Indikasi dan Dosis Oxycodone
Indikasi penggunaan oxycodone atau oksikodon adalah tata laksana nyeri intensitas sedang-berat, misalnya pada pasien kanker atau prosedur bedah. Pada dewasa, dosis oxycodone disesuaikan dengan jenis sediaan dan status toleransi pasien terhadap opioid.[4,6]
Dosis Dewasa
Apabila pasien diberikan oxycodone immediate release, dosis yang dianjurkan:
- Dosis untuk pasien opioid-tolerant:10‒30 mg setiap 4‒6 jam
- Dosis untuk pasien opioid-naïve: 5‒15 mg setiap 4‒6 jam[10]
Apabila pasien diberikan oxycodone extended release, dosis yang dianjurkan:
- Dosis awal: 5 mg setiap 12 jam, dititrasi bertahap 5‒10 mg setiap 1‒2 hari, dengan dosis maksimal 400 mg/hari
- Dosis >40 mg per pemberian atau dosis total >80 mg/hari hanya diberikan untuk pasien opioid-tolerant[6,10]
Dosis Anak
Pada bayi usia ≤6 bulan, dosis inisial yang disarankan adalah 0,025‒0,05 mg/kgBB/dosis, setiap 4‒6 jam. Pada bayi usia >6 bulan, anak, dan remaja, oxycodone diberikan sesuai berat badan:
- Berat badan <50 kg: dosis inisial 0,1‒0,2 mg/kgBB/dosis setiap 4-6 jam. Untuk nyeri intensitas berat, direkomendasikan memulai dosis tinggi 0,2 mg/kgBB. Kisaran dosis oxycodone 5‒10 mg/dosis.
- Berat badan ≥50 kg: dosis inisial 5‒10 mg setiap 4‒6 jam. Untuk nyeri intensitas berat dapat diberikan dosis inisial 10 mg, dengan dosis maksimal 20 mg/dosis.
Jika pasien mengalami nyeri berat, oxycodone diberikan hanya pada pasien anak ≥11 tahun, yang telah mendapatkan terapi opioid dan diketahui dapat mentoleransi opioid minimal dalam 5 hari berturut-turut dengan dosis sedikitnya 20 mg/hari selama minimal 2 hari. Pemberian opioid harian lainnya harus dihentikan. Pembulatan dosis dilakukan ke bawah sesuai sediaan tablet.[6]
Modifikasi Dosis
Bila diberikan dengan obat yang menyebabkan depresi sistem saraf pusat lain, mulai oxycodone dalam dosis ⅓ hingga ½ dosis inisial yang direkomendasikan. Penting untuk melakukan pemantauan tanda depresi napas, sedasi, dan hipotensi.[10]
Gangguan Fungsi Hati
Dosis diturunkan ⅓ atau ½ dosis awal. Dapat dimulai dalam dosis 2,5 mg dan dititrasi bertahap hingga mendapatkan respon yang diinginkan.[9,10]
Gangguan Fungsi Ginjal
Pada pasien dengan klirens kreatinin <60 mL/menit, konsentrasi oxycodone dalam serum dapat meningkat hingga 50%. Oleh karena itu, dosis oxycodone perlu disesuaikan dengan respon klinis pasien.[9,10]
Geriatri
Pemberian oxycodone pada geriatri adalah dengan mengurangi dosis inisiasi menjadi ⅓ hingga ½ dosis dan dititrasi secara berhati-hati. Hal ini dilakukan karena pada usia lanjut terjadi penurunan klirens dari oxycodone dan peningkatan konsentrasi plasma.[5,10]
Penghentian Terapi
Oxycodone tidak boleh dihentikan secara tiba-tiba. Penghentian terapi harus dilakukan secara bertahap. Penurunan dosis dapat dilakukan dengan cara lambat yaitu penurunan 10% dosis setiap minggu, ataupun secara cepat yaitu penurunan dosis 25‒50% setiap beberapa hari.[6,10]
Belum ada ketentuan titrasi oksikodon secara universal. Oleh karena itu, titrasi oxycodone harus dipertimbangkan secara individual untuk mengurangi risiko gejala putus obat.[6,10]
Pada pasien yang mendapatkan terapi oxycodone dalam jangka waktu lama, disarankan untuk melakukan titrasi lambat. Sedangkan, pada pasien yang mengalami efek samping yang berat, dapat dipertimbangkan titrasi oxycodone secara cepat.[6]
Overdosis
Pada kondisi overdosis oxycodone dapat terjadi:
- Depresi napas
- Penurunan kesadaran, dapat diukur dengan Glasgow coma scale
- Kulit terasa dingin dan basah
- Pupil miosis
- Flaksid otot skeletal
- Pada kasus yang berat, dapat terjadi edema paru, bradikardia, hipotensi, obstruksi napas, dan kematian
Bila terjadi overdosis, hal pertama yang harus dilakukan adalah mempertahankan patensi jalan napas. Pada kondisi syok atau edema paru, pasien diberikan terapi suportif seperti oksigen atau obat vasopressor.
Naloxone atau nalmefene merupakan obat antagonis opioid yang diberikan hanya saat terjadi depresi napas atau sirkulasi yang disebabkan oleh overdosis oxycodone. Obat ini diberikan secara hati-hati pada pasien dengan ketergantungan opioid, karena dapat menyebabkan gejala putus obat.[5]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini