White lung pneumonia yang dikenal juga sebagai mycoplasma pneumonia terjadi secara berkelompok dan menyerang pasien immunocompromised seperti anak-anak dan orang tua. White lung disease adalah istilah yang digunakan untuk bercak putih pada rontgen dada yang paling sering disebabkan oleh Mycoplasma pneumoniae, namun bisa juga disebabkan oleh virus pernapasan.
Sejak Oktober 2023, terjadi peningkatan kasus pneumonia secara drastis pada anak-anak di utara Tiongkok. Peningkatan kasus ini dikonfirmasi secara nasional di Tiongkok pada November 2023. Fenomena ini diduga terkait dengan pencabutan pembatasan COVID-19 dan perubahan musim ke musim dingin.[1-3]
Etiologi White Lung Pneumonia
Pemeriksaan kesehatan di Tiongkok mengidentifikasi Mycoplasma pneumoniae sebagai penyebab utama kenaikan kasus pneumonia anak sejak Mei 2023, dan respiratory syncytial virus (RSV), adenovirus, dan virus influenza sejak Oktober 2023. Investigasi menunjukkan tidak ada patogen baru teridentifikasi.[1-3]
Kejadian serupa juga dilaporkan di Denmark, Belanda, Irlandia, dan Perancis. Pada 5 Desember 2023, beberapa pasien di DKI Jakarta, Indonesia, dikonfirmasi mengalami pneumonia akibat Mycoplasma pneumoniae. Mayoritas anak-anak mengalami gejala seperti batuk yang memburuk, nyeri tenggorokan, sesak napas, dan kelelahan.[1-3]
Meskipun belum ada bukti bahwa peningkatan kasus pneumonia di Tiongkok disebabkan oleh patogen baru, WHO meminta Tiongkok untuk menyelidiki lebih lanjut informasi mengenai anak-anak yang terkena pneumonia. WHO berkomitmen untuk memberikan pembaruan terkini dari hasil penyelidikan tersebut, dengan harapan dapat mencegah perluasan kasus serupa yang terjadi pada masa pandemi COVID-19.
WHO juga menyarankan masyarakat Tiongkok untuk kembali menerapkan langkah-langkah pencegahan, seperti vaksinasi, menjaga jarak dari individu yang sakit, menggunakan masker, memastikan ventilasi yang memadai, menjalani pemeriksaan jika merasa tidak sehat, dan tetap di rumah saat kondisi kesehatan kurang baik.[4-5]
Memahami Lonjakan Kasus Mycoplasma Pneumonia Pasca Isolasi COVID
Pembatasan sosial yang berkepanjangan untuk menunda penyebaran COVID-19 diduga menyebabkan lonjakan kasus pneumonia akibat Mycoplasma pneumoniae dan RSV di beberapa negara. Meskipun berhasil memperlambat atau meratakan kurva kasus penularan COVID-19, kurangnya paparan terhadap mikroba umum seperti Mycoplasma pneumoniae dan RSV menurunkan kualitas kekebalan sehingga meningkatkan risiko terkena pneumonia yang disebabkan oleh kedua mikroba tersebut.[1-3]
Di Tiongkok, klaster infeksi yang umumnya dikenal sebagai ‘walking pneumonia’ telah mengisi banyak rumah sakit dan dikaitkan dengan pengangkatan pembatasan COVID-19 yang memperbesar lonjakan penyakit yang biasanya terjadi selama musim dingin.[1-3]
Infeksi Mycoplasma biasanya muncul secara berkelompok, memengaruhi kelompok populasi yang belum mengembangkan kekebalan. Oleh karena itu, penyakit ini cenderung menyerang anak-anak sekolah usia 6–12 tahun. Wabah Mycoplasma pneumoniae biasanya terjadi setiap tiga sampai tujuh tahun.[2,13]
Namun, selama empat tahun terakhir, jumlah infeksi mycoplasma rendah, sehingga wajar jika sekarang terjadi epidemi. Pada bulan Desember 2022, Inggris mengalami lonjakan kasus strep A di kalangan anak-anak, sebagian disebabkan oleh kurangnya kekebalan akibat pembatasan COVID-19 sebelumnya.[4]
Manifestasi Klinis Pneumonia Akibat Mycoplasma Pneumoniae dan RSV
Mycoplasma pneumoniae dan RSV dikenal sebagai penyebab pneumonia. Anak-anak, lansia, dan individu immunocompromised memiliki risiko tinggi mengalami pneumonia berat dan komplikasinya.
