetine, sertraline), serotonin-norepinephrine reuptake inhibitors (venlafaxine, desvenlafaxine, duloxetine), antidepresan trisiklik (clomipramine, imipramine), lithium, ataupun buspirone.[13]
Sindrom Ekstrapiramidal
Sindrom ekstrapiramidal disebabkan oleh pemberian obat antipsikotika. Sindrom ini ditandai oleh distonia, akatisia, Parkinsonisme, dan tardive dyskinesia. Penghentian obat dan pemberian agen antikolinergik atau beta bloker dapat membantu mengurangi gejala sindrom ekstrapiramidal.[13]
Upaya Meminimalisir Efek Iatrogenik Psikofarmaka
Dalam melakukan anamnesis sebelum memutuskan psikofarmaka apa yang terbaik bagi pasien, penting bagi klinisi selain mendiagnosis gejala klinis yang dialami juga menilai kondisi polifarmasi dan potensi interaksi obat. Selain itu, lakukan juga penilaian adanya komorbiditas yang berpotensi menimbulkan efek iatrogenik.
Adapun 6 poin yang diperhatikan saat melakukan evaluasi adalah:
- Psikofarmaka yang telah dikonsumsi sebelumnya (baik dari durasi, dosis dan kepatuhan). Penting juga untuk mengamati apakah ada penyalahgunaan zat
- Mengenali dan menanyakan mengenai efek paradoksikal dari pengobatan yang diterima, misalnya peningkatan gejala depresi setelah mengonsumsi obat antidepresan ataupun peningkatan gejala agitasi setelah mengonsumsi benzodiazepine atau antipsikotika
- Menanyakan dan mengenali apakah ada perubahan ke kondisi berkebalikan selama atau sesaat setelah pengobatan, misalnya gejala mania atau hipomania setelah konsumsi antidepresan.
- Menanyakan dan mengenali apakah terdapat gejala hilangnya efek klinis dari psikofarmaka yang secara patuh rutin dikonsumsi, utamanya pada penggunaan jangka panjang
- Menanyakan dan mengenali respons yang kurang adekuat dari psikofarmaka yang sebelumnya efektif ketika memulai lagi pengobatan setelah mengalami periode bebas obat
- Menilai dan menanyakan gejala putus zat yang timbul setelah psikofarmaka dihentikan[1]
Selain itu, klinisi juga perlu memperhatikan kesehatan fisik selain memeriksa kondisi psikis pasien. Lakukan pemeriksaan fisik umum secara periodik, yang dapat diikuti dengan pemeriksaan penunjang dan neuropsikologi jika dianggap perlu atau ada indikasi.[1,14]
Kesimpulan
Penggunaan psikofarmaka tidak luput dari efek iatrogenik. Efek ini dapat terjadi akibat toksisitas langsung, interaksi dengan obat lain, intoksikasi, maupun sindrom putus zat.
Efek iatrogenik dari psikofarmaka sangat luas, dapat melibatkan berbagai sistem organ, serta tergantung pada kondisi klinis pasien dan regimen terapi yang diberikan. Contoh dari efek iatrogenik ini misalnya tardive dyskinesia, disfungsi seksual, peningkatan berat badan, dan ketoasidosis diabetik terkait penggunaan antipsikotika; gangguan tiroid terkait penggunaan lithium; ataupun gangguan irama jantung terkait penggunaan antidepresan trisiklik.
Upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir dampak iatrogenik psikofarmaka adalah anamnesis menyeluruh untuk mengidentifikasi faktor risiko (polifarmasi, riwayat penyalahgunaan zat, dan adanya komorbiditas); serta pemeriksaan fisik berkala yang diikuti pemeriksaan penunjang jika ada indikasi. Upaya ini akan berperan dalam mencegah potensi interaksi obat dan efek samping, serta mendeteksi dini efek iatrogenik jika ada.