Imposter syndrome pada dokter merupakan kondisi psikologis yang membuat dokter meragukan kemampuan, keterampilan, kesuksesan, dan kapabilitas dirinya. Dokter yang mengalami imposter syndrome akan cenderung memandang kesuksesan yang dicapainya sebagai bagian dari faktor eksternal, seperti keberuntungan, kesalahan, ataupun dampak mengenal individu yang tepat.[1-5]
Walaupun imposter syndrome tidak dikategorikan sebagai gangguan psikiatri, kondisi ini merupakan prediktor terjadinya distress psikologis. Menurut estimasi, tingkat imposter syndrome adalah sekitar 22–60% pada mahasiswa kedokteran dan sekitar 33–44% pada residen. Profesi dokter termasuk profesi yang cukup berisiko mengalami imposter syndrome.[3,5-7]
Imposter syndrome sendiri merupakan faktor risiko terjadinya burnout dan distress psikologis, yang mencakup kelelahan emosional di tempat kerja, depresi, perasaan rendah diri, rasa malu, rasa bersalah, ansietas, dan ketidakpuasan. Burnout dan distress psikologis juga berkaitan dengan peningkatan risiko bunuh diri dan risiko konflik di lingkungan pekerjaan dan keluarga.[3,5,7]
Tanda Imposter Syndrome
Imposter syndrome ditandai dengan beberapa kondisi seperti ketidakmampuan untuk menginternalisasi kesuksesan yang dicapai, kecenderungan untuk menghubungkan kesuksesan diri sendiri sebagai suatu keberuntungan atau kesempatan dibandingkan pengakuan akan kemampuan, dan kesulitan menerima pujian tentang kepandaian atau pencapaian yang diperolehnya.[3,6,8]
Dokter yang mengalami imposter syndrome juga mungkin menunjukkan kesenjangan berupa evaluasi diri sendiri yang lebih rendah daripada evaluasi yang berasal dari pihak eksternal, ketakutan diri akan dikenali sebagai “penipu”, dan kecenderungan untuk terus mengingat atau membesar-besarkan kesalahan yang pernah dilakukan daripada mengingat pencapaian yang dihasilkan.[3,6,8]
Imposter syndrome juga ditandai dengan rasa kecewa akan pencapaian saat ini, rasa ragu untuk menjalani perubahan atau tantangan baru karena takut gagal walaupun sudah berhasil di tugas sebelumnya.[3,6,8]
Penderita imposter syndrome juga sering membandingkan diri dengan orang lain dan mempercayai bahwa orang lain pasti mampu lebih baik daripada dirinya. Selain itu, ada keengganan untuk memperoleh pencapaian yang potensial kecuali bila hal tersebut langsung diberikan ke dirinya.[3,6,8]
Faktor yang Memengaruhi Risiko Imposter Syndrome pada Dokter
Menurut studi terhadap mahasiswa kedokteran dan residen, risiko terjadinya imposter syndrome tidak berbeda bermakna antara laki-laki maupun perempuan. Beberapa komorbid gangguan psikologis dikatakan dapat muncul bersamaan dengan gejala imposter syndrome, seperti depresi, ansietas, gejala somatik, kepercayaan diri rendah, dan disfungsi sosial.[5,6]
Rendahnya kepercayaan diri dan kecenderungan perfeksionis juga berkaitan dengan peningkatan risiko imposter syndrome. Data juga menunjukkan bahwa senioritas dalam pendidikan kedokteran mungkin meningkatkan risiko imposter syndrome. Lingkungan yang penuh senioritas dapat mempersulit pengakuan diri tentang perlunya meminta bantuan atau tidak mengetahui jawaban suatu masalah, karena pengakuan ini sering diartikan sebagai tanda diri yang lemah dalam lingkungan tersebut.[5,7-10]
Sebaliknya, data yang ada menunjukkan bahwa dukungan sosial, validasi kesuksesan yang diraih, afirmasi positif, dan dukungan institusi dapat mengurangi risiko imposter syndrome. Refleksi individual dan sharing pengalaman yang sama juga dikatakan dapat menormalkan pengakuan perasaan dan mengurangi gejala imposter syndrome.[5,6,11]
Cara Menghadapi Imposter Syndrome
Saat ini belum ada tata laksana spesifik untuk mengatasi gejala imposter syndrome. Namun, umumnya gejala imposter syndrome berkurang dengan memvalidasi perasaan takut ataupun keraguan yang dialami serta mengelola ketakutan untuk gagal.[6]
Kombinasi pengembangan individual dan institusi dianggap sebagai cara yang paling direkomendasikan untuk mengurangi gejala imposter syndrome. Pengembangan individual yang dapat dilakukan mencakup pencatatan kesuksesan dan pemberian umpan balik positif, apresiasi pencapaian diri, dan pencarian mentor atau sponsor yang dianggap dapat membantu.[5,6]
Sementara itu, pengembangan institusi dapat berupa penyelenggaraan pelatihan cara menanggulangi imposter syndrome, program mentorship, serta penerapan budaya yang tidak menghukum kesalahan yang terjadi.[5,6]
Terapi kelompok juga dikatakan dapat membantu karena penderita imposter syndrome sering merasa terisolasi dan merasa imposter syndrome hanya dialami oleh dirinya. Hal yang dapat dibahas dalam grup terapi adalah ketakutan atau kegagalan yang dihadapi. Namun, peserta dokter mungkin menolak untuk berpartisipasi dalam terapi kelompok, sehingga jenis terapi yang mampu merendahkan stigma dan menyediakan lingkungan yang aman untuk sharing pengalaman secara terbuka harus disiapkan.[6]
Kesimpulan
Dokter merupakan salah satu profesi yang rentan mengalami imposter syndrome. Kondisi ini merupakan prediktor terjadinya distress psikologis yang berdampak pada penurunan produktivitas, peningkatan risiko burnout, peningkatan risiko depresi dan bunuh diri, serta peningkatan konflik di lingkungan pekerjaan atau keluarga.[3,5,7]
Rasa rendah diri dan kecenderungan perfeksionis merupakan faktor risiko terjadinya imposter syndrome. Sasaran tata laksana harus mencakup pemahaman akan perasaan takut, pemahaman keraguan yang dialami, dan pengelolaan ketakutan akan kegagalan. Institusi pendidikan dan tempat dokter bekerja juga harus turut menyediakan dukungan untuk mengurangi senioritas dan budaya menghukum, menyelenggarakan edukasi cara menanggulangi imposter syndrome, dan melaksanakan program mentorship.[5,6]