Gejala utama pneumonia oleh Mycoplasma pneumoniae mencakup batuk berkepanjangan, nyeri dada, sesak napas, bunyi mengi, serta keluhan di tenggorokan, hidung, dan telinga. Pemeriksaan fisik dada dapat menunjukkan ronki atau wheezing, kemerahan di sinus atau telinga, dan demam subfebris. Efusi pleura, yang mungkin terjadi pada 15–20% pasien, dapat menjadi prediktor risiko tinggi.
Pada pneumonia yang disebabkan RSV, gejala infeksi saluran pernapasan atas lebih dominan daripada saluran pernapasan bawah. Pasien sering mengalami rhinorrhea, kongesti nasal, batuk, bersin, demam, dan myalgia. RSV berisiko tinggi menyebar ke saluran pernapasan bawah, menyebabkan bronkiolitis pada anak di bawah 2 tahun, dengan ciri-ciri suara napas tambahan, sesak napas, retraksi otot pernapasan, dan pada kasus berat dapat menyebabkan apnea.[6-7]
Manajemen dan Pencegahan Anak dengan Pneumonia Akibat Mycoplasma Pneumoniae dan RSV
Meskipun sebagian besar pneumonia yang disebabkan oleh Mycoplasma pneumoniae dan RSV bersifat ringan dan dapat sembuh sendiri, beberapa kasus memerlukan terapi antibiotik. Pada pneumonia Mycoplasma pneumoniae, tanda pneumonia atipikal melibatkan gejala yang muncul secara perlahan, gejala ekstrapulmoner, dan jumlah leukosit yang normal.
Beberapa jenis antibiotik yang dapat diberikan untuk terapi pneumonia Mycoplasma pneumoniae dapat dilihat pada Tabel 1. Antibiotik golongan fluoroquinolone dikontraindikasikan pada anak karena memengaruhi perkembangan tulang dan gigi. Penggunaan fluoroquinolone juga berisiko menyebabkan ruptur tendon dan dapat berdampak pada resistensi antibiotik dalam jangka panjang.[14]
Tabel 1. Rangkuman Terapi Antibiotik untuk Pneumonia Mycoplasma pneumoniae
Jenis Kelas Antibiotik | Contoh Antibiotik | Dosis |
Makrolida | Azithromycin | ● Dewasa: 500 mg 1x1 pada hari ke-1, dilanjutkan dengan 250 mg 1x1 selama 5 hari ● Anak-anak: 10 mg/kgBB 1x1 pada hari ke-1, dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB 1x1 selama 5 hari |
Tetrasiklin | Doksisiklin | ● Dewasa: 200 mg/hari 1x1 dilanjutkan dengan 100-200 mg/hari selama 7-14 hari ● Anak-anak usia > 8 tahun: 4,4 mg/kgBB/hari terbagi dalam 2 dosis selama 7–14 hari |
Fluoroquinolone | Levofloxacin | ● Dewasa: 500 mg 1x1 selama 7–14 hari atau 750 mg 1x1 selama 5 hari |
Sumber: dr. Qorry Amanda, 2023[8-10]
Selain untuk terapi, antibiotik juga dapat dipertimbangkan diberikan sebagai profilaksis. Regimen antibiotik kelas penisilin seperti amoxicillin tidak digunakan terhadap Mycoplasma pneumoniae karena bakteri tersebut tidak memiliki struktur dinding sel, sehingga tidak akan efektif bila diberikan antibiotik kelas penisilin atau beta laktam lainnya seperti sefalosporin.[6,11]
Untuk manajemen terapi pneumonia yang disebabkan oleh RSV, pasien dapat diberikan terapi suportif sambil memonitor gejala klinis. Terapi suportif dapat antara lain berupa melakukan suction pada nasal, memberikan lubrikasi pada mukosa nasal agar tidak mudah mengalami kongesti, memberikan obat antipiretik untuk yang bergejala demam, serta melakukan hidrasi dengan baik.[7]
Profilaksis imun secara pasif dapat dilakukan melalui penggunaan palivizumab, yang diberikan kepada bayi dan anak dengan risiko tinggi terhadap infeksi RSV. Namun, saat ini palivizumab belum tersedia di Indonesia. Sementara itu, ribavirin dapat diberikan untuk pengobatan antivirus yang spesifik. Pemberian ribavirin diberikan kepada pasien RSV tertentu dengan risiko tinggi terhadap komplikasi infeksi tersebut.[7]
WHO merekomendasikan langkah-langkah pencegahan di Tiongkok untuk pneumonia yang sedang mengalami peningkatan angka kejadian. Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain vaksinasi RSV pada dewasa, menjaga jarak, tinggal di rumah saat sakit, tes medis, pemakaian masker, ventilasi baik, dan cuci tangan rutin.[5]
