Telah banyak studi menunjukan kaitan antara nutrigenetik dan obesitas. Nutrigenetik diketahui mengeksplorasi interaksi antara faktor genetik dengan nutrisi, yang dianggap berpengaruh terhadap etiologi suatu penyakit, termasuk obesitas. Oleh karena itu, data terkait nutrigenetik ini dipercaya akan mempengaruhi pengelolaan dan pencegahan obesitas.[1]
Pada tahun 1993 hingga 2014, prevalensi berat badan berlebih pada populasi dewasa di Indonesia meningkat dua kali lipat dari 17,1% menjadi 33%. Berdasarkan hasil survei nasional, prevalensi obesitas di Indonesia sebesar 23,1%.[2,3]
Obesitas, yang merupakan akumulasi lemak akibat ketidakseimbangan asupan makanan dan pengeluaran energi tubuh, diketahui telah menjadi masalah kesehatan global. Saat ini, pilihan tata laksana obesitas mencakup modifikasi nutrisi, aktivitas fisik, penggunaan obat-obatan, hingga pembedahan. Namun, efeknya ternyata berbeda pada tiap individu, sehingga personalisasi tata laksana dianggap menjadi salah satu solusi.[1]
Mekanisme Terjadinya Obesitas dan Efeknya
Peningkatan berat badan pada obesitas terjadi akibat adanya positive energy balance. Keadaan tersebut muncul saat energi dalam kalori makanan dan minuman lebih besar dari pengeluaran energi yang merupakan gabungan dari resting metabolic rate, proses absorpsi dan metabolisme nutrien, produksi panas atau termogenesis, serta aktivitas fisik. Selanjutnya, akan terjadi deposisi triasilgliserol di sekitar jaringan adiposa.
Obesitas akan menyebabkan terjadinya hipertrofi dan hiperplasia adiposit yang mengarah pada low grade inflammation yang memicu berbagai penyakit kronik karena peningkatan produksi sitokin yang disekresi oleh makrofag dan preadiposit. Obesitas juga berhubungan dengan perkembangan berbagai penyakit, termasuk resistensi insulin, hipertensi, asma, hipertrigliseridemia, gangguan kardiovaskular, arthritis, dan berbagai jenis kanker.[1,4,5]
Sekilas Mengenai Nutrigenetik
Tujuan utama nutrigenetik adalah mencari pengaruh variasi genetik, terutama single-nucleotide polymorphisms (SNPs), terhadap respon seseorang terhadap asupan makanan dan kondisi metabolisme individu. Melalui Genome Wide Association Studies (GWAS), the Human Genome Project melakukan sequencing terhadap genom manusia untuk mengidentifikasi gen atau lokus yang berhubungan dengan fenotipe tertentu.[4,6,7]
Selama satu dekade, GWAS menemukan sekitar 140 kandidat gen yang kemungkinan berhubungan dengan obesitas. Namun, hanya sekitar 25% yang telah tervalidasi lewat penelitian. Gen tersebut kini mewakili gen yang menyebabkan perubahan adiposit tubuh (indeks massa tubuh, persentase lemak, dan lingkar pinggang).[4,7]
Hubungan Nutrigenetik dan Obesitas
Sekitar 140 gen yang kemungkinan berhubungan dengan obesitas telah ditemukan. Variasi gen tersebut terkait dengan perubahan IMT, persentase lemak tubuh, dan lingkar pinggang. Temuan ini kemudian digunakan untuk merumuskan lebih lanjut patofisiologi obesitas pada manusia.
Kini telah disepakati secara umum bahwa obesitas bukan hanya kombinasi “obesogenic environment”, yaitu nutrisi, usia, jenis kelamin, etnis, lama tidur, jumlah aktivitas fisik, kebiasaan sedenter, stres, merokok, konsumsi alkohol, penggunaan obat-obatan, dan depresi. Obesitas kini juga dianggap timbul sebagai hasil interaksi antara gen dan nutrisi.[4]
Variasi Genetik Terkait Obesitas
Berbagai gen terkait nutrisi telah ditemukan berhubungan dengan obesitas, seperti gen apolipoprotein A2, gen fat mass and obesity-associated gene (FTO), dan banyak gen lain.
Gen Apolipoprotein A2 (APOA2):
Salah satu faktor terkait obesitas yang diteliti secara ekstensif adalah high-density lipoprotein (HDL). Gen Apolipoprotein A2 (APOA2) merupakan bagian dari multigen apolipoprotein yang mengkodekan protein APOA2 yang berhubungan dengan HDL, yaitu dalam hal aktivitas modulasi lipoprotein lipase pada proses lipogenesis hepar dan lipolisis adiposa.
Studi yang ada mengindikasikan bahwa individu dengan variasi gen APOA2 rs5082 akan lebih cenderung mengalami peningkatan berat badan, IMT, dan lingkar pinggang setelah peningkatan asupan tinggi lemak dan protein.[4,8]
Fat Mass And Obesity-Associated Gene (FTO):
Variasi genetik lain yang sering diteliti adalah fat mass and obesity-associated gene (FTO). Polimorfisme gen FTO, selain dikaitkan dengan obesitas, juga dinyatakan berhubungan dengan risiko diabetes melitus.
