Efek Samping dan Interaksi Obat Vaksin Difteri
Efek samping vaksin difteri biasanya ringan dan bersifat lokal, misalnya nyeri pada lokasi injeksi. Efek samping berat sangat jarang terjadi dan vaksin difteri dianggap sebagai vaksin yang paling aman diberikan dengan tolerabilitas yang baik. Interaksi obat dapat terjadi jika vaksin difteri diberikan pada pasien yang mendapat obat antikoagulan.[7]
Efek Samping
Efek samping vaksin difteri umumnya bersifat lokal dan dalam derajat ringan. Efek samping lokal yang banyak dialami adalah nyeri, bengkak, atau kemerahan pada lokasi injeksi.
Setelah pemberian dosis primer dan booster DTwP, reaksi sistemik seperti demam, iritabilitas, mengantuk, penurunan nafsu makan, dan muntah pernah dilaporkan. Efek samping berat jarang terjadi, dapat meliputi demam dengan suhu lebih dari 40,5°C, kejang demam, atau episode hipotonik-hiporesponsif.
Efek samping berat yang terjadi setelah pemberiaan sediaan DTaP mirip dengan yang dialami setelah DTwP, tetapi angka kejadiannya lebih kecil. Di sisi lain, sediaan DT dan DTaP sebanding dalam hal reaktivitas lokal dan sistemik.
Hingga kini, belum ada bukti yang menunjukkan kejadian anafilaksis pada pemberian vaksin difteri. Meski begitu, tenaga kesehatan harus selalu waspada terhadap reaksi alergi berat pada setiap pemberian vaksin ini.[1,2,7]
Interaksi Obat
Pemberian vaksin difteri bersamaan dengan vaksin lain tidak mengganggu imunogenisitas terhadap masing-masing vaksin. Vaksin difteri dapat diberikan pada kunjungan yang sama dengan vaksin lainnya sesuai dengan jadwal yang disarankan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Vaksin difteri tidak berinteraksi dengan vaksin HPV (human papilloma virus), inactivated polio vaccine (IPV), oral polio vaccine (OPV), pneumococcal vaccine, vaksin rotavirus, measles-mumps-rubella (MMR), serta vaksin konjugat meningokokus.[1,2,7,8]
Meningkatkan Risiko Efek Samping
Pemberian bersamaan dengan terapi antikoagulan dapat meningkatkan risiko perdarahan atau hematoma.[3]
Menurunkan Efek Vaksin
Terapi imunosupresif, termasuk kemoterapi dan radioterapi, dapat menurunkan respon imun dari vaksin.[3]
Penulisan pertama oleh: dr. Aghnia Jolanda Putri