Pelancong disarankan untuk menghindari bepergian saat sakit, mencari bantuan medis jika gejala pernapasan muncul, dan membagikan riwayat perjalanan. Terkait perjalanan ke luar negeri, tidak ada pembatasan perjalanan atau perdagangan yang disarankan oleh WHO berdasarkan informasi saat ini.[5]
Menangkal Kekhawatiran Pasien Terkait Pemberitaan White Lung Disease di Media
Pneumonia akibat Mycoplasma pneumoniae atau RSV bukanlah fenomena penyakit yang baru ditemukan. Kedua mikroba ini sudah sering menyebabkan pneumonia terutama di musim-musim bulan tertentu, yaitu Mycoplasma pneumoniae antara Oktober–Januari, dan RSV antara November–Maret.[6,7,12]
Adanya peningkatan secara ekstrim baru-baru ini diduga akibat normalisasi kegiatan sosial pasca pembatasan sosial selama pandemi COVID-19. Meskipun otoritas kesehatan Tiongkok sejauh ini sepakat bahwa tidak ada entitas mikrobiologi baru yang menambah derajat keparahan penularan serta keparahan penyakit, WHO menyatakan akan terus mendorong pemerintah Tiongkok untuk selalu meningkatkan kegiatan surveillance dan melaporkan perkembangannya melalui media massa.[6,7,12]
Pasien dan orang tua kemungkinan besar akan khawatir dengan pemberitaan media, mengingat pandemi COVID-19 baru-baru ini juga berasal dari Tiongkok. Oleh karena itu, penting bagi dokter untuk melakukan langkah edukasi terkait penyakit ini untuk menangkal kekhawatiran pasien yang mungkin muncul akibat pemberitaan tersebut. Selanjutnya, dokter dapat memberikan edukasi terkait langkah-langkah preventif yang dapat mereka ambil.[6,7,12]
Langkah-langkah preventif yang dapat diambil adalah melakukan vaksinasi, menjaga jarak dari individu yang sakit, menggunakan masker, memastikan ventilasi yang memadai, menjalani pemeriksaan jika merasa tidak sehat, dan tetap di rumah saat kondisi kesehatan kurang baik adalah hal-hal efektif yang bisa dilakukan pasien guna membantu mencegah penyebaran bakteri atau virus penyebab white lung pneumonia.[6,7,12]
Kesimpulan
White lung pneumonia tampaknya merupakan lonjakan kasus pneumonia setelah pencabutan pembatasan COVID-19 dan bersamaan dengan pneumonia musiman. Kasus pneumonia ini disebabkan oleh patogen umum seperti Mycoplasma pneumoniae, RSV dan virus pernapasan lainnya.
Meskipun tidak ditemukan mikroba patogen baru yang mungkin menjadi penyebab peningkatan angka kejadian pneumonia secara drastis pada anak di beberapa belahan dunia baru-baru ini, WHO tetap meminta pemerintah Tiongkok agar melakukan pemeriksaan yang komprehensif untuk menilai apakah ada patogen yang berpotensi menyebabkan pandemi seperti virus COVID-19.
Mycoplasma pneumoniae dan respiratory syncytial virus (RSV) merupakan etiologi yang sementara ini dikonfirmasi menyebabkan kenaikan angka morbiditas tersebut. Kurangnya paparan terhadap mikroba umum seperti Mycoplasma pneumoniae dan RSV selama pembatasan sosial akibat pandemi COVID-19 diyakini mempengaruhi imunitas masyarakat luas, sehingga berkontribusi terhadap kenaikan kasus pneumonia baru-baru ini.
Melakukan langkah-langkah preventif yang efektif seperti vaksinasi, mengenakan masker, dan membatasi pergerakan sosial ketika merasa sakit adalah bagian yang dapat diusahakan guna mengantisipasi lonjakan kasus ke depan.
Untuk pasien yang telah terkonfirmasi sakit, beberapa regimen antibiotik yang dapat digunakan untuk menanggulangi pneumonia atipikal yang disebabkan Mycoplasma pneumoniae termasuk golongan makrolida, tetrasiklin, dan fluoroquinolone. Untuk anak-anak dan lansia yang mengalami pneumonia dan tidak menunjukkan perbaikan setelah mendapat antibiotik beta laktam seperti amoksisilin dan sefiksim, perlu dipertimbangkan kemungkinan adanya mycoplasma pneumonia. Dalam hal ini, disarankan untuk mengganti antibiotik dengan makrolida seperti azitromisin.
Sementara itu, pada pneumonia yang disebabkan RSV, pasien dianjurkan menjalani terapi konservatif dan ditambah antivirus ribavirin bila diindikasikan.