Ekspresi gen FTO ditemukan secara signifikan diatur dalam hipotalamus tikus, terutama saat keadaan lapar, dan sangat berkorelasi negatif dengan ekspresi galanin orekogenik yang terlibat dalam stimulasi asupan makanan. Pada manusia, ekspresi gen ini juga ditemukan dalam hipotalamus. Hubungannya dengan peningkatan IMT dikaitkan dengan modulasi asupan makanan, dimana peningkatan ekspresi gen FTO akan berkaitan dengan peningkatan asupan energi.[9]
Studi pilot pada tahun 2022 menunjukkan bahwa individu yang membawa varian FTO mungkin mengalami penurunan berat badan lebih sedikit dibandingkan non-carrier melalui intervensi pola makan/gaya hidup.[14]
Gen Uncoupling Protein (UCP):
Variasi gen uncoupling protein (UCP), sejenis protein pada membran dalam mitokondria yang ikut serta dalam metabolisme energi, juga sering diteliti. UCP diketahui memiliki beberapa isotop, yaitu UCP1, UCP2 dan UCP3. Ekspresi UCP tersebar luas di berbagai jaringan dan organ, UCP1 diekspresikan pada brown adipose tissue (BAT) dan UCP3 diekspresikan pada otot rangka. Menurut berbagai studi, variasi gen UCP2 mempengaruhi regulasi energi melalui sensitivitas leptin.
Dalam sebuah kohort pada dewasa sehat di Yogyakarta, ditemukan korelasi positif peningkatan berat badan pada subjek yang memiliki variasi genetik UCP2 dengan genotipe GG. Ditemukan bahwa variasi gen UCP2 dapat mempengaruhi respon adiposit terhadap perubahan asupan energi. Subjek dengan genotip GG gen UCP2-866G/A lebih responsif terhadap asupan energi, sehingga lebih rentan terhadap kenaikan berat badan karena asupan berlebihan.[10]
Gen Lainnya:
Banyak varian tersebar di seluruh genom dengan kontribusi kecil untuk terjadinya obesitas. Hal ini menjadi sebuah tantangan dalam praktik klinis. Polimorfisme juga ditemukan pada gen-gen lain seperti Adenylyl Cyclase 3 (AC3), Alpha-2-adrenergic receptor (ADRA2A), Retinol Binding Protein 4 (RBP4), Protein Phosphatase (PPM1K), Cathelicidin Antimicrobial Peptide (CAMP), dan Proprotein Convertase Subtilisin/Kexin Type 1 (PCSK1).
Karena banyaknya variasi gen ini, beberapa peneliti menetapkan polygenic risk scores (PRS) atau genetic risk score (GRS) yang merupakan jumlah dari alel risiko yang terkadang dikalikan dengan besaran efeknya. Skor ini telah digunakan untuk memprediksi risiko berbagai penyakit, termasuk obesitas. [11,12]
Pemberian Nutrisi Terkait Nutrigenetik
Sejak GWAS menemukan korelasi variasi gen dengan obesitas, nutrigenetik telah dianggap menjadi sebuah kesempatan dalam memberikan personalized nutrition. Pendekatan intervensi nutrisi yang berbeda pada tiap individu ini dapat digunakan dalam pencegahan, pengelolaan, terapi, ataupun promosi kesehatan.[6]
Sebagai contoh adalah hasil penelitian Muhammad et.al yang menemukan bahwa subjek dengan variasi genetik UCP2 genotipe GG berkorelasi positif dengan perubahan berat dan lemak tubuh terkait asupan energi berlebih. Penerapan hasil studi ini secara klinis adalah dengan mengatur jumlah asupan energi total pada pasien yang diketahui memiliki variasi genetik tersebut.[10]
Contoh lain adalah hasil suatu penelitian terhadap 110 perempuan Minangkabau. Pada studi ini, genetic risk score (GRS) dibuat berdasarkan 5 polimorfisme terkait vitamin D dan 10 polimorfisme terkait penyakit metabolik. Studi ini menemukan bahwa polimorfisme terkait penyakit metabolik berkaitan secara bermakna dengan kadar 25-hydroxyvitamin D yang rendah dan IMT yang tinggi.
Selain itu, studi ini juga menemukan interaksi antara polimorfisme terkait vitamin D dan asupan karbohidrat dengan body fat percentage (BFP). Hasil studi ini dapat digunakan secara klinis untuk merubah rekomendasi asupan vitamin D pada pasien dengan polimorfisme terkait penyakit metabolik, serta asupan karbohidrat pada pasien dengan polimorfisme terkait vitamin D.[13]
Kesimpulan
Nutrigenetik mencoba mengeksplorasi interaksi faktor genetik dan nutrisi terhadap suatu penyakit, termasuk obesitas. Studi yang ada telah menemukan sekitar 140 gen yang berhubungan dengan obesitas, misalnya gen apolipoprotein A2 (APOA2), gen fat mass and obesity-associated gene (FTO), gen uncoupling protein (UCP), dan banyak gen lain. Gen-gen ini ditemukan mempengaruhi metabolisme suatu makro atau mikronutrien secara spesifik yang nantinya berperan dalam menimbulkan obesitas. Dengan mengetahui adanya kecenderungan genetik pada pasien, intervensi nutrisi dapat dibuat sedemikian rupa untuk membantu meningkatkan luaran pada pengelolaan dan pencegahan obesitas.
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini